Mpu Jaya Prema
PEMERINTAH mulai memperhatikan dunia sastra. Di era
Presiden Jokowi ini bukan hanya infrastruktur saja yang digenjot, juga
karya sastra. Tentu karya-karya yang diharapkan berbobot dan punya nilai
renungan, bukan karya pop yang selesai dibaca tak ada pergulatan batin
di dalamnya. Karya sastra seperti yang pernah dilahirkan para pujangga
di masa lalu seperti Sutasoma, Negarakerthagama, Arjunawiwaha dan
sejenisnya. Juga di masa pujangga baru dengan lahirnya Sukreni Gadis
Bali, Siti Nurbaya, Belenggu dan sejenisnya.
Upaya untuk itu akan dilakukan, masalah hasilnya memenuhi harapan atau tidak, itu urusan belakangan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan akan memberi beasiswa bagi para penulis untuk menghasilkan karya sastra bermutu. Para penulis ini diberikan biaya hidup dalam jangka waktu tertentu agar mereka konsentrasi menulis, tidak diselingi kegiatan lainnya. Mereka bisa dikirim ke luar negeri atau tempat-tempat yang dikehendaki agar bisa konsentrasi, tentu tempat itu akan memudahkan juga bagi mereka mengadakan riset.
Menurut Menteri Anies Baswedan, para penulis itu tentu mengajukan lamaran terlebih dahulu, semacam proposal karya apa yang akan ditulis, berapa lama membutuhkan waktu, dan di mana mereka akan tinggal selama menulis. Anggarannya disiapkan pemerintah. Presiden Jokowi sudah setuju tinggal menunggu respon dari para sastrawan.
Yang menarik, para sastrawan itu tak hanya mereka yang menulis dalam bahasa Indonesia, juga yang selama ini bergerak dalam bahasa lokal, bahasa daerah. Tentu juga dimaksudkan untuk melestarikan bahasa daerah karena budaya daerah itu akan mendukung bahkan menjadi modal dalam memajukan budaya nasional.
Terobosan baru Kemdikbud ini harus disambut gembira di Bali, baik mereka yang menulis dalam bahasa Indonesia maupun yang tetap setia dan kembali belajar menulis dalam bahasa Bali. Sastrawan Bali dan para pengawi (pengarang dalam bahasa Bali) tak kalah mutunya kalau mereka diberi kesempatan dan rangsangan untuk berkarya. Apalagi belakangan ini kembali dikumandangkan untuk menghidupkan bahasa Bali, bahkan sudah ada gerakan di beberapa tempat untuk mebasa Bali pada hari tertentu. Kalau kita lihat sastra berbahasa Bali di koran, termasuk di koran Pos Bali ini, peminat sastra berbahasa Bali termasuk tinggi. Juga pada anakanak sekolah.
Kita punya banyak pengawi yang karyanya bermutu, sayangnya mereka
sudah tak ada lagi, seperti I Made Sanggra, Gede Dharna, I Gusti Ketut
Kaler yang menulis sastra dengan nama samaran Utara Wungsu. Masih banyak
lagi yang lainnya. Sebelumnya di era Balai Pustaka ada nama Wayan
Gobiah dengan karyanya Nemu Karma dan Gde Srawana dengan karyanya
Melancaran ke Sasak.
Sedang generasi belakangan, namun tak produktif
lagi menulis karena kesibukan yang lain, masih ada seperti Made Taro,
Mas Ruscita dan lainnya. Bukan tak mungkin muncul generasi baru,
sebutlah generasi internet, jika melihat antusiasnya calon-calon pengawi
yang masih duduk di sekolah menengah mengisi lembaran bahasa Bali di
koran-koran.
Apa yang membuat sastrawan dan pengawi ini kurang begitu produktif
dan jika pun sesekali menulis karyanya tak begitu menyentuh benar?
