Sejarah Kota Singaraja tidak bisa lepas dari muculnya seorang penguasa di Bali Utara pada pertengahan abad XVII, yang berhasil membangun daerah tersebut, sehingga maju dan disegani oleh daerah-daerah lain, baik yang ada di Bali maupun di luar Bali. Beliau adalah Anglurah Panji Sakti. I Gusti Nurah Panji Sakti, putra dari Dalem Sagening yang pusat kekuasaannya di Gelgel dan ibunya bernama Si Luh Pasek Panji.
Masa pemerintahan I Gusti Ngurah Panji Sakti di Bali Utara cukup lama, kurang lebih 81 tahun, yaitu dari tahun 1959-1680. Beliau bersama ibunya diperintahkan kembali ke Den Bukit oleh ayahndanya, yaitu Dalem Sagening disertai pasukan pengawal sebanyak 40 orang dengan pimpinannya Ki Kadosot dan Ki Dumpyung. Sementara Dalem Sagening memberikan bekal Ki Barak (nama panggilan I Gusti Ngurah Panji) sebuah tombak yang kemudian terkenal dengan nama Pangkaja Tatwa dan sebuah keris anugerah dewata bernama Ki Mudaran Cacaran Babang.
Setelah sampai di Desa Panji, beliau tinggal bersama ibundanya Si Luh Pasek Panji di rumah kakeknya, bernama Pasek Gobleg. Sedangkan pengiringnya berjumlah 40 orang kembali ke Gelgel, kecuali Ki Kadosot dan Ki Dumpyung yang selalu mengemban dan mendampingi Ki Barak Panji Sakti sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Dalem Sagening.
Pada waktu itu di daerah Gendis dikuasai oleh seorang penguasa bernama, Pungakan Gendis yang menurut cerita suka bermain judi dan mabuk-mabukan. Karena itu, ia kurang disenangi oleh rakyatnya.
Setelah Ki Barak menginjak usia dewasa dan berkat bimbingan dari Ki Kadosot dan Ki Dumpyung, beliau menjadi seorang pemuda yang mempunyai kharisma dan daya tarik tersendiri. Selanjutnya diceritakan, Ki Barak Panji yang sangat disenangi dan disayangi mampu mengalahkan Pungakan Gendis. Mulai saat itu, Ki Barak Panji oleh masyarakat Gendis dipercaya menjadi pemimpinnya.
Masyarakat Desa Gendis sangat kagum setelah Ki Barak Panji dapat membantu kandasnya sebuah perahu milik saudagar Cina di Segara Penimbangan. Kemudian saudagar Cina tersebut menghadiahkan banyak barang-barang, seperti kain-kain sutra, maupun keramik yang dibawa saudagar tersebut. Setelah kejadian di Segara Penimbangan tersebut, beliau kemudian secara aklamasi diangkat sebagai penguasa daerah Gendis dan selanjutnya beliau membangun sebuah istana di Desa Panji. Kemudian menyunting anak satu-satunya Pungakan Gendis menjadi permaisurinya.
Setelah menjadi penguasa di Panji, beliau segera berencana membentuk satu kelompok prajurit sebagai Bhayangkara daerahnya yang kemudian prajurit tersebut terkenal dengan nama ‘’Taruna Goak’’
Karena pertimbangan-pertimbangan politis dan strategis, I Gusti Ngurah Panji Sakti memindahkan ibu kotanya yang didiami hampir sepuluh tahun ke arah timur, yaitu Sukasada.
Di istana yang baru inilah, beliau secara cepat bersinar terang. Karena prajurit Goak-nya semakin kuat berkat merekrut tenaga-tenaga pelarian dari VOC. Seperti Henrik Berede Roode dengan anak buahnya, diangkat sebagai instruktur Taruna Goak.
Setelah merasa diri kuat sesuai petunjuk pawisik yang diterima dan setelah 8 tahun pemerintahannya di istana Sukasada, Ki Gusti Ngurah Panji menyerang daerah Blambangan. Dalam penyerangan tersebut, akal dan pikiran yang cemerlang beliau bekerjasama dengan prajurit Mataram pimpinan Tumenggung Danupaya (Tahun 1602 M). Dari kerjasama ini dalam waktu relatif singkat Blambangan dapat ditaklukkan.
