Denpasar, dewatanews.com - Pertanian modern mengalami transformasi signifikan dengan penggunaan pestisida kimia sebagai solusi utama untuk meningkatkan hasil panen. Meskipun pestisida buatan terbukti efektif dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman, dampak negatifnya terhadap lingkungan serta kesehatan manusia semakin mendapat perhatian. Penggunaan pestisida kimia yang berlebihan menyebabkan pencemaran tanah dan air, penurunan keanekaragaman hayati, serta risiko kesehatan bagi petani dan konsumen. Kesadaran akan pentingnya praktik pertanian berkelanjutan mendorong pencarian alternatif yang lebih ramah lingkungan.
Biopestisida, terbuat dari bahan-bahan alami, muncul sebagai alternatif yang menjanjikan. Limbah kulit bawang, di antara berbagai sumber bahan baku untuk biopestisida, menjadi kandidat yang menarik. Setiap tahun, industri bawang menghasilkan jutaan ton limbah kulit yang sering dianggap tidak berguna dan dibuang. Praktik ini sering melibatkan pembakaran atau pembuangan ke tempat sampah, menyebabkan pemborosan sumber daya dan berkontribusi pada pencemaran lingkungan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kulit bawang mengandung senyawa bioaktif dengan potensi sebagai pestisida alami. Pemanfaatan limbah ini tidak hanya mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, tetapi juga menciptakan produk yang lebih aman bagi kesehatan. Kulit bawang kaya akan flavonoid, quercetin, dan senyawa sulfur, yang diketahui memiliki sifat antimikroba dan insektisida. Senyawa-senyawa ini mengganggu siklus hidup hama dan patogen tanaman, sehingga mengurangi kerusakan pada hasil pertanian. Pembuatan biopestisida dari limbah kulit bawang menawarkan solusi untuk masalah limbah sekaligus pendekatan yang lebih aman dan efektif dalam pengendalian hama.
Penggunaan biopestisida berbahan limbah kulit bawang berpotensi menjadi langkah strategis menuju keberlanjutan dalam pertanian ramah lingkungan. Upaya ini mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia dan mendukung pelestarian sumber daya alam serta keanekaragaman hayati. Biopestisida ini dapat diterapkan secara luas pada berbagai jenis tanaman, mulai dari sayuran hingga buah-buahan, menjadikannya alternatif yang fleksibel dan mudah diakses oleh petani.
Potensi dan manfaat biopestisida dari limbah kulit bawang sangat besar, namun penerapannya masih menghadapi beberapa tantangan. Edukasi mengenai cara pembuatan dan aplikasi biopestisida ini penting agar petani dapat memanfaatkan produk ini secara efektif. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi efektivitas dan keamanan biopestisida ini dalam skala yang lebih besar.
Kulit bawang selama ini sering dipandang sebagai bahan buangan karena beberapa alasan yang berakar dalam kebiasaan dan pengetahuan masyarakat. Sebagian besar orang, termasuk petani dan konsumen, tidak menyadari potensi yang dimiliki oleh kulit bawang. Meskipun kulit bawang mengandung senyawa bioaktif tetapi umumnya dipandang tidak lebih dari limbah yang tidak memiliki nilai.
Umumnya dalam praktik pertanian dan industri makanan, pengolahan bawang sering kali berfokus pada hasil utama, yaitu umbi bawang. Kebiasaan membuang kulit bawang sudah berlangsung lama, dan banyak orang terus melanjutkan praktik ini tanpa mempertimbangkan kembali nilai dari kulit tersebut. Kebiasaan yang sudah mendarah daging ini sulit diubah, meskipun ada potensi yang tersimpan di dalam kulit bawang.
Beberapa orang menganggap bahwa mengolah kulit bawang menjadi produk yang berguna memerlukan teknik atau proses yang rumit. Ketakutan akan biaya tambahan dan waktu yang diperlukan untuk pengolahan menjadi faktor penghalang. Akibatnya, kulit bawang sering kali dibuang tanpa pemanfaatan lebih lanjut.
Mesti diakui juga bahwa penelitian mengenai potensi pemanfaatan kulit bawang masih terbatas. Walaupun ada beberapa studi yang menjelaskan manfaat kulit bawang, jumlahnya tidak mencukupi untuk mendorong pengembangan produk baru. Keterbatasan riset ini menghalangi inovasi yang bisa mengubah kulit bawang menjadi sumber daya yang berharga dan bermanfaat.
