Denpasar, dewatanews.com - Merasa tanah diserobot oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID). Pengacara Siti Sapura yang akrab disapa Ipung akan segera menutup jalan yang sudah dibangun oleh investor di atas lahan seluas 7 are miliknya di kawasan Desa Serangan, Denpasar Selatan.
"Itu sebagai langkah yang menurut pantas diambil dikarenakan lahan tersebut milik saya. Dimana lahan milik sendiri diserobot oleh BTID dijadikan jalan, dan pihak BTID) sendiri tidak melakukan konfirmasi terkait hal itu," kata Ipung, Senin (28/2).
Sembari menyampaikan dengan tegas kalau masih tetap hal itu jalan, maka saya menyatakan dengan tegas akan menutup jalan tersebut. Sementara untuk melakukan upaya hukum terkait persoalan tersebut saya pikir tidak perlu.
"Karena tanah itu milik sendiri, dan saya berhak untuk menutupnya. Jadi tidak perlu haria dilakukan upaya hukum," terangnya.
Ipung menjelaskan, terkait pernyataan BTID bahwa tanah yang dibangun jalan berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI nomor SK.480/Menlhk-Setjen/2015. Pasti hal tersebut tidak masuk akal.
"Karena orang tua saya Daeng Abdul Kadir (alm) membeli dua bidang tanah yang terletak di Kampung Bugis, Serangan pada tahun 1957," jelasnya.
Lanjut Ipung, tanah tersebut dibeli orang tua dari Sikin yang merupakan ahli waris dari H. Abdurahman (alm) yang merupakan mantan Kepala Desa Serangan beberapa waktu lampau.
"Dimana dua bidang tanah yang dibeli yaitu dengan pipil nomor 2, persil nomor 15c memiliki luas 0,995 hektar, kemudian tanah dengan pipil nomor 2, persil nomor 15a memiliki luas 1,12 hektar," imbuhnya.
Ditambahkan, dalam perjalanan ada sejumlah pihak mencoba menguasai lahan tersebut dengan dalih bahwa tanah tersebut diperoleh secara hibah dari Cokorda Pemecutan (alm).
Karena saya merasa sudah berbekal dokumen kepemilikan yang sah inilah sebagai ahli waris kemudian melakukan eksekusi lahan yang telah dikuasai sejumlah oknum masyarakat pada 2017 silam.
"Kenapa sekarang BTID bisa mengklaim tanah saya secara sepihak berdasarkan SK.480/Menlhk-Setjen/2015. Itu sudah tidak masuk akal," tambahnya.
Sementara dari Kasatgas Polhut Tahura, Agus Santoso yang sudah sempat dikonformasi menyatakan tanah tersebut bukan kewenangan Dinas Kehutanan. Pihaknya tak punya kapasitas menangani tanah di luar kawasan hutan.
Baik itu peruntukan, baik itu status. Kita tidak punya kepentingan. Yang menjadi kepentingan kita adalah di mana dan bagaimana menunjukkan batasan hutan kita, mana kala ada tanah batasan kawasa hutan yang dimohonkan untuk disertifikatkan, apa namanya, dimohonkan kepemilikan hak.
"Kita turun ambil koordinat, bikin berita acara. Produk di kita membuat surat keterangan Kepala Kantor Tahura untuk menyatakan itu masuk kawasan hutan atau tidak,” ujar Agus.
Sembari menekankan berhubung ini sangat jauh dari kawasan hutan kita, kita tidak dalam kapasitas sebetulnya. Begitu lho, itu intinya. Yang jelas di sini sudah bukan kawasan hutan. Biar konstruksinya jelas ini.
"Dimana dahulu ada namanya pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan pengembangan pariwisata dengan BTID. “Kita ada dokumennya,” katanya.
Bahkan dari Bendahara Desa Adat Serangan Nyoman Kemu Antara yang juga sempat dikonformasi menegaskan berdasarkan data pipil dengan data sertifikat atas nama Maesarah, ada tanah tak bertuan secara sertifikat saya katakan, di dalam pipil itu luasnya 110 are atau 1,1 hektar. Yang disertifikatkan, baru 94 (are). Jadi adalah kelebihan tanah yang belum bertuan.
Setelah dibandingkan peta okupasi yang diserahkan oleh BTID ke desa melalui tanah kehutanan tersebut, itu sudah jelas, patok atau garis dari peta okupasi.
Sehingga pihak desa berkordinasi dengan ahli waris Maesarah dalam hal ini Ibu Sapura (Ipung) berkordinasi dengan desa adat untuk melakukan proses tanah terhadap tanah di luar 94 (are).
"Hal itu sudah berjalan sejak lama melibatkan BPN, karena kami di desa tidak mau mengambil tanah di luar hak orang lain,” paparnya.
BPN Kota Denpasar yang hadir di lokasi Ali Nur Hamid menyatakan pihaknya hanya diminta untuk mendampingi Dinas Kehutanan.
“Sementara pihak dari Kehutanan sendiri menyatakan secara batas wilayah bukan merupakan kawasan hutan. Dinas Dinas Kehutanan sendiri menyatakan secara kepemilikan tidak masuk kawasan kehutanan. Otomatis ya selesai,” tandasnya.
Dari tempat terpisah General Manager BTID, Made Sumantara yang dihubungi melalui selulernya ketika disinggung “merasa” memiliki lahan tersebut, justru tegas dikatakan bahwa lahan itu milik BTID. (DN - Bdi)
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com