Foto (c) by : ist |
Sumbawa Barat, Dewata News. Com - Berada di ketinggian 600 meter di atas permukaan laut, desa Mantar, kecamatan Poto Tano, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, memilki keunikan dan ciri khas tersendiri.
Desa dengan jumlah penduduk lebih dari 1.500 jiwa dengan 200 kepala keluarga, kini menjadi destinasi wisata unggulan kabupaten Sumbawa Barat.
Dingin menusuk tulang, saat memasuki kawasan perbukitan mantar. Sore menjelang senja, suasa pemukiman terlihat sedikit ramai. Warga yang baru pulang dari ladang terlihat hilir mudik disepanjang jalan menju desa.
Tegur sapa penuh keramahan, selalu terjadi ketika kita bertemu warga setempat. "Silamo ngesar," (silahkan mampir) sapa mereka kepada warga pendatang yang melintas di depan rumah mereka.
Tawaran mampir yang mereka lontarkan terpaksa tidak bisa saya penuhi karena harus berbegas menuju landasan take off paralayang, spot dimana kita bisa menyaksikan sunset atau matahari tenggelam. Lokasi ini katanya sangat terkenal memiliki pemandangan indah .
Sayang, saat itu kabut tebal tengah menghalangi matahari yang hendak menuju keperaduannya. Rasa kecewa sedikit terobati ketika mata memandang hamparan perbukitan pulau Sumbawa dan laut selat Alas.
Hilir mudik kapal ferry yang melintasi selat Alas terlihat jelas dari bukit Mantar. Sayang, keindahan gunung Rinjani yang berada di pulau Lombok ikut tertutup awan tebal. Hanya puncuk gunung Rinjani saja yang bisa terlihat sedikit menonjol.
Senja itu, tidak banyak pengunjung yang datang ke lokasi landasan paralayang yang menjadi tempat terbaik menyaksikan terbit dan tenggelamnya matahari.
Sejak dua tahun terakhir, desa Mantar mulai ramai dikunjungi penggemar olahraga paralayang. Ditempat ini juga kerap dijadikan lokasi event paralayang kelas dunia. Dari beberapa paragliding, saya memperoleh informasi jika bukit Mantar, menjadi salah satu spot terbaik untuk olahraga paralayang.
Tidak bisa menyaksikan matahari tenggelam karena tertutup awan tebal, membuat saya sedikit kecewa. Sepeda motor trail yang saya pergunakan menuju desa ini, ku pacu meninggalkan lokasi take off paralayang.
Malam menjelang. Dingin semakin menusuk tulang. Keinginan menyaksikan matahari terbit keesokan harinya membuat saya mengambil keputusan untuk bermalam. Sayang, di desa ini belum ada satupun penginapan. Wisatawan yang ingin bermalam terpaksa menumpang di rumah penduduk atau mendirikan tenda.
Atas rekomendasi seorang teman, saya langsung menuju rumah kepala desa Mantar, Abdul Salam. Banyak hal yang kami obrolkan malam itu, mulai dari potensi wisata bukit Mantar, hingga potensi apa yang bisa dikembangkan di desa ini.
Dari Abdul Salam, saya mendapat informasi tentang kapan saatnya sunset dan sunres bisa terlihat indah dari puncak mantar. "Bulan juli dan Agustus, saat terbaik menyaksikan matahari terbit dan tenggelam," ujarnya.
Pada bulan itu, kita dapat menyaksikan awan berada di bawah puncak bukit Mantar, sehingga terkesan kita berdiri di atas awan.
Jufrianto, putra kedua kepala desa tiba-tiba ikut nimbrung dalam pembicaraan ini. Sambil membawa gadget miliknya, Jufri memperlihatkan beberapa foto yang membuat saya tersentak. "Ini foto saat matahari terbit. Coba lihat, awan berada tepat dibawah kita berdiri," ujarnya menjelaskan hasil cepretannya.
Dari pembicaraan malam itu, saya ketahui ternyata kedua anak laki-laki kepala desa memiliki hobi olahraga paralayang. "Muhlis, anak saya yang pertama sudah memiliki lisensi sebagai penerbang paralayang, sedangkan Jufrianto, masih pemula," sebut Abdul Salam.
