Buleleng, Dewata
News.com — Gubernur Pastika ketika mampir ke Lapangan Umum
Jagaraga, mendapat pemaparan rencana pembangunan Monumen Puputan Jagaraga oleh
Pemkab Buleleng. Pastika pun sarankan cari referensi ke Belanda terkait
pembangunan monumen perjuangan ini.
Dalam paparannya, Kadis Sosial Buleleng Gede Komang menyebutkan, rencana pem-bangunan Monumen Puputan Jagaraga menghabiskan dana sekitar Rp15 miliar.
”Nantinya, di Monumen Jagaraga akan ditampilkan dua tokoh pejuang melawan
Belanda, yakni Gusti Ketut Jelantik (Mahapatih Kerajaan Buleleng) dan Jro
Jempiring. Kedua tokoh dari trah Semeton Arya Pangalasan ini pegang peran
penting dalam Perang Puputan Jagaraga melawan Belanda tahun 1849,” kata Gede
Komang.
Ia menambahkan, Monumen Jagaraga rencananya dibangun di atas lahan seluas 0,5 hektare di kawasan Banjar Kauh Teben, Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan. Untuk mendapatkan kisah heroik Perang Puputan Jagaraga tahun 1849 tersebut, Dinas Sosial Buleleng sudah mencari referensi dari berbagai sumber.
Menanggapi pemaparan Kadis Sosial Buleleng Gede Komang itu, Gubernur Pastika menyatakan Perang Puputan Jagaraga merupakan perang terlama dan pertama (melawan Belanda) di Bali. Dengan dibuatnya Monumen Puputan Jagaraga, Gubernur Pastika berharap masyarakat dapat menghargai jasa dan pengorbanan para pejuang masa silam.
"Menilai kepahlawanan itu sangat berguna untuk menjiwai kita. Itu kita warisi untuk menghadapi berbagai tantangan ke depan. Kita harus belajar dari para leluhur kita, bagaimana mereka menjaga martabatnya, menjaga harga dirinya, menjaga tanah airnya, menjaga keluarganya, menjara rakyatnya, bahkan rela mengorbankan jiwa dan raganya,” ujar Pastika.
“Perang Puputan Jagaraga termasuk perang terlama dan perang pertama melawan Belanda di Bali. Jadi, pembuatan Monumen Puputan Jagaraga ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi merupakan sebuah kebanggaan untuk kita semua," lanjut Gubernur asal Buleleng ini.
Pastika mengingatkan, Monumen Puputan Jagaraga di Desa Jagaraga ini agar tidak sembarangan dibangun. Jajaran SKPD terkait diminta mencari referensi langsung ke negeri Belanda. “Bila perlu, kita harus ke Belanda. Siapa tahu di Belanda ada foto Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring. Sehingga, pembuatan patungnnya nanti ada kemiripan. Sekarang kan masalahnya di situ: siapa yang bisa menggabarkan seperti apa wajah Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring?” kata Pastika.
Menurut Pastika, pencarian referensi ke negeri Belanda bukan hanya penting untuk menemukan foto wajah Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring, tapi juga agar pembuatan diorama heroik Perang Puputan Jagaraga sesuai dengan ceritanya.
“Demi akurasi dari monumen itu sendiri, perlu banyak referensi. Kita
harus ke museum-museum, siapa tahu ada dokumen-dokumennya. Saya yakin di
Belanda pasti ada itu,” tegas mantan Kapolda Bali berpangkat Komisaris Jendral
Polisi (Purn) ini.
Pastika juga mewanti-wanti pihak rekanan yang mendapat proyek pembangunan Monumen Puputan Jagaraga nantinya tidak mencari untung banyak. Pasalnya, pembangunan monumen perjuangan ini untuk orang-orang yang telah rela berkorban demi bangsa dan tanah air.
“Jangan cari untung, jangan pula ada pungutan apa pun. Ini bukan
membangun gedung biasa, tapi monumen sebagai penghormatan terhadap Ida (Gusti
Ketut Jelantik dan Jero Jempiring, Red). Saya minta masyarakat di sini ikut
mengawasinya,” imbuhnya.