Kemenangan terhadap Blambangan, di samping kegembiraan bagi prajurit Goak, tetapi sangat sedih karena anak Ki Gusti Ngurah Panji Sakti yang ketiga yang lahir dari permaisuri Ni Ayu Juruh gugur dalam pertempuran. Hal ini sangat dirasakan sebagai pukulan yang hebat bagi beliau karena Ki Danu Dresta sangat diharapkan nantinya sebagai penggantinya. Akibat hal itu, beliau mengasingkan diri kesebelah Utara Sukasada, dimana di daerah tegalan tumbuh pohon Buleleng (jagung gembal).
Selanjutnya, setelah 18 tahun beliau beristana di Sukasada secara bertahap ditinggalkannya dan dibangunlah istana yang baru di sebelah Utara Sukasada. Istana yang baru tersebut kemudian diberi nama, Singaraja untuk mengenang keperkasaan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti seperti seekor singa. Dari Puri inilah berkembang pembentukan kota yang baru yang kita kenal bernama ’’Kota Singaraja’’ yang kini berusia 414 tahun.
Tantangan Buleleng
Buleleng yang dikenal sebutan Den Bukit dengan ibu kotanya Singaraja, 30 Maret 2018 ini memasuki usia 414 tahun. Diusianya lebih dari empat abad itu, Kota Singaraja khususnya dan Buleleng pada umumnya telah mengalami proses perubahan yang mendasar, baik menyangkut pembangunan fisik maupun non-fisik.
Sebagai warga masyarakat Buleleng bisa berbangga hati karena kabupaten di belahan Utara pulau Bali ini memiliki daerah paling luas dan potensi yang cukup besar dibanding kabupaten lain di Bali. Sudahkah potensi yang cukup besar itu digali secara optimal merupakan pertanyaan yang muncul beranekaragam dari berbagai kalangan.
Pemerintah dibawa duet kepemimpinan Bupati Putu Agus Suradnyana dan Wabup Nyoman Sutjidra beserta seluruh komponen masyarakat Buleleng telah banyak berkiprah dalam membangun Buleleng dan Kota Singaraja khususnya. Tetapi, kesemuanya itu masih menyisakan kekurangan yang harus dibenahi di masa mendatang.
Karena apa yang akan dilakukan dan dikerjakan dalam membangun Buleleng ke depan merupakan penentu bagi warna dan jati diri mayarakat Buleleng. Pembangunan Buleleng ke depan sudah seharusnya bertumpu pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Buleleng yang menjadi kebutuhan dan dambaan masyarakat.
Belum Tertandingi
Kepemimpinan Anglurah Ki Barak Panji Sakti sebagai Raja pertama Denbukit (Buleleng) ternyata hanya diagung-agungkan saja dan belum mampu diteladani oleh sebagian besar warga masyarakat Buleleng, khususnya warga Singaraja.
Selaku keturunan Raja Buleleng, Anak Agung Brawida menilai, kepemimpinan Anglurah Panji Sakti mampu mengarahkan kekuatan masyarakatnya yang merupakan rakyat buangan untuk bisa mempersatukan Buleleng.
Disisi lain, Agung Brawida ini menambahkan, dengan keanekaragaman budaya menjadikan aset tersendiri bagi para pemimpin Buleleng selama mereka mampu menempatkan orang-orang sesuai kemampuan dan keahlian mereka.
Dengan kenyataan yang ada itu, Agung Brawida, tergelitik mengikuti perkembangan sebagai rasa bakti kepada leluhurnya, Raja Buleleng sesuai dengan swadharmanya.
Anak Agung Brawida menandaskan, Ki Barak Panji Sakti berhasil membangun kerajaan Denbukit (Buleleng), baik aspek perluasan wilayah kekuasaan, kesejahteraan rakyat, membangun simpati, dukungan, komitmen dan kesetiaan rakyat didalam proses pembangunan.
Disisi lain, Ki Barak Panji Sakti juga berhasil secara gemilang memimpin rakyat Denbukit (Buleleng) ke arah kehidupan harmonis dan damai dalam nuansa keanekaragaman sraddha (iman) dan budaya. Jiwa kepemimpinan semacam ini yang patut ditiru oleh para pemimpin di era reformasi saat ini, termasuk warga Buleleng khususnya. ~ Made Tirthayasa ~
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com