Menunggu Bandara Dwijendra - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

5/2/16

Menunggu Bandara Dwijendra

Mpu Jaya Prema

BALI utara akan memiliki bandar udara (bandara) internasional, ini bukan sekedar mimpi lagi. Menurut Gubernur Bali Made Mangku Pastika sudah ada kesepakatan antara Pemprov Bali dengan investor asal Kanada yakni Airport Kinesis Canada (AKC) untuk pembangunan bandara di Kabupaten Buleleng itu. Kini tinggal mengurus perizinan saja, karena survey dan amdalnya sudah dilakukan jauh hari.

Izin itu akan datang dari pemerintah pusat, bisa keluar langsung dari presiden atau lewat Kementerian Perhubungan. Yang diperlukan dari Bali adalah rekomendasi bahwa tak ada masalah apa pun dari proyek besar itu. Ini tentu saja sekedar formalitas karena sesungguhnya proyek bandara itu adalah juga keinginan pusat. Tadinya bandara itu dibiayai APBN namun karena ada prioritas membangun bandara di Indonesia Timur agar tak terjadi kesenjangan, maka Bandara Buleleng ini dicarikan investor dari luar. Masuklah investor dari Kanada yang sudah berpengalaman membangun berbagai bandara di dunia, terutama yang lokasinya di laut.

Bahwa ini bukan sekedar mimpi terlihat dari keseriusan pemerintah dan investor, sampai-sampai nama bandara saja sudah dimunculkan. Namanya Bandara Internasional Dwijendra atau Dwijendra International Airport. Kenapa Dwijendra dan tidak Ki Panji Sakti, misalnya, entahlah. Pasti untuk memuliakan nama Danghyang Dwijendra yang telah melakukan berbagai pembaruan di tanah Bali. 

Ada dua tokoh besar yang melakukan pembaruan dalam tata kelola masyarakat adat di Bali yang pengaruhnya sangat terasa sampai saat ini.

Yang pertama adalah Mpu Kuturan, tokoh yang memperkenalkan konsep Tri Murti dan Tri Kahyangan, yang mempersatukan sektesekte yang begitu banyak ada sebelumnya. Kemudian Dang Hyang Dwijendra yang memperkenalkan konsep Padmasana sebagai sarana pemujaan Tuhan tanpa lewat Ista Dewata. Mpu Kuturan sudah diabadikan sebagai nama Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Negeri di Singaraja dan kini Dwijendra untuk nama bandara.

Keberadaan bandara seperti halnya berdirinya STAH di Buleleng betul-betul dalam semangat pembaruan. Juga dalam semangat perubahan, sesuatu yang tak boleh dihindari. Buleleng dengan ibukotanya Singaraja pernah tercatat dalam sejarah sebagai ibukota Provinsi Sunda Kecil yang meliputi Bali, NTB dan NTT.

Ketika ada pemekaran dan Bali berdiri sendiri, Singaraja menjadi ibukota Bali. Semua kantor pemerintahan setingkat provinsi ada di Singaraja. Tiba-tiba saja ibukota pindah ke Denpasar yang secara berangsur-angsur kemudian membuat Singaraja sepi karena kantor-kantor pemerintah diboyong ke Denpasar. Sempat kembali hidup dengan adanya Kowilhan (Komando Wilayah Pertahanan) yang meliputi Provinsi Bali, NTB dan NTT yang markasnya di Singaraja. Tetapi tak lama karena sistem wilayah pertahanan dibubarkan. Singaraja pun kembali sepi dan terkesan ditinggalkan.

Bandara Dwijendra akan memberi harapan baru. Singaraja pasti akan menjadi kota yang hidup dan bersinar kembali. Juga daerah-daerah penyangga sepanjang Singaraja-Seririt di mana ada kawasan wisata Lovina yang sudah berkembang. Ke timur pun akan berkembang karena bandara ini letaknya di Kubu Tambahan. Apalagi ke selatan, daerah perbukitan itu akan diserbu banyak orang sampai di Bedugul. Alamnya indah dan banyak ada obyek air terjun.

Tapi siapkah kita menerima investor? Investor pasti akan datang dan kita juga perlu mengundangnya, meski pun tak ikut membangun bandara yang begitu mahal sampai membutuhkan dana Rp 40 trilyun. Sarana di luar bandara begitu banyak yang harus dibenahi dan semuanya itu membutuhkan investor. Kemampuan pemerintah pusat lewat APBN maupun pemerintah daerah lewat APBD tentu saja sangat terbatas.

Sarana terpenting yang harus dibenahi dari sekarang adalah infrastruktur berupa pembangunan jalan-jalan baru atau memperlebarnya. Pembangunan infrastruktur ini dibarengi dengan transportasi yang memadai, apakah itu berupa angkutan umum atau angkutan komersial seperti taksi dan sejenisnya. Penumpang yang turun di Bandara Dwijendra pastilah membutuhkan angkutan itu. Tentu tak mungkin penumpang yang turun itu hanyalah warga Buleleng yang bisa dijemput keluarganya. Kalau bandara ini cuma untuk orang Buleleng, pasti rugi besar, tak ada investor yang mau menanamkan modalnya.

Rencana untuk membuat jalan tol yang menghubungkan Denpasar-Singaraja harus dimatangkan lebih lanjut dan segera ada realisasinya. Dan peningkatan mutu jalan ke arah timur antara Singaraja-Amlapura dan ke arah barat Singaraja – Gilimanuk juga harus dilakukan. Kalau itu “jalan berbayar” berupa jalan tol, investor harus diundang. Kalau jalan negara maka anggaran pembangunannya haruslah dirancang sejak saat ini. Akan jadi aneh, Bandara Dwijendra sudah rampung tetapi sarana transportasi masih terlantar.

Hotel bertaraf internasional juga harus ada. Jika turis asing turun di Buleleng dan menginap di Sanur, Kuta atau Nusa Dua tentu saja melelahkan mereka. Apalagi dengan sarana jalan yang belum digarap untuk lalu lintas Denpasar-Singaraja. Hotel dan restoran di kawasan Lovina saat ini belum mendukung, tetapi dengan pembenahan yang berarti kawasan itu akan menjadi destinasi baru untuk wisata Bali Utara.

Masalahnya sekarang adalah masyarakat mudah diprovokasi dan bisa jadi terjebak pada slogan yang membuat bingung investor seperti “Bali jangan dijual” atau “Bali menolak investor” apalagi slogan yang menyebutkan “Ajegkan Bali”. Slogan ini membuat investor ragu karena penjelasannya tak sama tergantung siapa yang bicara. Padahal kalau slogan itu dicarikan muatan positifnya, investor harus membangun dengan tetap memperhatikan adat dan budaya Bali. Hormati kawasan suci, tetap memperhatikan konsep Tri Hita Karana. Bahkan dalam kepemilikan, warga Bali yang lahannya digunakan tetap berada di dalam investasi itu. Sanur, Kuta, Nusa Dua, Denpasar, Ubud semuanya berkembang karena adanya investor. Kenapa di daerah lain harus dijegal?

Bali utara harus menggeliat. Moratorium pembangunan sarana wisata di Bali selatan harus dilakukan. Hanya dengan itu ketimpangan pembangunan di Bali bisa diatasi. Kita tak ingin mendengar orang-orang Bali selatan kaya raya, sementara di Bali utara dan Bali timur orang-orang miskin semakin bertambah. Bandara Dwijendra adalah harapan baik untuk orang Bali secara keseluruhan, semoga semangat Dang Hyang Dwijendra menjadi sesuluh untuk pembangunan ini. (PB)

No comments:

Post a Comment

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com