Pemahaman secara turun temurun juga membentuk persepsi bahwa limbah harus dibuang tanpa mempertimbangkan kemungkinan daur ulang atau penggunaan kembali. Hal ini menciptakan pandangan bahwa kulit bawang, sebagai bagian dari limbah, tidak memiliki nilai dan tidak layak untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
Potensi Limbah Kulit Bawang Sebagai Biopestisida?"
Limbah kulit bawang memiliki potensi signifikan sebagai sumber biopestisida yang efektif dan ramah lingkungan. Kulit bawang kaya akan flavonoid, terutama quercetin, serta senyawa sulfur. Quercetin dikenal karena kemampuannya dalam melawan infeksi dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Senyawa-senyawa ini tidak hanya berfungsi sebagai pengendali hama, tetapi juga dapat meningkatkan kesehatan tanaman dengan memberikan perlindungan terhadap patogen. Xunbing Huang, Li Zheng, dan Yueyue Wang dalam artikel berjudul ” The Survival and Physiological Response of Calliptamus abbreviatus Ikonn (Orthoptera: Acrididae) to Flavonoids Rutin and Quercetin” yang dipublikasikan tahun 2024 menyatakan bahwa quercetin menunjukkan toksisitas yang lebih kuat terhadap belalang, sehingga berpotensi untuk dikembangkan sebagai biopestisida untuk pengendalian belalang yang berkelanjutan.
Fakta menarik tentang produksi kulit bawang adalah bahwa setiap tahun, industri bawang menghasilkan jutaan ton limbah ini. Di banyak negara, kulit bawang dibuang tanpa pemanfaatan. Namun, dengan inovasi dalam pengolahan, limbah ini dapat diubah menjadi produk yang bermanfaat, seperti ekstrak biopestisida yang efektif.
Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kulit bawang dapat mengurangi populasi hama seperti kutu daun dan ulat. Senyawa aktif dalam kulit bawang bekerja dengan mengganggu sistem hormonal serangga, sehingga menghambat pertumbuhan dan reproduksi mereka. Hasilnya, tanaman menjadi lebih sehat dan hasil panen meningkat.
Penggunaan biopestisida dari kulit bawang tidak hanya efektif, tetapi juga lebih aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Berbeda dengan pestisida kimia yang dapat meninggalkan residual berbahaya, limbah kulit bawang tergolong aman dan biodegradable.
Salah satu dampak positif utama dari penggunaan limbah kulit bawang sebagai biopestisida adalah pengurangan limbah organik. Dengan memanfaatkan kulit bawang, kita dapat mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan oleh industri makanan. Langkah ini membantu mengurangi pencemaran lingkungan dan mengurangi beban pada tempat pembuangan akhir.
Selain itu, penggunaan biopestisida ini mendukung praktik pertanian berkelanjutan. Dengan mengurangi ketergantungan pada bahan kimia sintetis, kita dapat menjaga keseimbangan ekosistem. Tanaman yang dirawat dengan biopestisida alami cenderung lebih sehat, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesuburan tanah dan mendukung keanekaragaman hayati. Ipsa Gupta dan kawan-kawan dalam artikel “Plant Essential Oils as Biopesticides: Applications, Mechanisms, Innovations, and Constraints” yang dipublikasikan tahun 2023 menyebutkan jika biopestisida menawarkan beberapa keuntungan, termasuk spesifisitas target, biodegradabilitas, dan keamanan bagi manusia dan lingkungan.
Metode Sederhana Biopestisida dari Limbah Kulit Bawang"
Langkah pertama dalam pembuatan biopestisida ini dimulai dengan persiapan bahan-bahan yang diperlukan. Kulit bawang merah, yang sering kali dibuang setelah penggunaan bawang, merupakan bahan utama dalam proses ini. Sebaiknya, bahan ini diambil dari bawang yang segar dan bersih, tanpa adanya bagian yang busuk atau terkontaminasi. Guna meningkatkan efektivitas biopestisida, bawang putih dapat ditambahkan. Bawang putih dikenal memiliki sifat pestisida alami yang dapat membantu mengusir hama. Dalam hal ini, cukup siapkan kulit dari satu kilogram bawang merah dan beberapa siung bawang putih.
