Kreativitas sosok kelahiran “Bali Mule” atau “Bali Age” di belahan Utara pulau Dewata, yakni Desa Sidatapa yang belakangan ini lebih keren disebut SCTP (Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, Pedawa) di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng ini patut diacungi jempol. Ia adalah Wayan Ariawan bersama Putu Budiasa kelahiran Desa Dencarik, masih dalam satu wilayah kecamatan Banjar, melakukan aktivitas ”Melestarikan Lingkungan dengan Cara Mereka Sendiri” di tempat usahanya, Desa Kaliasem, Kecamatan Banjar, Lovina.
Dengan ketajaman berpikir, mereka
prihatin melihat kondisi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan akan dampak
yang bisa ditimbulkan oleh sampah. Kendati memang, pemerintah Kabupaten
Buleleng melaljui steakholder sudah
memberikan perhatian penuh. Bahkan, sudah disiapkan perangkat lunak untuk
menjaring warga masyarakat yang membuang sampah sembarangan dengan suatu
peraturan daerah (perda) tentang sampah.
Perda tentang Sampah yang telah
diberlakukan penerapannya, mulai 1 April 2015 ini, sepertinya yang mengisyaratkan warga pelanggar
dengan sanksi belum tersentuh untuk menjaga lingkungan.
Ketajaman berpikir Ariawan dan Budiasa
untuk menjaga lingkungan, terkait dengan profesi mereka sebagai petani untuk
membuat hidup, terutama oleh pertanian anyelir semacam daun tanaman yang dapat
digunakan sebagai bahan dalam memproduksi obat-obatan, kosmetik dan terutama
sebagai rasa rokok kretek.
Tanaman Anyelir tumbuh baik diketinggian antara
400 hingga 600 meter di atas permukaan laut dan itu tidak akan tumbuh baik
dalam hukum-luas seperti tutup ke pantai karena panas matahari yang kuat yang
membuat daun Anyelir yang dikeringkan-UP.
Secara geografis, Bali dengan hamparan
gunung dari timur ke barat. Dan Buleleng sebagai kabupaten di belahan utara yang
luasnya sepertiga wilayah pulau Bali dengan hamparan berbukit, sehingga sangat cocok untuk tumbuh
tanaman Anyelir.
Sebelumnya, Ariawan dalam aktivitas petani
kebun kopi, karena meroketnya harga cengkeh kemudian petani mengubah dari
perkebunan kopi beralih ke kebun cengkeh. Secara bertahap, perkebunan kopi
telah dikurangi dan digantikan oleh perkebunan cengkeh. Booming selama era
cengkeh harga daun kering bisa mencapai Rp180.000 per kg, namun kini harga terus
berflutuaksi sekitar Rp100.000,- per kg.
Untuk membuat tanaman tumbuh dengan baik dan sehat, cengkeh yang harus diurus cukup dengan memberi pupuk, secara umum untuk pertanian biasanya terdiri dari kotoran sapi, ayam, bahkan terbuat dari kimia.
Dua petani dalam usaha mereka untuk menyuburkan
tanaman anyelir, mereka menerapkan metode yang berbeda dengan apa yang kemudian
disebut "pupuk cair". Pupuk jenis ini terbuat dari dapur sampah,
seperti kulit dari pinus-apel dan kulit pisang. setelah terkelupas. Kadang-kadang bercampur
dengan tak terpakai lain-lain. seperti daun batang padi. Semua barang ini
kemudian letakkan di urutkan dari serat tank dan ditutup rapat Sebelum menutup
itu semacam cairan putihnya ke dalam tangki untuk membuat fermentasi barang dan
karena proses fermentasi, sehingga hal yang diubah menjadi cair dan kemudian
adalah cair dalam botol.
Metode lainnya juga dilakukan dalam pembuatan pupuk dengan menggunakan sampah yang kemudian diubah menjadi kompos dengan cara yang sama melalui fermentasi.
Wayan Ariawan,dan Putu Budiasa juga
menjalankan "TPS" (tempat pengolahan sampah) untuk mengolah sampah
kiriman.
Di lingkungan tempat tinggal, Desa
Kaliasem, mereka berusaha mengumpulkan sampah dari beberapa tempat di
sekitarnya dan kemudian memproses di tempat yang telah disiapkan, sehingga
tidak akan berbahaya bagi lingkungan, seperti bau buruk.
Menurut Ariawan, bahwa secara ekonomis dari
sudut pandang sejauh ini adalah tidak layak komersial dari kata lain mencari keuntungan.
Bahkan, usaha yang dilakoni mengalami kerugian bagi dirinya.
. Menjawab
pertanyaan mengapa dia melakukannya meskipun ia menyadari sepenuhnya bahwa apa
yang dia lakukan tidak memperoleh keuntungan, Ariawan menegaskan, bahwa dia
lebih khawatir tentang melestarikan lingkungan.
Jadi yang dibuat sosok petani Wayan Ariawan
mungkin terdengar begitu ikhlas tapi pada kenyataannya mereka telah kerjakan
itu.
Seperti diketahui, di salah satu dusun di Desa Kaliasem sebagai tempat domisili usahanya dua petani ini merupakan wilayah ”Resor Wisata Lovina” yang paling populer sebagai tujuan wisata di belahan Utara Bali. Tidak berlebihan, bahwa Lovina adalah yang pertama dikenal oleh wisatawan dan wisatawan mengenal Lovina merupakan awal pengembangan pariwisata di Bali.
Kini Lovina lebih berkembang, lebih banyak
fasilitas wisata yang tumbuh berkembang, seperti hotel, restoran, dan lain-lain
untuk nama beberapa sarana wisata sudah maju.
Hanya saja kemajuan pengembangan wisata
Lovina ini, bukan tanpa sisi buruk. Sal;ah satu sisi buruk itu, adalah sampah dan
turis biasanya mengeluh tentang tong sampah.
Apa yang telah dilakukan dua petani langsung telah berkontribusi untuk upaya membuat lingkungan bersih, kebersihan, sehat dan kenyamanan. Kami berharap, bahwa apa yang telah mereka lakukan secara umum akan diikuti orang lain dan mereka yang ada di daerah Lovina secara khusus. Dengan demikian Lovina terbebas dari ancaman sampah dan membangkitkan kawasan wisata dengan ikan Lumba-Lumba sebagai maskotnya semakin menjadi tujuan wisata di Bali Utara. Astungkata ~ rahayu ~
~ Made Tirthayasa ~
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com