Pers, Antara Silet dan Chek & Rechek - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

4/22/16

Pers, Antara Silet dan Chek & Rechek





















Oleh: Romi Sudhita *
       Berbicara soal pers, rasanya selalu saja kekurangan waktu mengingat pers itu memiliki jangkauan yang amat luas. Belum lagi Ilmu Komunikasi yang menjadi “mbahnya” pers. Dalam arti yang benar dan dalam arti yang positif, pers memang dapat mengantarkan manusia menuju kepada kesejahteraan, kebahagiaan, dan tak berlebihan kalau dikatakan dapat menyejukkan hati seseorang. Namun ketika pers itu dihujat, dan kelihatan bobroknya, seketika itu pula dunia menjadi murung tanpa gairah. Saking santernya pers itu diendus sebagai sesuatu yang kurang memberikan kenyamanan kepada setiap manusia, lalu muncul pula apa yang dinamakan penyakit pers. 

      Pandangan yang menyebut bahwa pers itu identik dengan penyakit, pernah dilontarkan oleh seorang tokoh pers Syamsul Muarif (BP, 15 Novemb 2001). Tegasnya Bung Syamsul menyebut ada lima penyakit pers yakni; Assasination, pornografi, berita bohong, iklan todong, dan wartawan bodreks. Meski tanpa dilakukan jajak pendapat sebelumnya, apa yang disitir Syamsul Muarif ini tampaknya masih sangat relevan dengan kehidupan nyata sekarang. Pembunuhan karakter ulah pemberitaan yang salah masih sering terjadi yang dilakukan oleh insan-insan pers, begitu juga masalah pornografi (walau sudah ada undang-undangnya) masih saja menghiasi wajah media cetak dan elektronik. Berita-berita bohong yang tidak jelas juntrungannya, iklan yang bermotif memelas dan memeras nara sumber, dan kehadiran wartawan abal-abal atau bisa juga disebut wartawan angin-anginanmasih saja terlihat dan tercium oleh masyarakat pengonsumsi jasa pers.

Ibarat Silet
       Ketika berlangsung peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2016 dan HUT ke-70 PWI tingkat provinsi Bali yang dipusatkan di Singaraja, 26 Maret lalu, muncul selintingan (kalau tidak boleh disebut bernada ejekan) yaitu tentang kebiasaan oknum-oknum wartawan tidak melakukan chek & rechek dan tidak melakukan verifikasi atas informasi yang didapat sebelum naik cetak atau disiarkan ke publik. Pelontar kritik itupun bukan orang sembarang. Ia adalah Prof. Dr. Wayan Lasmawan, M.Pd., guru besar merangkap Pembantu Rektor II Undiksha yang kala itu dipercaya sebagai nara sumber/pembicara pada acara talk-show berkait peringatan HPN tingkat provinsi Bali.
 Banyak hal yang diungkapkan Lasmawan sehubungan dengan kehidupan pers yang sehat dan bertanggung jawab. Namun yang tampak menonjol ada dua hal yang perlu digarisbawahi yakni; pers sangat tajam ibarat silet, dan kurangnya oknum-oknum wartawan untuk melakukan verifikasi dalam hal penulisan berita. Dari lontaran menyengat yang disampaikan Lasmawan, yang nota bene orang luar (bukan orang pers), patut dicatat dan dikomentari agar pembaca menjadi semakin jelas. Yang pertama menyangkut pers ibarat pisau tajam alias silet. Memang dalam sejarah perkembangan pers pernyataan ini tak terbantahkan. Banyak orang (utamanya pemegang tampuk pimpinan) menjadi semakin terkenal lantaran pemberitaan pers yang mengantarkannya. Tentu saja berkat kiprah sang pemimpin yang menunjukkan prestasi dan dedikasi yang amat baik. Ambillah contoh seperti Presiden kita Joko Widodo (Jokowi) yang kariernya melaju pesat dari wali kota menjadi gubernur hingga presiden, lalu Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) gubernur Jakarta.