Mereka tak sepenuhnya melebur diri dalam menghasilkan karya itu, mereka
tak sepenuhnya bisa konsentrasi karena ada pekerjaan lain yang justru
harus dijadikan pekerjaan utama karena menopang hidupnya. Artinya,
menulis karya sastra, apakah itu berbahasa Bali atau Indonesia, masih
merupakan pekerjaan sampingan, ditulis pada waktu senggang dan jika
pekerjaan lain sudah selesai. Kalau menulis saja harus mencuri waktu
senggang, bagaimana dengan riset, sudah pasti sulit dilakukan. Padahal
karya sastra umumnya mewakili suatu zaman dan itu setidaknya membutuhkan
riset.
Kini Menteri Anies Baswedan menawarkan beasiswa atau tunjangan
menulis yang jumlahnya cukup agar menulis itu menjadi pekerjaan pokok.
Mestinya ini disambut dengan antusias oleh para sastrawan dan pengawi
yang ada di Bali. Jangan malu atau segan untuk mengajukan proposal, apa
yang mau ditulis. Apakah itu karya sastra dalam bentuk novel, apakah
berupa kidung, tinggal diajukan dalam proposal itu, lengkap dengan
jadwal berapa bulan dibutuhkan untuk riset dan merampungkan tulisan dan
di mana mau menulis.
Ide Anies Baswedan ini bercermin pada pujangga di masa lalu, ketika
Kerajaan Kediri dan Majapahit jaya-jayanya. Pada era itu para pujangga
dipanggil ke istana untuk menulis karya sastra dan dibiayai hidupnya.
Ada yang menulis mengenai kerajaan, ada yang menulis tafsir dari
kitab-kitab agama, dan ada yang bebas mau menulis apa saja. Tak semuanya
pesanan dari raja yang sedang berkuasa.
Pada zaman Kediri lahir Kekawin Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (1030
Masehi) ketika raja yang berkuasa Prabu Airlangga. Lalu Kekawin
Kresnayana karya Mpu Triguna di era Raja Jayabaya. Kemudian Kekawin
Smaradahana karya Mpu Dharmaja pada era Raja Sri Kameswara. Menyusul
Bharatayudha karya Mpu Sedan dan Mpu Panuluh dan Kekawin Gatotkacasraya
karya Mpu Panuluh sendirian. Semua karya ini adalah semacam tafsir baru
yang disesuaikan pada masyarakat Jawa Hindu dari kitabkitab yang ada.
Di era Majapahit mulai ada karya pesanan dari raja yang berkuasa
kepada para pujangga. Mpu Prapanca, misalnya, diminta oleh Raja Hayam
Wuruk untuk menulis semacam reportase kerajaan sejak zaman Singasari
pada pemerintahan Ken Arok sampai era Majapahit. Lahirlah kitab
Nagarakretagama yang tersohor itu. Kemudian Mpu Tantular diminta untuk
menulis karya sastra yang bisa dijadikan sesuluh rohani kerajaan.
Lahirlah Sutasoma yang di dalamnya ada kata sakti bhineka tunggal ika,
kata yang sampai sekarang menjadi sesanti negeri ini.
Masih banyak karya sastra pujangga masa lalu yang sampai sekarang
tetap dibaca dan ditembangkan, bahkan ditafsirkan kembali. Seperti karya
Mpu Tanakung, Siwaratri Kalpa yang merupakan adaptasi kisah Lubdaka di
India, tetap asyik dibahas sampai kini ketika Hari Siwaratri tiba.Meski
dibiayai oleh pemerintah, menurut Anies Baswedan, tak ada maksud untuk
mengarahkan tulisan para sastrawan. Misalnya harus memuji pemerintahan
Jokowi. Tema tulisan bebas asal bernilai sastra yang tak lekang waktu.
Mpu Tantular itu bukan nama asli, dan ketika menulis karya pesanan
Sutasoma, ia baru memakai nama itu. Tan berarti tidak, tular berarti
terpengaruh. Ia ingin menunjukkan bahwa ia tak terpengaruh oleh pesanan
raja. Begitulah pujangga itu tak bisa diatur pikirannya, namun hidupnya
memang layak untuk dibantu. (*)
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com