Oleh: Romi
Sudhita *
Berbicara soal pers, rasanya selalu saja kekurangan waktu mengingat pers
itu memiliki jangkauan yang amat luas. Belum lagi Ilmu Komunikasi yang menjadi
“mbahnya” pers. Dalam arti yang benar dan dalam arti yang positif, pers memang
dapat mengantarkan manusia menuju kepada kesejahteraan, kebahagiaan, dan tak
berlebihan kalau dikatakan dapat menyejukkan hati seseorang. Namun ketika pers
itu dihujat, dan kelihatan bobroknya, seketika itu pula dunia menjadi murung
tanpa gairah. Saking santernya pers itu diendus sebagai sesuatu yang kurang
memberikan kenyamanan kepada setiap manusia, lalu muncul pula apa yang
dinamakan penyakit pers.
Ibarat Silet
Ketika berlangsung peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2016 dan HUT ke-70
PWI tingkat provinsi Bali yang dipusatkan di Singaraja, 26 Maret lalu, muncul
selintingan (kalau tidak boleh disebut bernada ejekan) yaitu tentang kebiasaan
oknum-oknum wartawan tidak melakukan chek
& rechek dan tidak melakukan verifikasi atas informasi yang didapat
sebelum naik cetak atau disiarkan ke publik. Pelontar kritik itupun bukan orang
sembarang. Ia adalah Prof. Dr. Wayan Lasmawan, M.Pd., guru besar merangkap
Pembantu Rektor II Undiksha yang kala itu dipercaya sebagai nara
sumber/pembicara pada acara talk-show
berkait peringatan HPN tingkat provinsi Bali.Banyak hal yang diungkapkan Lasmawan sehubungan dengan kehidupan pers yang sehat dan bertanggung jawab. Namun yang tampak menonjol ada dua hal yang perlu digarisbawahi yakni; pers sangat tajam ibarat silet, dan kurangnya oknum-oknum wartawan untuk melakukan verifikasi dalam hal penulisan berita. Dari lontaran menyengat yang disampaikan Lasmawan, yang nota bene orang luar (bukan orang pers), patut dicatat dan dikomentari agar pembaca menjadi semakin jelas. Yang pertama menyangkut pers ibarat pisau tajam alias silet. Memang dalam sejarah perkembangan pers pernyataan ini tak terbantahkan. Banyak orang (utamanya pemegang tampuk pimpinan) menjadi semakin terkenal lantaran pemberitaan pers yang mengantarkannya. Tentu saja berkat kiprah sang pemimpin yang menunjukkan prestasi dan dedikasi yang amat baik. Ambillah contoh seperti Presiden kita Joko Widodo (Jokowi) yang kariernya melaju pesat dari wali kota menjadi gubernur hingga presiden, lalu Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) gubernur Jakarta.
Di balik itu ada pula pemimpin yang jatuh “meguyang” gara-gara
pemberitaan pers yang amat tajam, yang tentu saja menyoroti sepak terjangnya
yang sering membuat masyarakat kecewa. Mereka yang seperti inipun banyak
dijumpai dalam kehidupan kita. Contoh, presiden kedua RI yakni Soeharto,
lengser pada 21 Mei 1998 ulah hujatan masyarakat yang teramat gencar dan
diberitakan oleh pers atas berbagai masalah yang melilitnya. Satu lagi, Setya
Novanto juga turun jabatan dari ketua DPR menjadi anggota biasa DPR gara-gara
perilakunya yang tidak santun dan dikenal dengan kasus “papa minta saham.” Dan,
masih banyak yang lain lagi. Berkat ketajaman pers dalam menyuarakan kehendak
dan aspirasi masyarakat, lalu muncul pula ungkapan-ungkapan yang positif
seperti yang diciptakan oleh Napoleon Bonaparte dan Thomas Jefferson.
