Buleleng, Dewata News. Com — Membangkitkan dunia teater di Bali, sebuah pentas teater dalam bentuk festival monolog akan digelar tahun 2017 dengan tajuk Pesta Monolog Bali – Putu Wijaya. Berbeda dengan festival pada umumnya, festival ini akan berlangsung sepanjang tahun di seluruh wilayah domisili peserta yang bersangkutan di seluruh daerah di Bali.
Pementasan bisa dilakukan di mana saja, yang gampang dan murah hingga tak perlu menyewa tempat. “Bisa di gedung, aula, halaman, kebun, lapangan, pasar, pesta, bengkel, bangunan yang ditinggalkan, rumah tinggal, dapur, ruang tamu, tempat tidur, kantor, pabrik, gudang, penambangan, kaki lima, bus, halaman rumah, pantai, sungai, pasar malam, dan sebagainya,” kata penggagas acara ini, Putu Satriya Koesuma, Jumat (17/03).
Satria Kusuma menyampaikan, pendaftaran peserta dilakukan selama Januari 2017. Pebruari, kepastian peserta dan tempat pentas. Selanjutnya pada Maret mulai pentas hingga Desember 2017. Ia menyebut, sampai saat ini sudah ada sekitar 45 peserta yang dipastikan mengikuti kegiatan ini, dominan dari Buleleng dan ada juga dari Denpasar, Gianyar, dan Jembrana. “Jumlah ini terus dikembangkan sebanyak-banyaknya, kalau bisa sampai 100 monolog,” ujar seniman teater asal Banyuning, Buleleng, Singaraja ini.
Menurut Putu yang kesehariannya beraktivitas sebagai PNS/ASN di Dinas Kominfo Kabupaten Buleleng, festival monolog ini memang mendapat dukungan langsung dari Putu Wijaya. Bahkan, Putu Wijaya menjanjikan menghibahkan buku Monolog 100 Putu Wijaya sebanyak 5 buku bagi 5 penampil terbaik. Kemudian buku Teror Mental berisi 11 lakon karya Putu Wijaya bagi sutradara terbaik. Bagi yang terbaik dalam menulis resensi atau penulis laporan dapur kerja proses kreatif mereka dalam mementaskan monolog itu akan diberikan buku Bertolak dari yang Ada.
Lebih jauh ia mengatakan, konsep penampilan dalam Pesta Monolog Bali – Putu Wijaya ini adalah murah, praktis, minimalis diilhami oleh jiwa “tontonan” dalam seni pertunjukan teater tradisional. Misalnya, kostum dan rias dalam tontonan tradisi hanya satu kali sampai selesai; set ruang kosong, paling satu kursi atau satu meja. Selain itu, pementasan bisa ditonton oleh banyak orang atau jumlah terbatas tergantung konsep penampil. Pementasan bisa siang, bisa malam.
Pementasan juga bisa memakai penataan artistik atau konsep imajiner dengan kepercayaan penuh pada imajinasi penonton. Titik utama yang ditekankan adalah kemampuan pemain dalam membawakan perannya.
“Peserta bisa dibantu oleh pemain lain, tapi yang mengucapkan tuturan, monolog, hanya dia seorang. Konsepnya, tontonan ini praktis, murah, namun memerlukan kemampuan penampil yang tinggi,” tegas Satriya Koesuma.
Putu yang sukses di film documenter ini juga menjelaskan, acara ini sebagai apresiasi bagi perjuangan kesenian Putu Wijaya yang karyanya berlimpah, dari karya sastra sampai karya teater. Di sisi lain, jagat teater di Bali amat jarang menyajikan pementasan teater, sehingga teater di Bali khususnya teater modern masuk dalam sebutan teater modern gabeng, karena beberapa persoalan klasik.
“Kini ketika teater modern di Bali terasa gabeng dan kehilangan semangatnya yang murni, maka kami mencoba memanggil roh teater itu kembali dalam bentuk pentas monolog ini. Melalui pentas monolog ini, seorang seniman menguji kesungguhan mengolah tubuh sebagai aktor, sebagai sutradara artistik bagi diri sendiri,” kata Putu Satriya Koesuma. (DN ~ TiR).—
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com