PAJAK dalam sepekan terakhir ini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat Kabupaten Buleleng karena adanya ”naiknya”, menurut pengertian masyarakat dan ”penyesuaian” versi pemerintah, mengingat perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Mengemukanya ketetapan Pemerintah Kabupaten Buleleng menaikkan Pajak Bumi Bangunan Perkotaan Perdesaan (PBB P2) hingga 600 persen menjadi perbincangan hangat yang berujung adanya protes yang secara resmi melakukan pengaduan ke lembaga legislatif, sebagai wakil rakyat. Padahal dengan adanya perda yang baru semestinya menguntungkan masyarakat.
Pengaduan masyarakat plus Perbekel Desa Anturan itu memang sudah ditiundaklanjuti oleh Komisi III DPRD Kabupaten Buleleng. Dari tindak lanjut melalui Rapat Dengar Pendapat Komisi III dengan Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD) Kabupaten Buleleng dipimpin Wakil Ketua DPRD Buleleng Ketut Susila Umbara, sepertinya belum memuaskan masyarakat wajib pajak.
Meski Susila Umbara mengakui, bahwa saat ini sudah banyak aduan terkait dengan melonjaknya pajak yang dibayar masyarakat, mengingat kenaikan NJOP Kabupaten Buleleng ditahun 2019 mencapai 600% dari tahun lalu.
Sementara Kepala BKD Buleleng menyimak, NJOP ditetapkan dengan Peraturan Bupati yang dalam amanat Perda No. 5 tahun 2013 dan UU 28 Tahun 2009 pasal 79 ayat 2 yang ditetapkan setiap tiga tahun sekali sesuai dengan perkembangan wilayah Kabupaten Buleleng
Kenapa? BKD sebagai leading sector Pemerintah Kabupaten Buleleng membuka lembaran kebijakan Peraturan Bupati (Perbup) Buleleng no. 15 tahun 2019 tentang besarnya pengurangan yang diperkenankan.
Perbup Buleleng yang memberikan peluang kepada masyarakat wajib pajak mengajukan keberatan untuk mendapatkan penyesuaian sesuai poin yang tersirat dalam Perbup Buleleng dimaksud.
Sementara Komisi III DPRD Kabupaten Buleleng sebagai wakil rakyat malah meminta BKD Kabupaten Buleleng lebih mengoptimalkan sosialisasi Perbup Buleleng dimaksud.
Masih Jadi Perbincangan Masyarakat Wajib Pajak. Terkait Perbup Buleleng No.15 Tahun 2019 dimaksud, Dewatanews,com menemui pengamat social Dr.Gede Made Metera untuk kajian akademis.
Made Metera mengatakan, bahwa sejak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diserahkan dari pusat ke daerah, semakin sering ada keberatan dan protes wajib pajak karena kenaikan PBB yang dianggap tidak wajar dan tidak adil. Keberatan dan protes wajib pajak itu dapat sebagai indikator daerah belum dapat menggunakan pajak sebagai instrumen kebijakan fiskal untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Menurut Metera yang prnah bekerja sebagai Director di Research Institute for Regional Development, bahwa memungut pajak dan menggunakan kekerasan berdasarkan undang-undang memang merupakan hak negara modern yang tidak bisa ditiadakan agar negara bisa melaksanakan kewajibannya mewujudkan kesejahteraan rakyat dan menciptakan keamanan dan ketertiban melindungi rakyat dari ancaman dan gangguan.
”Pajak yang dipungut oleh negara dari wajib pajak masuk ke kas negara kemudian didistribusikan kembali sebagai pengeluaran pemerintah untuk membiayai program dan kegiatan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat”, jelas Rektor Universitas Panji Sakti Singaraja ini.
Namun demikian, lanjut alumni SMA (SLUA) Saraswati Tabanan ini, bahwa pajak yang dipungut dari wajib pajak haruslah tetap berlandaskan keadilan dan kewajaran agar wajib pajak mampu membayar dari penghasilannya dan tidak menurunkan kesejahteraannya.
Pajak Bumi dan Bangunan yang dipungut atas dasar Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) nampaknya memang mencerminkan azas keadilan, NJOP yang lebih tinggi kena pajak lebih tinggi.
”Namun untuk pajak tanah kalau semata didasarkan kepada NJOP, tidak memperhitungkan penggunaan lahan dan hasil dari lahan, maka akan dapat menimbulkan ketidakwajaran”, jelasnya..
Tanah pertanian yang terletak di kawasan dengan NJOP tinggi akan kena pajak tinggi yang bisa melebihi hasil pertanian. Kalau hal ini terjadi dapat mendorong petani menjual lahannya karena tidak mampu membayar pajak. Maka upaya mempertahankan lahan pertanian akan sia-sia.
Karena itu, Made Metera selaku pengamat social menekankan, kebijakan dalam penetapan PBB, tidak semata berdasarkan NJOP, tetapi juga memperhitungkan penggunaan lahan dan hasil dari tanah yang dikenai pajak, agar pemilik tanah yang dimanfaatkan untuk lahan pertanian mampu membayar pajak dari hasil lahan pertaniannya dan bisa sejahtera dari kegiatan bertani. ~ Made Tirthayasa ~
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com