Hari Raya Kuningan yang dilaksanakan setiap Sabtu (Saniscara) Kliwon Wuku Kuningan untuk kali ini, pada Sabtu – 05 Januari 2019 kali ini dilaksanakan bersamaan dengan perayaan Siwaratri pada purwani atau sehari sebelum Tilem Kapitu.
Hari Raya Kuningan yang dilaksanakan setiap 210 atau enam bulan sekali merupakan rangkaian dari Galungan.
Dalam Lontar Sundarigama telah disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari Raya Kuningan hendaknya dilaksanakan pada pagi hari dan menghindari menghaturkan upacara lewat tengah hari.
Mengapa? Karena diyakini, bahwa pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara kembali ke alamnya masing-masing setelah turun ke bumi.
Akan tetapi bukan berarti, bahwa yang melaksanakan Kuningan sore atau malam hari itu salah.
Desa (tempat), Kala (waktu) dan Tattwa (hakekat) tetap menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaannya. Dan sesungguhnya Kuningan itu adalah masih lanjutan momen Galungan untuk menempa jati diri secara rohani dalam rangka memenangkan dharma terhadap adharma, bukan secara ritual semata.
Karena pada Penampahan Kuningan yang jatuh pada Jumat Wage wuku Kuningan, dalam Lontar Sundarigama tidak menyebutkan upacara yang mesti dilakukan, namun menyebutkan "sapuhakena malaning jnyana".
Artinya, lenyapkanlah kekotoran pikiran. Dalam Galungan kekotoran pikiran ini disebut "byaparaning idep" yang harus dilebur dengan Samadhi".
Hari Raya Siwaratri
Sementara untuk Hari Raya Siwaratri yang dilaksanakan saat Sasih Kepitu, pada hakikatnya adalah Namasmaranam pada Nama Siwa, yang artinya selalu mengingat dan memuja Siwa dalam upaya melenyapkan segala kegelapan batin.
Keutamaan Siwaratri diuraikan dalam kitab-kitab Purana, yaitu Siwa Purana, Skanda Purana, Garuda Purana dan Padma Purana.
Brata Siwaratri hendaknya dilaksanakan menurut berbagai Purana tersebut, yaitu Upawasa yang biasanya dilaksanakan mulai matahari terbit.
Menurut Agni Purana artinya "kembali suci"; yang dimaksud adalah dilatihnya indria melepaskan kenikmatan makanan atau dengan kata lain, yaitu berpantang terhadap makanan, melatih untuk tidak terikat dengan kelezatan makanan sebagai bentuk melatih pengendalian indria-indria duniawi.
Kedua yaitu Mona Brata yang artinya berdiam diri tidak bicara. Mona bertujuan melatih diri dalam hal bicara agar terbiasa bicara dengan penuh pengendalian, sehingga tidak keluar ucapan-ucapan yang tidak patut diucapkan. Mona adalah melatih pembicaraan pada diri sendiri dengan merenungkan kesucian. Mona Brata biasa dilaksanakan secara total, mulai pagi hari hingga sore hari.
Brata ketiga yakni Jagra atau sadar, dimana selalu menjaga kesadaran buddhi. Menjaga kesadaran agar selalu mengarah pada Sang Pencipta. Dalam upaya menjaga kesadaran inilah mereka yang totalitas melaksanakan Brata Mahasiwaratri biasanya pada malam harinya melakukan Japa Seribu Nama Siwa atau men-Japa-kan nama-nama Siwa yang jumlahnya seribu.
Sehingga secara ritual, Hari Raya Kuningan tetap bisa dilaksanakan sebelum tengah hari, namun tetap dalam nuansa pelaksanaan Brata Mahasiwaratri, yaitu dalam nuansa Upawasa (berpantang terhadap makanan), Mona Brata (berpantang terhadap kata-kata, tidak mengobral kata-kata, tidak banyak bicara, tidak berkata-kata yang tidak perlu), Jagra atau selalu menjaga kesadaran agar terpusat kepada Hyang Kuasa.
Namun, tidak salah juga Kuningan dilaksanakan pada sore hari, mengingat pemaknaan Kuningan yang sebenarnya bukanlah ritualis belaka, bukan semata-mata terkait dengan para Dewa Pitara (para leluhur) yang harus dipuja sebelum tengah hari oleh karena dikatakan, bahwa mereka akan kembali ke Pitara Loka tengah hari, dan jika dilaksanakan lewat tengah hari akan percuma, sama sekali bukan hal ini. Namun pemaknaannya lebih kepada upaya menempa sang diri secara spiritual seperti dijelaskan dalam Lontar Sundarigama.
Apabila Kuningan ini dilaksanakan sore hari, maka akan lebih sejalan dengan mereka yang menjalani Mona Brata Siwaratri pada siang hari sudah selesai pada sore harinya. Dan bisa dilaksanakan secara terpadu dengan Japa Seribu Nama Siwa.
Jika ada yang bertanya, manakah yang lebih utama antara Kuningan dan Siwaratri? Maka jawabnya tidak ada yang lebih utama ataupun yang kurang utama. Keduanya adalah utama, karena dilihat dari pemaknaan yang dijelaskan dalam sastra suci, terkait keduanya adalah dalam upaya meningkatkan kesadaran rohani yang bukan dengan jalan ritualis belaka, namun dengan laku atau sadhana spiritual yang lebih mengarah kepada penggemblengan diri secara batin, ~ Made Tirthayasa ~
Dari berbagai sumber.
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com