Buleleng, Dewata News. Com — Tanggal 27 Oktober 1945 silam, sebuah kapal milik Belanda bernama Abraham Grijns sudah merapat di Pelabuhan Buleleng. Tanggal tersebut adalah hari ketiga kapal Belanda itu berada di perairan utara Pulau Bali.
Kala itu, pasukan Belanda merangsek masuk kota Singaraja membuat provokasi dan menurunkan bendera merah putih di sejumlah kantor instansi pemerintahan dan termasuk di Pelabuhan Buleleng. Bahkan, ada bendera Merah Putih yang dikoyak-koyak. Mereka lalu mengganti dengan bendera Belanda.
Apa yang dilakukan pasukan Belanda itu membuat pemuda pemuda Buleleng marah dan membuat taktik untuk menurunkan kembali bendera Belanda itu lalu menaikkan Merah Putih kembali. Penyerbuan pun dilakukan dibawah pimpinan I Made Putu dari Desa Banjar Jawa. Beberapa pemuda lainnya, seperti Anang Ramli dari wilayah Kampung Bugis, sebelah barat dari Pelabuhan Buleleng juga ikut berperan berjuang menaikkan kembali merah putih.
Bendera Merah Putih berhasil dinaikkan di depan kantor Bea dan Cukai di Pelabuhan Buleleng. Namun, sejumlah tentara Belanda melihat aksi heroik pemuda Buleleng itu dari atas geladak kapal Abraham Grijns dan menembaki para pemuda dari atas kapal. Seorang pemuda, I Ketut Merta dari Liligundi tewas tertembak disana.
Sebagai penghormatan terhadap peristiwa Penurunan Bendera di Pelabuhan Buleleng dengan gugurnya seorang pemuda I Ketut Merta, Pemerintah Kabupaten Buleleng ketika dipimpin Bupati Drs.I Nyoman Tastera mendirikan Monumen Perjuangan Yuda Mandala Tama. Hingga saat ini, monumen perjuangan Yuda Mandala Tama berdiri megah di depan Kantor Pelabuhan Buleleng.
Pasukan pemuda Buleleng diminta mundur untuk menghindari serangan balik dari tentara Belanda. Belanda kembali berhasil menaikkan benderanya di kantor Bea Cukai.
Namun hingga malam hari, para pemuda kembali bergerak secara gerilya dibawah pimpinan Gde Muka dengan tujuan menurunkan bendera Belanda yang sempat dinaikkan lagi.
Gde Muka asal Desa Banjar Tegal, Buleleng kala itu didampingi beberapa pemuda, diantaranya Anang Ramli, Wayan Mudana dan Nengah Tamu. Nengah Tamu kala itu dibantu Ida Bagus Suambem bertugas mengawasi pantai dan gerak-gerik musuh dari depan pura Segara. Sementara Gde Muka, Anang Ramli dan Wayan Mudana yang melaksanakan penurunan bendera Belanda dan memasang kembali bendera Merah Putih di depan kantor pabean atau kantor Pelabuhan.
Saat penurunan itu, bendera Belanda sempat menyangkut namun berhasil diturunkan dan dirobek pasukan pemuda. Lalu menaikkan kembali Bendera Merah Putih. Heroik sekali kala itu perjuangan mereka. Sementara Pasukan Nengah Tamu sudah bersiap dengan berbagai senjata mulai bedil, bambu runcing dan golok bilamana pasukan Belanda kembali ke daratan untuk menaikkan bendera mereka. Namun, pasukan kompeni itu justru hanya menembaki dari atas kapal lalu pergi meninggalkan Pelabuhan Buleleng.
Seperti itulah, sekelumit kisah peristiwa bendera di Pelabuhan Buleleng pada Oktober 1945. Peristiwa ini terjadi dua bulan setelah Soekarno dan Mohammad Hatta membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan RI. Belanda masih belum mengakui kemerdekaan RI dan ingin menguasai daerah-daerah lain di Indonesia, termasuk Bali yang kala itu masuk dalam wilayah Sunda Kecil.
Pelabuhan Buleleng di Singaraja kini tak berfungsi tapi sarat dengan berbagai sejarah perjuangan kemerdekaan RI. Bagaimana pemuda Buleleng serta sejumlah pemuda lain dari belahan wilayah lain di Bali, bahkan ada yang dari Lombok mempertahankan Kemerdekaan RI dan tak ingin direbut dan dijajah kembali oleh Belanda.
Perjuangan mereka itu tercatat jelas dalam sebuah buku catatan sejarah di Buku ”Bali Berjuang” karya Nyoman S.Pendit. Dalam buku itu pula, Pelabuhan Buleleng, di kala itu dijadikan pintu gerbang oleh Belanda untuk menguasai Bali kembali pasca kemerdekaan. Namun, kekuatan dan solidaritas pemuda Bali di Buleleng menjadikan Belanda gagal menguasai Bali lagi.
Museum Soenda Ketjil
Kantor Pelabuhan menjadi saksi bisu dari peristiwa bendera kala itu. Gedung itu masih berdiri dan bernilai sejarah. Dari sekian unit bangunan tua jaman Belanda, beberapa gedung tua di sebelah barat, sudah dibongkar dan kini berdiri megah gedung Mr. I Gusti Ketut Pudja.
Kantor Pelabuhan itu kini dijadikan untuk Museum Soenda Ketjil oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng. Rencana ini juga didukung penuh oleh Kementerian Riset, teknologi dan Pendidikan Tinggi. Beberapa kali, tim dari Kemenristekdikti sudah meninjau lokasi Pelabuhan Buleleng, begitupula dari Dinas Kebudayaan juga telah melakukan pendekatan dengan pemerintah pusat.
Menjadikan Kantor Pelabuhan Buleleng sebagai Museum Soenda Ketjil yang diusahakan oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng semata mengingatkan kepada masyarakat di jaman Now, bahwa Buleleng pernah menjadi Ibukota Provinsi Sunda Kecil dan Ibukota Provinsi Bali.
Oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng yang dikendalikan Drs.I Putu Tastra Wijaya, MM sudah mengagendakan soft opening Museum Soenda Ketjil, pada hari Selasa (13/03) nanti. ~ Made Tirthayasa ~
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com