Oleh I Made Suyasa
Jika mendengar kata gratis, siapa yang tak akan tertarik? Saya yakin semua pasti akan tertarik mendengarkannya. Ada pengobatan gratis, ada pembagian makanan dan sembako gratis, terlebih dalam kondisi ekonomi terpuruk seperti sekarang ini akibat dampak pandemi Covid-19 yang entah kapan akan berakhirnya.
Kata gratis itu sangat enak dan terasa indah kalau didengarkan. Bagaimana dengan program pendidikan gratis yang digaungkan sejumlah lembaga pendidikan tinggi saat ini? Apakah ini hanya slogan, program tipu-tipu atau sekadar pencitraan atau memang benar-benar gratis?
Gratis itu maknanya tidak bayar. Artinya uang pendaftaran dibebaskan, SPP juga tak perlu bayar termasuk biaya pendidikan lainnya. Tinggal kuliah saja, siapa yang tak akan tertarik dengan program ini? Pertanyaannya adalah mungkinkah program pendidikan gratis ini bisa diterapkan?
Tidak ada definisi secara spesifik untuk kata pencitraan itu sendiri di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Namun, pencitraan bisa diartikan sebuah usaha untuk menunjukkan sesuatu kepada publik secara berlebihan, hingga tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Tidak ada yang salah dengan pencitraan, karena dalam konteks tertentu, pencitraan adalah hal yang wajar dan lumrah.
Pencitraan adalah usaha yang kita lakukan agar kita tampak seperti apa yang kita inginkan di mata orang lain. Misalnya, jika salah satu lembaga pendidikan ingin dikenal dengan programnya biaya murah dan terjangkau, maka tentu akan dibuat program dan merancang agar biaya pendidikan itu tidak mahal. Tujuannya apa? Tentu saja agar orang lain mengetahui kalau kuliah di tempat tersebut biayanya murah dan terjangkau. Bagaimana kalau yang ditawarkan adalah program pendidikan gratis?
Saya tidak henti-hentinya menyoroti program pendidikan gratis ini. Bagi saya itu hanya slogan, untuk pencitraan dan dalam praktiknya enak didengar dan pahit dirasakan. Banyak yang dirugikan oleh program ini, terlebih perguruan tinggi swasta (PTS) yang keuangannya sangat tergantung dari biaya SPP dan biaya lainnya dari mahasiswa. Kalau ini semua digratiskan, mungkinkan lembaga pendidikan itu bisa eksis dan mampu menawarkan pendidikan berkualitas? Jawabannya sudah pasti tidak akan bisa dan mustahil atau omong kosong belaka.
Kenapa program pendidikan gratis ini saya sebut hanya pencitraan belaka, karena ada yang ingin mencitrakan dirinya sebagai orang yang peduli dan meringankan beban hidup rakyat kecil. Ditawarkanlah program kuliah gratis, agar mereka yang tidak mampu itu bisa jadi sarjana tanpa perlu susah-susah membayar SPP dan biaya lainnya. Tinggal kuliah saja dan tak perlu pusing dengan urusan biaya.
Faktanya, mereka yang tertarik dengan program kuliah gratis itu banyak yang berhenti di tengah jalan, karena ujung-ujungnya mereka tetap dikenakan biaya ketika di akhir-akhir perkuliahan atau ketika mereka akan tamat. Ini artinya, tidak ada yang gratis di dunia ini. Kencing saja sekarang bayar, apalagi untuk pendidikan yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Lantas siapa yang akan menderita dengan program kuliah gratis yang ditawarkan PTS ini? Tentu saja yang paling menderita adalah mahasiswa yang terjebak dengan rayuan program kuliah gratis dan juga para dosen yang menjadi ujung tombak pahlawan kecerdasan bangsa, termasuk juga karyawan yang perannya tidak bisa dilupakan begitu saja dalam menyukseskan program pendidikan ini.
Mahasiswa akan dirugikan dengan program kuliah gratis ini, karena di samping menyesatkan juga akan membuat bodoh, karena mereka akan dihadapkan pilihan yang harus diterima, yakni kualitas pendidikan. Bagaimana mau mewujudkan pendidikan berkualitas, jika gaji dosen dan pegawainya tidak layak. Bagaimana mereka bisa mengembangkan kualitasnya, kalau biaya saja mereka tidak punya karena gaji yang diterimanya hanya cukup untuk makan saja.
Belum lagi akibat pandemi Covid-19 ini, ada PTS yang terpaksa melakukan pemotongan gaji dosen dan karyawannya dengan alasan krisis keuangan akibat banyaknya mahasiswa yang tak bisa membayar SPP atau biaya pendidikan lainnya.
Dalam kondisi seperti ini, mahasiswa tak bisa protes dan tidak bisa menawar atau menuntut macam-macam. Namanya saja program gratis, jadi harus diterima apa adanya, termasuk tidak boleh menuntut pendidikan yang berkualitas.
Pendidikan gratis itu hanya slogan, pencitraan belaka karena faktanya tidak mungkin lembaga pendidikan menggratiskan semua komponen biayanya. Pengelola PTS mungkin bangga mengucapkan slogan sekolah gratis agar banyak yang tertarik, namun sejatinya tidak ada realitanya.
Dengan program pendidikan gratis, dikhawatirkan proses belajar mengajarnya menjadi tidak bermutu yang tentu saja akan berdampak terhadap kualitas lulusannya. Dampak jangka panjang, jika kualitas ini diabaikan, bukan tidak mungkin lembaga pendidikan itu akan ditinggalkan, terlebih masyarakat di era informasi ini menuntut pendidikan yang berkualitas dan lulusannya siap bersaing di pasar kerja.
*Penulis adalah dosen salah satu PTS di Bali.
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com