BALI utara akan memiliki bandar udara (bandara)
internasional, ini bukan sekedar mimpi lagi. Menurut Gubernur Bali Made
Mangku Pastika sudah ada kesepakatan antara Pemprov Bali dengan investor
asal Kanada yakni Airport Kinesis Canada (AKC) untuk pembangunan
bandara di Kabupaten Buleleng itu. Kini tinggal mengurus perizinan saja,
karena survey dan amdalnya sudah dilakukan jauh hari.
Izin itu akan datang dari pemerintah pusat, bisa keluar langsung dari
presiden atau lewat Kementerian Perhubungan. Yang diperlukan dari Bali
adalah rekomendasi bahwa tak ada masalah apa pun dari proyek besar itu.
Ini tentu saja sekedar formalitas karena sesungguhnya proyek bandara itu
adalah juga keinginan pusat. Tadinya bandara itu dibiayai APBN namun
karena ada prioritas membangun bandara di Indonesia Timur agar tak
terjadi kesenjangan, maka Bandara Buleleng ini dicarikan investor dari
luar. Masuklah investor dari Kanada yang sudah berpengalaman membangun
berbagai bandara di dunia, terutama yang lokasinya di laut.
Bahwa ini bukan sekedar mimpi terlihat dari keseriusan pemerintah dan
investor, sampai-sampai nama bandara saja sudah dimunculkan. Namanya
Bandara Internasional Dwijendra atau Dwijendra International Airport.
Kenapa Dwijendra dan tidak Ki Panji Sakti, misalnya, entahlah. Pasti
untuk memuliakan nama Danghyang Dwijendra yang telah melakukan berbagai
pembaruan di tanah Bali.
Ada dua tokoh besar yang melakukan pembaruan
dalam tata kelola masyarakat adat di Bali yang pengaruhnya sangat terasa
sampai saat ini.
Yang pertama adalah Mpu Kuturan, tokoh yang memperkenalkan konsep Tri
Murti dan Tri Kahyangan, yang mempersatukan sektesekte yang begitu
banyak ada sebelumnya. Kemudian Dang Hyang Dwijendra yang memperkenalkan
konsep Padmasana sebagai sarana pemujaan Tuhan tanpa lewat Ista Dewata.
Mpu Kuturan sudah diabadikan sebagai nama Sekolah Tinggi Agama Hindu
(STAH) Negeri di Singaraja dan kini Dwijendra untuk nama bandara.
Keberadaan bandara seperti halnya berdirinya STAH di Buleleng
betul-betul dalam semangat pembaruan. Juga dalam semangat perubahan,
sesuatu yang tak boleh dihindari. Buleleng dengan ibukotanya Singaraja
pernah tercatat dalam sejarah sebagai ibukota Provinsi Sunda Kecil yang
meliputi Bali, NTB dan NTT.
Ketika ada pemekaran dan Bali berdiri
sendiri, Singaraja menjadi ibukota Bali. Semua kantor pemerintahan
setingkat provinsi ada di Singaraja. Tiba-tiba saja ibukota pindah ke
Denpasar yang secara berangsur-angsur kemudian membuat Singaraja sepi
karena kantor-kantor pemerintah diboyong ke Denpasar. Sempat kembali
hidup dengan adanya Kowilhan (Komando Wilayah Pertahanan) yang meliputi
Provinsi Bali, NTB dan NTT yang markasnya di Singaraja. Tetapi tak lama
karena sistem wilayah pertahanan dibubarkan. Singaraja pun kembali sepi
dan terkesan ditinggalkan.
Bandara Dwijendra akan memberi harapan baru. Singaraja pasti akan
menjadi kota yang hidup dan bersinar kembali. Juga daerah-daerah
penyangga sepanjang Singaraja-Seririt di mana ada kawasan wisata Lovina
yang sudah berkembang. Ke timur pun akan berkembang karena bandara ini
letaknya di Kubu Tambahan. Apalagi ke selatan, daerah perbukitan itu
akan diserbu banyak orang sampai di Bedugul. Alamnya indah dan banyak
ada obyek air terjun.