Disela-sela pembicaraan, hujan tiba-tiba turun cukup deras. Malam semakin larut, membuat pembicaan harus berhenti. Kumandan azan subuh dari Masjid yang tidak jauh dari rumah kepala desa membangunkan seisi rumah. Segelas kopi telah telah disediakan oleh istri kepala desa yang semalam juga menghidangkan menu sepat (makanan khas Sumbawa) sebagai menu makan malam kami.
Menjelang pukul 06.00, saya bergegas menuju lokasi yang kemarin sore saya datangi. Rasa lelah terhapus saat menyaksikan indahnya matahari terbit dari upuk timur. Hampir dua jam saya menghabiskan waktu untuk menikmati segarnya udara pagi bukit Mantar.
Puas menyaksikan keindahan alam, Kupacu sepeda motor trail menuju jalan keluar dari desa Mantar. Saya putuskan jalan pulang tidak lagi melalui jalan yang kemarin saat datang. Jika kemarin saya datang melalui jalur Tapir-Mantar, pulang saya putuskan melalui jalur Mantar-Omal Sapa.
Melalui jalur ini ternyata jauh lebih nyaman. Tidak ada tanjakan dan turunan terjal seperti jalur Tapir-Mantar. Karena baru dibuka, jalan sepanjang jalur ini belum tersentuh aspal atau masih berbentuk jalan pengerasan.
Selama dalam perjalanan pulang, pemandangan laut selatan terlihat begitu mempesona. Selain itu, birunya danau Lebo Taliwang, terlihat jelas dari lokasi ini. Setelah kurang lebih empat kilometer perjalanan, saya sudah sampai di dusun Omal Sapa, desa Mantar. Dari dusun Omal Sapa, jalur ini tembus ke desa Kelanir, Sedong dan tembus ke desa Batu Putih kecamatan Taliwang.
Sungguh perjalanan ini sangat berkesan. Banyak pengalaman baru yang saya dapatkan. Keinginan untuk kembali ke 'negeri di atas awan' semoga terwujud pada bulan Agustus mendatang. (DN - CeP).
(bersambung ...)
Desa dengan jumlah penduduk lebih dari 1.500 jiwa dengan 200 kepala keluarga, kini menjadi destinasi wisata unggulan kabupaten Sumbawa Barat.
Dingin menusuk tulang, saat memasuki kawasan perbukitan mantar. Sore menjelang senja, suasa pemukiman terlihat sedikit ramai. Warga yang baru pulang dari ladang terlihat hilir mudik disepanjang jalan menju desa.
Tegur sapa penuh keramahan, selalu terjadi ketika kita bertemu warga setempat. "Silamo ngesar," (silahkan mampir) sapa mereka kepada warga pendatang yang melintas di depan rumah mereka.
Tawaran mampir yang mereka lontarkan terpaksa tidak bisa saya penuhi karena harus berbegas menuju landasan take off paralayang, spot dimana kita bisa menyaksikan sunset atau matahari tenggelam. Lokasi ini katanya sangat terkenal memiliki pemandangan indah .
Sayang, saat itu kabut tebal tengah menghalangi matahari yang hendak menuju keperaduannya. Rasa kecewa sedikit terobati ketika mata memandang hamparan perbukitan pulau Sumbawa dan laut selat Alas.
Hilir mudik kapal ferry yang melintasi selat Alas terlihat jelas dari bukit Mantar. Sayang, keindahan gunung Rinjani yang berada di pulau Lombok ikut tertutup awan tebal. Hanya puncuk gunung Rinjani saja yang bisa terlihat sedikit menonjol.
Senja itu, tidak banyak pengunjung yang datang ke lokasi landasan paralayang yang menjadi tempat terbaik menyaksikan terbit dan tenggelamnya matahari.
Sejak dua tahun terakhir, desa Mantar mulai ramai dikunjungi penggemar olahraga paralayang. Ditempat ini juga kerap dijadikan lokasi event paralayang kelas dunia. Dari beberapa paragliding, saya memperoleh informasi jika bukit Mantar, menjadi salah satu spot terbaik untuk olahraga paralayang.