Di balik itu ada pula pemimpin yang jatuh “meguyang” gara-gara pemberitaan pers yang amat tajam, yang tentu saja menyoroti sepak terjangnya yang sering membuat masyarakat kecewa. Mereka yang seperti inipun banyak dijumpai dalam kehidupan kita. Contoh, presiden kedua RI yakni Soeharto, lengser pada 21 Mei 1998 ulah hujatan masyarakat yang teramat gencar dan diberitakan oleh pers atas berbagai masalah yang melilitnya. Satu lagi, Setya Novanto juga turun jabatan dari ketua DPR menjadi anggota biasa DPR gara-gara perilakunya yang tidak santun dan dikenal dengan kasus “papa minta saham.” Dan, masih banyak yang lain lagi. Berkat ketajaman pers dalam menyuarakan kehendak dan aspirasi masyarakat, lalu muncul pula ungkapan-ungkapan yang positif seperti yang diciptakan oleh Napoleon Bonaparte dan Thomas Jefferson.

Napoleon Bonaparte mengibaratkan pers itu dengan ungkapan “Saya lebih takut pada empat buah surat kabar daripada seribu bayonet.” Lalu, Thomas Jefferson dengan ungkapan senada menyebut “Saya lebih suka hidup di negara tanpa pemerintahan tapi memiliki surat kabar daripada hidup di negara yang punya pemerintahan tapi tidak memiliki surat kabar.” Nah, tentu Anda bisa memberikan stresing atau menyimpulkan betapa peran surat kabar (pers) tersebut. Jadi tak salah kalau dikatakan bahwa pers itu memiliki “power” yang amat tajam ibarat pisau silet, yang dapat melejitkan seseorang pengambil kebijakan dan sebaliknya meruntuhkan wibawa mereka hingga pelengseran dirinya.

Kedua, pers (lebih tepat oknum pers/wartawan) yang sering ceroboh, kurang teliti, dan kurang melakukan verifikasi. Lantaran Prof. Lasmawan itu adalan seorang pejabat di kampus besar di Bali, tentu yang bersangkutan sering berhadapan dengan mereka (para wartawan). Di kala itu pula dirinya sering merasakan ada ucapan yang diberikan kepada wartawan lalu muncul di koran kurang sesuai atau kurang pas yang terkadang menjadi penyebab tidak nyambungnya informasi dari sumber ke pembaca atau masyarakat. Tidak salah pula jika ada yang memberikan sorotan terhadap pers bahwa orang-orang pers sekitar 85 persen belum memahami dan menghayati yang namanya Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia. Di samping itu masih banyak pula wartawan Indonesia yang belum membaca secara utuh tentang isi Undang-Undang RI No. 40 Tahun 1999 tentang “Pers.”

Sesuai Fakta
Pada Bab II, Pasal 5, Kode Etik Jurnalistik disebutkan bahwa “Wartawan menyajikan berita secara seimbang dan adil, mengutamakan ketepatan dari kecepatan serta tidak memutarbalikkan fakta dan opini.  Tulisan yang berisi interpretasi dan opini, disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya. Penyiaran karya jurnalistik rekaulang dilengkapi dengan keterangan, data, tentang sumber rekayasa yang ditampilkan.” Apa yang disitir Prof. Lasmawan, nyata sekali terdapat pada pasal 5 ini, terutama dalam ketepatan menulis berita baik yang beupa realitas faktual (kejadian yang sesungguhnya) maupun yang bersumber dari pernyataan-pernyataan sumber resmi (pejabat).

Satu lagi bila dilihat dari kaca mata UU No. 40 Tahun 1999 tentang “Pers” teristimewa yang tertera pada pasal 6 butir c, di situ dinyatakan bahwa “Pers nasional melaksanakan perannya mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.” Hal ini bisa dipertegas atau ditafsirkan bahwa setiap insan pers (jurnalis) dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistiknya, terutama menulis berita, diharuskan agar benar-benar tepat, akurat dan isi beritanya benar-benar terjadi dalam arti bukan merupakan rekayasa dari para wartawan.

Kemudian jika Prof. Lasmawan menganggap sampai kini masih ada berita yang ditulis wartawan kurang akurat sebagai akibat dari kurang chek & rechek, maka ia pun tidak bisa disalahkan. Malah, yang bersangkutan (Prof. Lasmawan) telah melaksanakan haknya sebagai pembaca dan/atau sebagai warga masyarakat, yaitu hak koreksi. Pada pasal 1 ayat 12 UU No. 40 Tahun 1999 tentang “Pers” secara tegas dinyatakan bahwa “Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.” Dari paparan tulisan ini kita berharap semoga masyarakat tidak sungkan-sungkan menggunakan hak yang dimilikinya yakni hak koreksi ataupun hak jawab.

*)Penulis, pegiat pers dan Pengamat perilaku

No comments:

Post a Comment

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com