Tapi siapkah kita menerima investor? Investor pasti akan datang dan
kita juga perlu mengundangnya, meski pun tak ikut membangun bandara yang
begitu mahal sampai membutuhkan dana Rp 40 trilyun. Sarana di luar
bandara begitu banyak yang harus dibenahi dan semuanya itu membutuhkan
investor. Kemampuan pemerintah pusat lewat APBN maupun pemerintah daerah
lewat APBD tentu saja sangat terbatas.
Sarana terpenting yang harus dibenahi dari sekarang adalah
infrastruktur berupa pembangunan jalan-jalan baru atau memperlebarnya.
Pembangunan infrastruktur ini dibarengi dengan transportasi yang
memadai, apakah itu berupa angkutan umum atau angkutan komersial seperti
taksi dan sejenisnya. Penumpang yang turun di Bandara Dwijendra
pastilah membutuhkan angkutan itu. Tentu tak mungkin penumpang yang
turun itu hanyalah warga Buleleng yang bisa dijemput keluarganya. Kalau
bandara ini cuma untuk orang Buleleng, pasti rugi besar, tak ada
investor yang mau menanamkan modalnya.
Rencana untuk membuat jalan tol yang menghubungkan Denpasar-Singaraja
harus dimatangkan lebih lanjut dan segera ada realisasinya. Dan
peningkatan mutu jalan ke arah timur antara Singaraja-Amlapura dan ke
arah barat Singaraja – Gilimanuk juga harus dilakukan. Kalau itu “jalan
berbayar” berupa jalan tol, investor harus diundang. Kalau jalan negara
maka anggaran pembangunannya haruslah dirancang sejak saat ini. Akan
jadi aneh, Bandara Dwijendra sudah rampung tetapi sarana transportasi
masih terlantar.
Hotel bertaraf internasional juga harus ada. Jika turis asing turun
di Buleleng dan menginap di Sanur, Kuta atau Nusa Dua tentu saja
melelahkan mereka. Apalagi dengan sarana jalan yang belum digarap untuk
lalu lintas Denpasar-Singaraja. Hotel dan restoran di kawasan Lovina
saat ini belum mendukung, tetapi dengan pembenahan yang berarti kawasan
itu akan menjadi destinasi baru untuk wisata Bali Utara.
Masalahnya sekarang adalah masyarakat mudah diprovokasi dan bisa jadi
terjebak pada slogan yang membuat bingung investor seperti “Bali jangan
dijual” atau “Bali menolak investor” apalagi slogan yang menyebutkan
“Ajegkan Bali”. Slogan ini membuat investor ragu karena penjelasannya
tak sama tergantung siapa yang bicara. Padahal kalau slogan itu
dicarikan muatan positifnya, investor harus membangun dengan tetap
memperhatikan adat dan budaya Bali. Hormati kawasan suci, tetap
memperhatikan konsep Tri Hita Karana. Bahkan dalam kepemilikan, warga
Bali yang lahannya digunakan tetap berada di dalam investasi itu. Sanur,
Kuta, Nusa Dua, Denpasar, Ubud semuanya berkembang karena adanya
investor. Kenapa di daerah lain harus dijegal?
Bali utara harus menggeliat. Moratorium pembangunan sarana wisata di
Bali selatan harus dilakukan. Hanya dengan itu ketimpangan pembangunan
di Bali bisa diatasi. Kita tak ingin mendengar orang-orang Bali selatan
kaya raya, sementara di Bali utara dan Bali timur orang-orang miskin
semakin bertambah. Bandara Dwijendra adalah harapan baik untuk orang
Bali secara keseluruhan, semoga semangat Dang Hyang Dwijendra menjadi
sesuluh untuk pembangunan ini. (PB)
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com