Napoleon Bonaparte mengibaratkan pers itu dengan ungkapan “Saya lebih
takut pada empat buah surat kabar daripada seribu bayonet.” Lalu, Thomas
Jefferson dengan ungkapan senada menyebut “Saya lebih suka hidup di negara
tanpa pemerintahan tapi memiliki surat kabar daripada hidup di negara yang
punya pemerintahan tapi tidak memiliki surat kabar.” Nah, tentu Anda bisa
memberikan stresing atau menyimpulkan betapa peran surat kabar (pers) tersebut.
Jadi tak salah kalau dikatakan bahwa pers itu memiliki “power” yang amat tajam
ibarat pisau silet, yang dapat melejitkan seseorang pengambil kebijakan dan
sebaliknya meruntuhkan wibawa mereka hingga pelengseran dirinya.
Kedua, pers (lebih tepat oknum
pers/wartawan) yang sering ceroboh, kurang teliti, dan kurang melakukan
verifikasi. Lantaran Prof. Lasmawan itu adalan seorang pejabat di kampus besar
di Bali, tentu yang bersangkutan sering berhadapan dengan mereka (para
wartawan). Di kala itu pula dirinya sering merasakan ada ucapan yang diberikan
kepada wartawan lalu muncul di koran kurang sesuai atau kurang pas yang
terkadang menjadi penyebab tidak nyambungnya informasi dari sumber ke pembaca
atau masyarakat. Tidak salah pula jika ada yang memberikan sorotan terhadap
pers bahwa orang-orang pers sekitar 85 persen belum memahami dan menghayati
yang namanya Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia. Di
samping itu masih banyak pula wartawan Indonesia yang belum membaca secara utuh
tentang isi Undang-Undang RI No. 40 Tahun 1999 tentang “Pers.”
Sesuai Fakta
Pada Bab II, Pasal 5, Kode Etik Jurnalistik disebutkan bahwa “Wartawan
menyajikan berita secara seimbang dan adil, mengutamakan ketepatan dari
kecepatan serta tidak memutarbalikkan fakta dan opini. Tulisan yang berisi interpretasi dan opini,
disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya. Penyiaran karya jurnalistik
rekaulang dilengkapi dengan keterangan, data, tentang sumber rekayasa yang
ditampilkan.” Apa yang disitir Prof. Lasmawan, nyata sekali terdapat pada pasal
5 ini, terutama dalam ketepatan menulis berita baik yang beupa realitas
faktual (kejadian yang sesungguhnya) maupun yang bersumber dari
pernyataan-pernyataan sumber resmi (pejabat).
Satu lagi bila dilihat dari kaca mata UU No. 40 Tahun 1999 tentang “Pers”
teristimewa yang tertera pada pasal 6 butir c, di situ dinyatakan bahwa “Pers
nasional melaksanakan perannya mengembangkan pendapat umum berdasarkan
informasi yang tepat, akurat dan benar.” Hal ini bisa dipertegas atau
ditafsirkan bahwa setiap insan pers (jurnalis) dalam melaksanakan tugas-tugas
jurnalistiknya, terutama menulis berita, diharuskan agar benar-benar tepat,
akurat dan isi beritanya benar-benar terjadi dalam arti bukan merupakan
rekayasa dari para wartawan.
Kemudian jika Prof. Lasmawan menganggap sampai
kini masih ada berita yang ditulis wartawan kurang akurat sebagai akibat dari
kurang chek & rechek, maka ia pun
tidak bisa disalahkan. Malah, yang bersangkutan (Prof. Lasmawan) telah
melaksanakan haknya sebagai pembaca dan/atau sebagai warga masyarakat, yaitu
hak koreksi. Pada pasal 1 ayat 12 UU No. 40 Tahun 1999 tentang “Pers” secara
tegas dinyatakan bahwa “Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi
atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers baik tentang
dirinya maupun tentang orang lain.” Dari paparan tulisan ini kita berharap
semoga masyarakat tidak sungkan-sungkan menggunakan hak yang dimilikinya yakni
hak koreksi ataupun hak jawab.
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com