Ilustrasi |
Berdasarkan catatan yang dirangkum dari berbagai sumber, perang Puputan Jagaraga sendiri berawal dari kandasnya kapal Belanda di perairan Buleleng tahun 1844. Kerajaan Buleleng kala itu memberlakukan adat Hak Tawan Karang, yang intinya menawan setiap kapal asing yang kandas di perairannya. Kapal dan harta bendanya pun dirampas, sedangkan anak buah kapalnya dijadikan budak karena dianggap sebagai miliknya.
Belanda menuntut Raja Buleleng (waktu itu) I Gusti Ngurah Made Karangasem untuk mengembalikan kapal dan segala isinya. Tuntutan itu ditolak oleh raja dan Patih I Gusti Ketut Jelantik. Maka, pada 1846 Belanda mengirimkan pasukannya untuk menyerang Buleleng.
Untuk menghadapi tentara Belanda, Buleleng dibantu Kerajaan Karangasem. Namun, kedua kerajaan ini kemudian dipaksa menandatangani suatu perjanjian. Isi perjanjian tersebut, adalah pengakuan Kerajaan Buleleng dan Karangasem terhadap kekuasaan Belanda di Batavia. Belanda berhak memonopoli dagang, sementara Hak Tawan Karang dihapuskan.
Dengan perjanjian itu, Belanda mengira Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Karangasem telah dikuasai, sehingga tentaranya ditarik ke Batavia. Raja-raja di Bali tak pernah tunduk kepada Belanda. Lalu, dihimpunlah kekuatan dari Kerajaan Buleleng, Kerajaan Karangasem, dan Kerajaan Klungkung untuk menghadapi tentara Belanda.
Desa Jagaraga (kawasan Buleleng Timur) dijadikan pertahanan utama (benteng) pasukan Bali. Secara geografis, Desa Jagaraga memang berada pada tempat ketinggian, di lereng sebuah perbukitan dengan jurang di kanan kirinya. Desa Jagaraga sangat strategis untuk pertahanan dengan benteng berbentuk supit urang atau menyerupai jepitan udang. Benteng dikelilingi parit dengan ranjau yang dibuat dari bambu untuk menghambat gerakan musuh.
Benteng Jagaraga ini dipertahankan oleh 15.000 orang, dengan 2.000 orang bersenjata senapan api dan sisanya bersenjatakan tombak. Tahun 1848, Belanda mengirim pasukannya ke Bali untuk menghancurkan perlawanan di Benteng Jagaraga. Namun, Belanda tidak mampu menghadapi perlawanan rakyat Bali di bawah pimpinan Patih I Gusti Ketut Jelantik.
Awalnya, kapal perang Belanda tiba di Pantai Sangsit (Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, Buleleng) pada 7 Maret 1848, dengan kekuatan 2.265 orang. Serangan pertama ditujukan ke Desa Sangsit dan Desa Bungkulan di bawah pimpinan Mayor Jenderal Van der Wijck. Serangan kedua ditujukan langsung ke Benteng Jagaraga, 8 Juni 1848.
Namun serangan tersebut gagal, karena Belanda belum mengetahui medan yang sebenarnya dan siasat pertahanan supit urang Laskar Jagaraga. Belanda pun mundur sampai ke Pantai Sangsit dan minta tambahan serdadu dari Batavia.
Pada 15 April 1849, pasukan Belanda
di bawah pimpinan Jenderal Michiels mendarat lagi di Pantai Sangsit, dengan
kekuatan 15.235 orang, terdiri atas pasukan infantri, kavaleri, artileri, zeni,
dan kesehatan. Di samping itu, terdapat 29 kapal laut. Pantai Buleleng dan
Sangsit benar-benar telah terkepung.
Jendaral Michiels akhirnya mengetahui siasat pertahanan supit urang dari mata-mata yang dikirimnya ke Benteng Jagaraga. Setelah mengatur persiapan, mereka langsung menyerang Benteng Jagaraga dari dua arah, yaitu depan dan belakang. Benteng Jagaraga dihujani tembakan meriam dengan gencar. Namun, tidak ada seorang pun Laskar Jagaraga yang mundur atau melarikan diri. Mereka semuanya gugur, lalu Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda pada 19 April 1849. Sejak saat itulah Belanda berhasil kuasai Bali Utara. (DN ~ TiR).—
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com