Denpasar, Dewata News. Com - Sarana persembahyangan seperti Bunga, Janur, Air (Tirta), Api (Dupa), serta Bija merupakan aspek penting bagi umat Hindu dalam melaksanakan persembahyangan. Bunga berfungsi sebagai simbol Tuhan dan digunakan untuk mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, air memiliki fungsi sarana yang membersihkan lahir dan bathin umat dari kotoran atau kecemaran dari hal yang buruk ataupun leteh, api merupakan lambang pemujaan kehadapan Dewa Agni sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Api memiliki sifat sebagai penerang yang memberikan penerangan dari segala macam kegelapan, sedangkan janur digunakan sebagai sarana untuk jejahitan dalam membuat banten atau upakara. Sehingga umat Hindu diharapkan bisa memahami dan memaknai sarana persembahyangan tersebut.
Demikian disampaikan Ketua Tim Penggerak (TP) PKK Provinsi Bali, Ny. Ayu Pastika saat menghadiri Workshop Kewanitaan Merangkai Bunga dan Janur sebagai sarana upacara di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya, - Denpasar, Minggu (26/6).
Dalam workshop yang merupakan agenda didalam pelaksanaan Pesta Kesenian Bali ke XXXVIII tahun 2016 tersebut dhadirkan narasumber Dra. Ni Made Sri Arwati M.Si yang memaparkan materi terkait dengan persembahan umat Hindu dalam kegiatan sehari-hari seperti Saiban, Segehan, Daksina serta pelaksanaan upacara di hari Purnama, Tilem. Di antaranya dijelaskan Banten Saiban atau Ngejotmerupakan suatu tradisi Hindu di Bali yang biasa dilakukan setiap hari setelah selesai memasak di pagi hari sebagai bentuk rasa terimakasih dan rasa syukur atas apa yang telah didapat. Banten ini juga disebut dengan Yadnya Sesa, merupakan yadnya yang paling sederhana sebagai realisasi Panca Yadnya yang dilaksana umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari. Tempat-tempat melakukan saiban jika menurut Manawa Dharmasastra adalah: Sanggah Pamerajan, dapur, jeding tempat air minum di dapur, batu asahan, lesung, dan sapu.
Segehan yang merupakan tingkatan kecil / sederhana dari Upacara Bhuta Yadnya. Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. Dipergunakan juga apitakep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.
Menurut Sri Arwati, dalam hal ini segehan di haturkan kepada para Bhutakala agar tidak mengganggu dan juga ancangan Iringan para Betara dan Betari, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu.
Workshop yang melibatkan para peserta ibu ibu ari TP PKK Kabupaten /Kota se Bali ini diharapkan Ayu Pastika dapat memberi pemahaman mendalam lagi terkait dengan sarana persembahyangan, upakara atau banten yang benar.
"Bebantenan ini tidak boleh ditinggalkan karena karena merupakan kewajiban kita sebagai umat Hindu untuk melaksanakannya. Seperti halnya Saiban yang merupakan persembahan kita setelah memasak dan itu rutin dilaksanakan setiap hari. Dengan diadakannya workshop ini, saya berharap materi yang disampaikan bisa diterapkan langsung dengan baik," ujar Ny. Ayu Pastika usai kegiatan.
Ditambahkannya, setiap Upacāra dan Upakāra yang kita buat pada dasarnya merupakan penjabaran ajaran agama dan memiliki hakekat sebagai pembelajaran diri, dalam menata hidup dan kehidupan sehingga dapat meniti ke tujuan utama kelahiran ini, yaitu ”Mokshartam Jagadhita”. (DN - AN)
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com