Kita tentu sering mendengar ungkapan ”Ilmu Manusia itu bagaikan setetes Air di lautan”.. Tidaklah salah, jika ungkapan ini mirip dengan kejadian saat ini di Bumi Pertiwi tercinta, Indonesia.
Sistem Pemilu serentak yang diagung-agungkan menjadi pemilu terbesar dan terberat di dunia dengan biaya yang jauh lebih murah dari pemilu sebelumnya tidak ada yang menyangka jika berakhir dengan hilangnya ratusan nyawa manusia. Hingga kemarin, KPU mengumumkan sebanyak 144 orang meninggal dunia dan 883 menderita sakit akibat kelelahan, karena bertugas sebagai panitia pemungutan suara di TPS. Termasuk juga, seorang petugas panitia pemungutan suara saat ini masih harus menjalani perawatan intensif di Ruang ICCU Rumah Sakit Paramasidhi Singaraja.
Jika melihat jumlah korban ini, tidak salah jika ini masuk kategori bencana nasional, sebab terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Pemilu serentak seperti ini sesungguhnya banyak yang pesimis untuk dapat berjalan mulus, Tetapi DPR pada tanggal 21 Juli 2017 telah menyetujui RUU Pemilu menjadi Undang Undang dan Presiden pun mensahkan pada tahun 2018 dan diundangkan di Lembaran Negara pada tanggal 16 Agustus 2017.
KPU sebagai penyelenggara secara otomatis menjalankan Undang Undang Pemilu No. 07 tahun 2017 sebagai Dasar Hukum Pemilu Serentak 2019 yang menggabungkan Pemilu Presiden, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan DPD. Namun, di lapangan yang terjadi banyak menemui persoalan yang sangat rumit, DPT yang berubah ubah, Logistik Pemilu yang datang tidak tepat waktu, surat suara dicoblos sebelum waktunya dan masih banyak lagi permasalahan lainnya.
Namun yang paling memprihatinkan pelaksanaan Pemilu serentak memakan korban Nyawa manusia, yang sama sekali tidak bersalah, karena menjalankan aturan undang undang, nyawanya harus melayang. Pertanyaannya, siapa yang harus bertanggungjawab. Jawabannya adalah Pemerintah dan DPR, karena dari sanalah Muaranya.
Wakil Presiden Yusuf Kalla dengan tegas menghimbau agar Pemilu serentak dikaji ulang, sebab harus mengorbankan nyawa.
Meskipun nyawa melayang, disisi lain masih saja ada yang menikmati euforia kemenangan. Bahkan, juga ada yang berpendapat petugas KPPS yang meninggal adalah Pahlawan Demokrasi, padahal untuk menjadi pahlawan nasional sangat sulit dan bertahun tahun harus menunggu.
Istilah pahlawan demokrasi rasanya kurang relevan, apalagi mereka dibuatkan SK dan mendapat honor.Tapi sampai saat ini, baik Pemerintah maupun DPR belum ada yang menyatakan, kalau ini bagian dari kesalahan membuat undang undang yang tidak memikirkan akibatnya. Yang menambah parah, adalah keputusan MK yang memperpanjang waktu pencoblosan sampai.penghitungan di TPS dari 12 jam ditambah 12 jam lagi dan secara medis manusia tidak mampu bekerja 24 jam tanpa henti.
Atas dasar itulah, kini pemerintah, DPR maupun pengambil kebijakan untuk segera mengambil langkah langkah cepat untuk mengatasi korban meninggal dunia dengan memberikan santunan kematian dan pengobatan bagi yang cacad dan sakit. Jangan hanya terfokus terhadap hasil pemilu serentak, tetapi juga korban akibat pemilu serentak juga wajib diperhatikan. Karena ini Pemilu pertama yang banyak menelan korban jiwa manusia. ~ Made Tirthayasa ~
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com