Setelah bahan terkumpul, langkah berikutnya adalah mengolah kulit bawang. Sebaiknya, kulit bawang dipotong kecil-kecil atau dihancurkan untuk mempercepat proses ekstraksi senyawa aktif. Proses ini akan meningkatkan luas permukaan kulit bawang, sehingga mempercepat pelepasan senyawa bioaktif ke dalam air.
Selanjutnya, kulit bawang yang telah dipotong dimasukkan ke dalam ember atau wadah bersih. Di sini, satu liter air bersih ditambahkan ke dalam wadah tersebut, memastikan semua bahan terendam. Agar proses ekstraksi berjalan dengan baik, wadah ditutup dengan kain bersih atau penutup yang tidak terlalu rapat, untuk memungkinkan sirkulasi udara namun tetap melindungi dari debu dan kotoran.
Setelah persiapan tersebut, campuran dibiarkan untuk difermentasi selama lima hingga tujuh hari. Proses fermentasi ini berlangsung di tempat yang sejuk dan teduh, jauh dari sinar matahari langsung. Selama periode ini, senyawa-senyawa aktif dalam kulit bawang akan larut ke dalam air, menciptakan ekstrak yang kaya akan zat yang bermanfaat. Setiap hari, penting untuk mengaduk campuran tersebut, agar semua bahan tercampur dengan baik dan senyawa aktif dapat terdistribusi secara merata. Menurut Sara Chadorshabi, S. Hallaj-Nezhadi, dan Z. Ghasempour dalam artikel “Red onion skin active ingredients, extraction and biological properties for functional food applications” yang dipublikasikan tahun 2022, meskipun potensi kulit bawang sebagai sumber senyawa bioaktif sangat menjanjikan, tantangan utama terletak pada pengembangan metode ekstraksi yang efisien dan ramah lingkungan untuk memaksimalkan pemanfaatan senyawa ini.
Setelah masa fermentasi selesai, langkah selanjutnya adalah menyaring larutan. Menggunakan saringan atau kain kasa, cairan dipisahkan dari ampas. Pada tahap ini, penting untuk menekan ampas agar semua cairan terambil, sehingga menghasilkan biopestisida yang lebih konsentrat. Cairan yang dihasilkan ini adalah biopestisida siap pakai, yang dapat disimpan dalam botol atau wadah tertutup rapat.
Penyimpanan biopestisida juga memegang peranan penting dalam menjaga kualitasnya. Cairan ini sebaiknya disimpan di tempat yang sejuk dan gelap, karena kondisi ini dapat memperpanjang umur simpan produk. Jika disimpan dengan baik, biopestisida ini dapat bertahan selama beberapa minggu, sehingga dapat digunakan sesuai kebutuhan.
Sebelum memulai aplikasi biopestisida, penting untuk melakukan pengenceran. Larutan biopestisida harus dicampurkan dengan air dalam rasio yang tepat, biasanya sekitar 100-200 ml biopestisida dicampurkan dengan satu liter air. Tingkat konsentrasi ini dapat disesuaikan tergantung pada tingkat serangan hama yang dihadapi. Setelah larutan siap, aplikasi dapat dilakukan.
Penyemprotan biopestisida sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari, ketika suhu tidak terlalu panas dan kelembapan cukup tinggi. Hal ini akan membantu menghindari penguapan yang berlebihan dan memastikan bahwa senyawa aktif dapat bekerja secara efektif. Semprotkan larutan ke seluruh bagian tanaman, terutama bagian bawah daun, di mana hama sering bersembunyi. Penggunaan botol spray akan memudahkan aplikasi dan memastikan distribusi yang merata.
Frekuensi penyemprotan juga harus diperhatikan. Biopestisida ini sebaiknya disemprotkan setiap lima hingga tujuh hari atau sesuai kebutuhan, tergantung pada tingkat serangan hama. Observasi secara berkala sangat penting untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk aplikasi selanjutnya.
