KETIKA Gempa Bumi meluluh lantakkan Kota Seririt, empatpuluh tiga tahun silam. Tepatnya, tanggal 14 Juli 1976.
Ratusan korban jiwa akibat goncangan gempa, sehingga pemerintah menyebut sebagai bencana nasional. Bahkan, Presiden Soeharto melihat langsung puing puing reruntuhan ke Seririt.
Gempa bumi Seririt dengan kekuatan 7,5 skala richter merupakan goncangan kedua atau susulan yang lebih dahsyat di banding yang pertama.
Masih terngiang dan terbayang detik detik gempa bumi di Seririt, waktu itu yang menjadikan Buleleng, Bali berduka.
Karena, saya pribadi saat itu menjadi tenaga / karyawan honorer RRI Singaraja yang ditugaskan sebagai penyiar dan reporter bersama Gede Mardika Wijaya alm.sejak tahun 1970 ketika Kepala Studio (Kepsta) Soejadi Hardjoloekito alm.asal Solo.
Sementara RM.Suprapto alm. (suami Made Sukerni)) di Bagian Produksi, dengan Kepala Bagian Siaran Putu Sudama, BA.
Ketika goncangan gempa pertama saat itu, saya masih di meja kerja menyiapkan berita kota siang pukul 13.30 Wita. Tersandung goncangan gempa, naskah ditinggal di mesin ketik untuk melihat suasana di seputaran Pasar Anyar Banjar Bali. Kerusakan akibat gempa bumi ini
tidak begitu parah.
Malah, diterima info, bahwa Seririt rata dengan tanah. Naluri kewartawanan yang baru di gembleng dalam 6 tahun terakhir, setelah mengikuti Penataran Humas dan Wartawan maupun Penataran Wartawan Olahraga yang dilakukan PWI Cabang Bali yang saat itu Ketua nya Raka Wiratma almarhum. Secara spontan tanpa ditugaskan langsung meluncur ke Seririt.
Terkenang ketika Penataran Wartawan dan Humas bersama sama Brata Asrama (Gianyar) dan Made Dibia (Klk), keduanya sudah almarhum.
Dengan mengendarai sepeda motor Yamaha YB pemberian PWI Cabang Bali untuk Harun Daeng Malino almarhum, dengan cepat menyusuri jalan Singaraja-Seririt.
Setiba di pertigaan sebelah barat Tangguwisia, tiba tiba motor terpelanting jatuh ke pinggir jalan sebelah kiri. Perkiraan ban roda belakang pecah, tapi begitu bangun dari jatuh bersama motor, ternyata tiang telepon masih goyang. Ternyata, goncangan gempa susulan yang menjatuhkan motor yang saya kemudikan begitu dahsyat.
Setelah goncangan gempa bumi reda, kembali melanjutkan perjalanan ke pusat kota Seririt. Pertama yang disaksikan mobil Badan Pemadam Kebakaran (BPK) Buleleng terkena reruntuhan bangunan toko di simpang empat kota Seririt. Begitu juga bangunan gedung SMPN 1 Seririt rata dengan tanah, serta sejumlah bangunan rumah, pertokoan, termasuk Pasar Seririt.
Mirisnya lagi suasana malam gelap gulita, karena jaringan penerangan listrik belum bisa dilakukan optimal oleh PLN.
Mengerikan dan mengharukan memang suasana mencekam di antara jerit tangis warga korban gempa bumi.
Mengejar "dead line" buru buru meninggalkan Kota Seririt, kembali ke studio RRI di jalan Gajah Mada no.144 Singaraja.
Lebih miris lagi, ketika tersebarnya berita bohong, kerennya sekarang Hoax. Bahwa, adanya air laut Pengastulan naik atau tsunami
Lagi lagi naluri kewartawanan mencuat, tanpa menghiraukan keluarga (istri dan anak pertama yang baru 3 bulan) meninggalkan rumah mencari tempat lebih tinggi. Padahal lokasi rumah sudah tinggi dari atas permukaan laut Buleleng.
Dengan motor Yamaha YB bernopol merah, kembali meluncur ke Seririt.
Dalam perjalanan berpapasan dengan puluhan dan mungkin ratusan kendaraan bermotor menuju ke arah timur, ke Singaraja. Sayangnya, ada aparat di antara mobil dengan suara lantang meminta pengendara dari arah timur "kembali... kembali"'.
Sementara motor yang saya kendarai lebih cepat hingga tak memerlukan waktu lama sampai di pusat kota Seririt.
Ternyata informasi adanya air laut naik atau tsunami benar2 bohong alias HOAX.
Terjadinya gempa bumi Seririt mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat, bahkan luar negeri, seperti Australia dengan mengalirnya berbagai macam bantuan.
Bahkan, Presiden Soeharto saat itu secara langsung datang melihat dari dekat, setelah pesawat Helikopter mendarat di lapangan umum Seririt.
Sebagai reporter radio, RRI Singaraja, kebetulan ditugaskan untuk membuat laporan kunjungan Presiden Soeharto.
Dibanding era digital saat kekinian, sebagai reporter radio saat itu dengan sarana tape recorder di jinjing dipakai wawancara dengan petinggi Indonesia.
Kendati sarana sangat sederhana, namun rekaman suara Soeharto sebagai Presiden RI bisa didengar di seluruh Nusantara.
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com