Oleh Putu Gede Raka
GUNA mendekatkan nilai-nilai agama pada generasi
sekarang yang lahir tahun 2000 ke atas, diperlukan pendekatan-pendekatan
kekinian. Tidak bisa dengan pendekatan-pendekatan lama seperti halnya
pada generasi tua yang lahir sebelum tahun 1980-an.
Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, saat magendu wirasa dengan
sejumlah tokoh Bali di kediamannya, Jumat (13/5) malam mengatakan,
generasi zaman sekarang adalah generasi digital. Pada anak yang lahir
dua dekade belakangan ini, gadget dan wifi telah menjadi kebutuhan utama
bagi mereka. Selain itu, anak-anak sekarang sudah berpikir semakin
kritis sehingga begitu banyak penjelasan yang harus dipersiapkan oleh
generasi tua untuk memberikan pemahaman dan menjawab kekritisan
pemikiran generasi muda.
“Generasi ‘Z’ sangat berbeda dengan kitakita generasi ‘W’. Maka itu
perlu metodemetode yang beda juga mengajarkan agama. Kalau masih tetap
dilakukan seperti halnya generasi ‘W’, tak akan nyambung dengan generasi
Z ini,” kata Pastika mengistilahkan anak-anak kelahiran 2000-an sebagai
generasi ‘Z’ dan generasi yang lahir sebelumnya sebagai generasi ‘W’.
Ia mengatakan, fenomena yang terjadi saat ini, kejahatan sudah tidak
saja dilakukan oleh orang dewasa. Tetapi, sudah banyak pula yang
dilakukan oleh generasi muda bahkan tak sedikit pelakunya anak berusia
belasan tahun. Maka dari itu perlu segera dilakukan upaya-upaya untuk
menangkalnya sehingga tidak semakin menjadi-jadi. “Di Jawa Timur ada
pencabulan oleh anak-anak SMP. Di Bengkulu anak diperkosa dan dibunuh
oleh anak-anak juga. Tentu kita tak ingin ini terjadi di Bali,” ujar
Pastika.
Pastika juga mengaku merasa heran, perilaku kejahatan cenderung terus
meningkat di tengah-tengah kondisi saat ini kian semaraknya aktivitas
beragama. Sebagai langkah awal untuk menekan angka kenakalan remaja,
kriminalitas, dan tindakan kejahatan pada generasi muda, ia berkeinginan
menghidupkan pasraman anakanak saat liburan sekolah. Akan tetapi,
bentuk pasraman yang ingin diwujudkan ini tidak hanya digelar di
sekolah, tetapi alangkah lebih bagus bisa diselenggarakan di desa-desa,
tetap dengan pendekatan yang kekinian.
Selain itu, yang lebih penting lagi adalah menyediakan tenaga
pengajar dari kalangan pemudapemudi. Bukan lagi dengan guru pengajar
dari kalangan generasi tua. Hal ini penting untuk membuat anak-anak
lebih tertarik menerima materi ajar yang diberikan sehingga apa yang
diberikan tersebut lebih meresap dalam diri mereka.
"Anakanak muda di
bawah 30 tahunlah yang ngerti dengan bahasa generasi Z ini, jadi
pengajarnya pun harus yang muda-muda,” kata Pastika.
Dalam gendu wirasa ini Gubernur Pastika meminta masukan-masukan dari
sejumlah tokoh agama, budaya, adat, dan pers. Mereka diantaranya Prof.
IGN Sudiana, Mpu Jaya Prema, Sri Mpu Tonja, Dewa Gede Ngurah Swasta,
Gusti Made Ngurah, Raka Santeri, Made Nariana, dan Ketut Wiana. Para
tokoh sepakat bahwa pendidikan memegang peranan penting untuk
mengantarkan generasi ‘Z’ menjadi generasi yang jauh dari
perilaku-perilaku negatif. Selain itu para tokoh tersebut berpendapat
materi pelajaran agama Hindu di sekolah saat ini terlalu berat.
Akibatnya, pelajaran agama kurang diminati atau bahkan ditakuti oleh
para siswa.
Prof. IGN Sudiana menyampaikan, perilaku dipengaruhi oleh pola pikir,
pergaulan, pendidikan, kepentingan, dan situasi. Maka dari itu perlu
diciptakan situasi dan kondisi yang mendukung perilaku positif.
Menyiapkan semua ini adalah menjadi tugas generasi tua. “Kalau salah
pergaulan, salah pendidikan, tentu akan mengakibatkan perilaku buruk dan
muncul tindak kejahatan. Bahkan makanan pun berpengaruh terhadap
perilaku seseorang,” jelas Ketua PHDI Provinsi Bali itu.
Menurut Dewa Gede Ngurah Swasta, sampai saat ini pengajaran agama
Hindu masih lebih banyak di lembaga formal sekolah. Sedangkan
kenyataannya jam anak-anak di sekolah terbatas. Sehingga pada akhirnya
nilai-nilai agama tidak kuat menginternalisasi pada diri anak-anak.
Menurut Ketut Wiana pengajaran agama ke depan mesti pula dilakukan di
pura (tempat suci). Pura tidak hanya dijadikan tempat bersembahyang,
tetapi juga mengadakan pasraman.
Sementara itu Gusti Made Ngurah menambahkan, pendidikan agama Hindu
di jalur informal yakni di keluarga perlu digarap lebih serius. Ia
mengatakan, sampai saat ini belum ada pedoman praktis pendidikan di
keluarga Hindu. Hal ini menjadi PR dalam pengembangan pendidikan agama
bagi anakanak Hindu.
"Bagaimana pendidikan informal di keluarga Hindu?
Ini kan belum ada, mari pikirkan bersama seperti apa pola pengajaran
nilai-nilai agama yang mesti dilakukan oleh orangtua Hindu untuk
anak-anaknya,” ujarnya. ***
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com