Terdapat beberapa tips yang bisa membantu meningkatkan efektivitas biopestisida. Melakukan uji coba pada sebagian kecil tanaman sebelum aplikasi luas dapat memastikan tidak ada efek samping yang merugikan. Kombinasi dengan bahan lain, seperti cabai rawit atau daun nimba, juga dapat meningkatkan potensi pengendalian hama. Selain itu, penggunaan alat pelindung diri, seperti sarung tangan dan masker, sangat dianjurkan untuk menghindari iritasi pada kulit dan pernapasan selama proses pembuatan dan aplikasi.
Dengan mengikuti langkah-langkah tersebut, pengolahan limbah kulit bawang merah menjadi biopestisida dapat dilakukan dengan mudah dan efektif. Proses ini tidak hanya memberikan solusi untuk masalah hama di kebun, tetapi juga mendukung praktik pertanian yang berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Dengan cara ini, sampah yang biasanya terbuang dapat diubah menjadi produk yang bermanfaat, sekaligus menjaga kesehatan lingkungan.
Keunggulan Biopestisida Limbah Kulit Bawang Dibandingkan Pestisida Kimia
Ketergantungan yang berlebihan pada pestisida kimia membawa berbagai konsekuensi negatif, baik bagi kesehatan manusia maupun lingkungan. Alternatifnya adalah biopestisida yang terbuat dari limbah kulit bawang merah menawarkan berbagai keunggulan yang signifikan. Salah satu keunggulan utama biopestisida dari kulit bawang merah adalah efektivitasnya dalam mengendalikan hama. Kulit bawang merah mengandung senyawa bioaktif, seperti flavonoid dan sulfonida, yang memiliki sifat insektisida dan repelen.
Penelitian J. Ngurwe, F. Wanjala, D. Ochieno, dan G. Kiptoo yang dipublikasikan tahun 2019 dengan judul “Efficacy of onion (Allium cepa) extracts on the black bean aphis (Aphis fabae) and red spider mite (T. evansi) on black nightshade (S. nigrum) cultivars when planted with different manure regimes” menyebutkan bahwa ekstrak bawang merah telah terbukti efektif dalam mengurangi populasi kutu daun, seperti yang ditunjukkan dalam penelitian yang menggunakan ekstrak bawang untuk mengendalikan kutu daun hitam (Aphis fabae) pada tanaman Solanum nigrum. Sedangkan Adelina Maryanti, Desri Hastuti, dan Noer Arif Hardi dalam artikel berjudul “Effectiveness Test of Onion Peel Eco Enzyme as Bioinsecticide for Armyworm Pest (Spodoptera litura)” mengatakan ekstrak kulit bawang merah yang diolah menjadi eco enzyme menunjukkan efektivitas tinggi sebagai bioinsektisida terhadap ulat grayak (Spodoptera litura). Penelitian menunjukkan bahwa aplikasi eco enzyme dari kulit bawang merah dapat menyebabkan kematian ulat grayak dengan tingkat efektivitas antara 82,5% hingga 95%.
Dalam konteks pertanian yang ramah lingkungan, penggunaan biopestisida dari kulit bawang merah memberikan dampak positif bagi kesehatan tanaman. Berbeda dengan pestisida kimia yang sering kali meninggalkan residu berbahaya pada tanaman, biopestisida ini relatif aman. Senyawa yang terkandung dalam kulit bawang merah bersifat biodegradable, sehingga tidak menumpuk di tanah atau merusak ekosistem. Penggunaan biopestisida ini dapat meningkatkan kesehatan tanah, karena tidak merusak populasi mikroorganisme yang penting untuk kesuburan tanah. Dalam jangka panjang, ini dapat berkontribusi pada pertumbuhan tanaman yang lebih sehat dan produktif.
Dampak positif lainnya dari biopestisida kulit bawang adalah minimnya risiko terhadap kesehatan manusia. Pestisida kimia sering dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan, termasuk gangguan hormonal, kanker, dan penyakit pernapasan. Sebaliknya, biopestisida yang terbuat dari bahan alami seperti kulit bawang merah memiliki risiko yang jauh lebih rendah. Petani yang menggunakan biopestisida ini tidak hanya melindungi tanaman mereka, tetapi juga kesehatan diri mereka dan komunitas di sekitarnya. Dengan mengurangi paparan terhadap bahan kimia berbahaya, biopestisida ini menjadi pilihan yang lebih aman bagi semua pihak yang terlibat dalam proses pertanian.