Tidak bisa menyaksikan matahari tenggelam karena tertutup awan tebal, membuat saya sedikit kecewa. Sepeda motor trail yang saya pergunakan menuju desa ini, ku pacu meninggalkan lokasi take off paralayang.
Malam menjelang. Dingin semakin menusuk tulang. Keinginan menyaksikan matahari terbit keesokan harinya membuat saya mengambil keputusan untuk bermalam. Sayang, di desa ini belum ada satupun penginapan. Wisatawan yang ingin bermalam terpaksa menumpang di rumah penduduk atau mendirikan tenda.
Atas rekomendasi seorang teman, saya langsung menuju rumah kepala desa Mantar, Abdul Salam. Banyak hal yang kami obrolkan malam itu, mulai dari potensi wisata bukit Mantar, hingga potensi apa yang bisa dikembangkan di desa ini.
Dari Abdul Salam, saya mendapat informasi tentang kapan saatnya sunset dan sunres bisa terlihat indah dari puncak mantar. "Bulan juli dan Agustus, saat terbaik menyaksikan matahari terbit dan tenggelam," ujarnya.
Pada bulan itu, kita dapat menyaksikan awan berada di bawah puncak bukit Mantar, sehingga terkesan kita berdiri di atas awan.
Jufrianto, putra kedua kepala desa tiba-tiba ikut nimbrung dalam pembicaraan ini. Sambil membawa gadget miliknya, Jufri memperlihatkan beberapa foto yang membuat saya tersentak. "Ini foto saat matahari terbit. Coba lihat, awan berada tepat dibawah kita berdiri," ujarnya menjelaskan hasil cepretannya.
Dari pembicaraan malam itu, saya ketahui ternyata kedua anak laki-laki kepala desa memiliki hobi olahraga paralayang. "Muhlis, anak saya yang pertama sudah memiliki lisensi sebagai penerbang paralayang, sedangkan Jufrianto, masih pemula," sebut Abdul Salam.
Disela-sela pembicaraan, hujan tiba-tiba turun cukup deras. Malam semakin larut, membuat pembicaan harus berhenti. Kumandan azan subuh dari Masjid yang tidak jauh dari rumah kepala desa membangunkan seisi rumah. Segelas kopi telah telah disediakan oleh istri kepala desa yang semalam juga menghidangkan menu sepat (makanan khas Sumbawa) sebagai menu makan malam kami.
Menjelang pukul 06.00, saya bergegas menuju lokasi yang kemarin sore saya datangi. Rasa lelah terhapus saat menyaksikan indahnya matahari terbit dari upuk timur. Hampir dua jam saya menghabiskan waktu untuk menikmati segarnya udara pagi bukit Mantar.
Puas menyaksikan keindahan alam, Kupacu sepeda motor trail menuju jalan keluar dari desa Mantar. Saya putuskan jalan pulang tidak lagi melalui jalan yang kemarin saat datang. Jika kemarin saya datang melalui jalur Tapir-Mantar, pulang saya putuskan melalui jalur Mantar-Omal Sapa.
Melalui jalur ini ternyata jauh lebih nyaman. Tidak ada tanjakan dan turunan terjal seperti jalur Tapir-Mantar. Karena baru dibuka, jalan sepanjang jalur ini belum tersentuh aspal atau masih berbentuk jalan pengerasan.
Selama dalam perjalanan pulang, pemandangan laut selatan terlihat begitu mempesona. Selain itu, birunya danau Lebo Taliwang, terlihat jelas dari lokasi ini. Setelah kurang lebih empat kilometer perjalanan, saya sudah sampai di dusun Omal Sapa, desa Mantar. Dari dusun Omal Sapa, jalur ini tembus ke desa Kelanir, Sedong dan tembus ke desa Batu Putih kecamatan Taliwang.
Sungguh perjalanan ini sangat berkesan. Banyak pengalaman baru yang saya dapatkan. Keinginan untuk kembali ke 'negeri di atas awan' semoga terwujud pada bulan Agustus mendatang. (DN - CeP).
(bersambung ...)
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com