Selain itu, biopestisida dari kulit bawang merah juga memiliki keunggulan dalam hal keberlanjutan. Menggunakan limbah kulit bawang sebagai bahan baku tidak hanya mengurangi limbah tetapi juga memberikan nilai tambah. Dalam sistem pertanian berkelanjutan, setiap bagian dari tanaman harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dengan mengolah limbah kulit bawang menjadi biopestisida, kita tidak hanya mengurangi limbah, tetapi juga menciptakan produk yang bermanfaat. Ini sejalan dengan prinsip ekonomi sirkular yang semakin banyak diterapkan di berbagai sektor, termasuk pertanian.
Dalam hal efektivitas biaya, pembuatan biopestisida dari kulit bawang merah juga menawarkan keuntungan. Bahan baku yang digunakan merupakan limbah yang sering kali tersedia secara gratis atau dengan biaya yang sangat rendah. Dalam konteks pertanian kecil, di mana biaya produksi harus diminimalkan, biopestisida ini menjadi solusi yang ekonomis. Petani dapat mengolah bahan yang sudah ada di sekitar mereka menjadi produk yang berguna, yang pada gilirannya dapat meningkatkan hasil panen tanpa menambah beban biaya yang signifikan.
Namun, penting untuk dicatat bahwa efektivitas biopestisida kulit bawang merah tidak selalu setara dengan pestisida kimia. Dalam beberapa kasus, hama mungkin memiliki ketahanan terhadap senyawa tertentu dalam biopestisida. Oleh karena itu, penggunaan biopestisida harus dilakukan secara bijaksana, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti jenis hama, kondisi lingkungan, dan jenis tanaman yang dibudidayakan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami interaksi antara biopestisida dan berbagai faktor yang dapat memengaruhi efektivitasnya.
Meskipun ada tantangan dalam penggunaan biopestisida, manfaat jangka panjangnya jauh lebih besar dibandingkan dengan risiko yang terkait dengan pestisida kimia. Biopestisida dari kulit bawang merah bukan hanya alternatif yang aman dan efektif untuk mengendalikan hama, tetapi juga merupakan langkah menuju praktik pertanian yang lebih berkelanjutan. Dengan semakin meningkatnya kesadaran akan dampak negatif dari pestisida kimia, biopestisida ini dapat menjadi bagian integral dari strategi pengendalian hama yang lebih holistik.
Keunggulan biopestisida dari limbah kulit bawang merah dibandingkan dengan pestisida kimia sangat jelas. Ditinjau dari segi efektivitas dalam mengendalikan hama, dampak positif bagi kesehatan tanaman, hingga manfaat bagi lingkungan dan kesehatan manusia, biopestisida ini menawarkan solusi yang lebih aman dan berkelanjutan. Dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar kita dan mengolahnya menjadi produk yang bermanfaat, kita tidak hanya membantu menjaga kesehatan tanaman, tetapi juga berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan. Oleh karena itu, penting bagi para petani dan pelaku pertanian lainnya untuk mempertimbangkan penggunaan biopestisida ini sebagai bagian dari praktik pertanian mereka, demi masa depan pertanian yang lebih bersih dan sehat.
Strategi Implementasi Biopestisida: Menghadapi Tantangan di Lapangan"
Penggunaan biopestisida berbahan kulit bawang merah menjadi salah satu alternatif yang menjanjikan, namun implementasi biopestisida ini di lapangan menghadapi beberapa tantangan. Petani perlu memahami cara yang tepat untuk menerapkan biopestisida ini dalam praktik pertanian mereka, serta mengatasi berbagai tantangan yang mungkin muncul.
Langkah pertama dalam implementasi biopestisida adalah memastikan bahwa petani memahami proses pembuatan biopestisida dari kulit bawang merah dengan baik. Selain itu, penyemprotan biopestisida harus dilakukan dengan tepat. Petani perlu memahami waktu yang tepat untuk menyemprotkan larutan, yaitu pada pagi atau sore hari ketika suhu tidak terlalu panas. Hal ini akan membantu mengurangi penguapan senyawa aktif dan memastikan bahwa biopestisida dapat bekerja secara efektif. Penyemprotan yang tidak merata juga dapat menjadi tantangan. Oleh karena itu, penggunaan alat semprot yang baik dan teknik penyemprotan yang benar sangat penting agar semua bagian tanaman, terutama bagian bawah daun, terpapar biopestisida.
Tantangan lain yang mungkin muncul adalah ketidakpastian dalam pengenceran biopestisida. Petani harus mengetahui rasio yang tepat antara biopestisida dan air untuk menghindari efek yang kurang optimal. Secara umum, 100-200 ml biopestisida dicampurkan dengan satu liter air, tetapi rasio ini dapat disesuaikan berdasarkan tingkat serangan hama. Oleh karena itu, penting bagi petani untuk mengamati kondisi hama secara berkala dan melakukan penyesuaian yang diperlukan.
Salah satu strategi untuk mengatasi tantangan ini adalah dengan membentuk kelompok tani yang dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman. Dalam kelompok ini, petani dapat saling mendukung dalam pengembangan teknik pembuatan dan aplikasi biopestisida. Diskusi mengenai hasil yang diperoleh dari penggunaan biopestisida juga akan memberikan wawasan berharga tentang efektivitasnya di lapangan. Dengan cara ini, para petani dapat belajar dari satu sama lain dan menemukan solusi untuk masalah yang mereka hadapi.
Selain itu, pelatihan dan penyuluhan tentang penggunaan biopestisida juga sangat penting. Penyuluh pertanian dapat berperan dalam memberikan edukasi kepada petani tentang cara pembuatan, aplikasi, dan pengelolaan biopestisida. Dengan pengetahuan yang memadai, petani akan lebih percaya diri dalam menerapkan biopestisida ini dan mengatasi tantangan yang muncul. Haperidah Nunilahwati dan kawan-kawan dalam artikel “Controlling Rice Pests with Biopesticides: Counseling at BPP Nusa Bakti, Belitang III District, East OKU” yang dipublikasikan tahun 2023 berpendapat bahwa penyuluhan biopestisida berdampak positif terhadap pemahaman dan antusiasme petani, sehingga memberikan alternatif yang ramah lingkungan untuk mengendalikan hama tanaman padi.
Dilihat dari perspektif biaya, biopestisida dari kulit bawang merah menawarkan keuntungan yang signifikan. Penggunaan limbah sebagai bahan baku mengurangi biaya produksi, namun petani tetap harus memperhitungkan waktu dan tenaga yang dibutuhkan dalam proses pembuatan. Oleh karena itu, penting bagi petani untuk merencanakan waktu dan sumber daya yang akan dialokasikan untuk pembuatan biopestisida ini agar dapat diintegrasikan dengan kegiatan pertanian lainnya.
Selain tantangan praktis, petani juga perlu mempertimbangkan faktor lingkungan. Penggunaan biopestisida harus dilakukan dengan cara yang tidak merusak ekosistem lokal. Misalnya, penyemprotan harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi cuaca, seperti angin dan hujan, untuk menghindari pencemaran yang tidak diinginkan. Dengan memahami dinamika lingkungan, petani dapat meminimalkan dampak negatif dari aplikasi biopestisida.
Implementasi biopestisida dari kulit bawang merah dalam praktik pertanian juga dapat didukung oleh kebijakan pemerintah. Dukungan berupa insentif untuk penggunaan biopestisida alami dan pelatihan bagi petani dapat mempercepat adopsi metode ini. Selain itu, penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas biopestisida dalam berbagai kondisi juga perlu didorong untuk memberikan data yang kuat bagi para petani.
Dalam menghadapi tantangan di lapangan, petani harus memiliki sikap yang proaktif dan adaptif. Penggunaan biopestisida dari kulit bawang merah adalah langkah menuju praktik pertanian yang lebih berkelanjutan. Dengan mengatasi tantangan yang muncul dan menerapkan strategi yang tepat, petani dapat meningkatkan produktivitas mereka sambil tetap menjaga kesehatan lingkungan. Kesadaran akan pentingnya praktik pertanian yang ramah lingkungan akan mendorong lebih banyak petani untuk beralih dari pestisida kimia ke biopestisida, sehingga menciptakan ekosistem pertanian yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Penulis :
I Nengah Muliarta
Akademisi Prodi Agroteknologi Fakultas Pertanian, Sains dan Teknologi, Universitas Warmadewa
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com