Waktu tugasku telah selesai. Pagi hampir
tiba. Dingin semakin terasa menusuk tubuh ini dan aku gelisah di dalam
kamar, yang tadi sempat ramai oleh dengus nafsu para lelaki hidung
belang itu. Bahkan keringat dan bau tubuh mereka masih menempel di kain
sprei ini. Tapi aku sudah terlalu terbiasa…
Aku rebahkan tubuh diatas ranjang dalam
kegelisahan yang berbeda dari biasanya. Sebelumnya, aku selalu gelisah
antara ketakutan diriku akan dosa dan juga Tuhan. Kegelisahan yang
selalu tentang diriku yang merasa kotor dan hina sebagai mahluk Tuhan.
Tapi pagi ini, kegelisahanku tiba-tiba menjadi tak sama. Ada yang
mengganggu pikiranku tadi.
Ya, malam ini aku dikejutkan oleh
kedatangan tamu seorang perempuan. Padahal selama ini, tamu-tamu yang
datang sudah pasti selalu laki-laki. Karena hanya laki-laki yang datang
ketempat ini. Tapi perempuan itu?
Awalnya akupun sempat terkejut saat Mami
mengatakan kepadaku, bahwa ada tamu perempuan yang mencariku. Kok? Masih
dengan perasaan tak percaya. Tapi Aku mendapati kebenaran ucapan Mami,
bahwa memang tamu yang mencariku adalah seorang perempuan. Nah lho?!
“ Silahkan duduk, Mbak?,” aku
mempersilahkan perempuan itu untuk duduk di kursi riasku. Dan aku
sendiri duduk di tepi ranjang. Perempuan itu masih celingukan melihat
seluruh sudut kamarku.
“ Maaf,Mbak… Ada apa yah, cari-cari saya?
Maaf, kalau saya ini hanya bersedia melayani laki-laki, lho” ucapku
lagi sambil memperhatikan dirinya yang masih berdiri seperti orang
bingung.
“ Eh, iya Mbak. Maaf… Perkenalkan nama
saya Imah, Mbak,” ucapnya kemudian sambil mengulurkan tangan mengajakku
bersalaman, lalu duduk di kursi.
“ Sephia..,” jawabku menyambut uluran
tangannya. Perempuan itu lalu tertunduk, pandangannya jatuh pada kedua
tangan yang dia mainkan.
“Mbak…” Aku coba untuk mengingatkan kepadanya tentang pertanyaanku yang hanya dia jawab dengan diam begitu.
“ Nggg… maaf, Mbak Sephia. Saya ini
sebenarnya istrinya Mas Bejo. Dan saya datang kesini mau minta tolong
sama Mbak Sephia,” ucapnya pelan. Nyaris aku tidak bisa menangkap apa
yang dia ucapkan. Apalagi dia mengatakan itu masih dalam posisi kepala
yang tertunduk dan jari-jari tangan yang ia mainkan.
Tapi aku sedikit mendengar kata-kata yang
dia ucapkan, “Istri bejo”. Bejo yang aku kenal adalah lelaki yang
berperawakan sedang-sedang saja. Dan tampangnya juga biasa-biasa saja.
Tapi dia memang pelanggan tetapku yang hampir setiap hari mendatangi
aku. Untuk tidur atau sekedar minta ditemani minum. Tapi apa benar
perempuan ini adalah istri Bejo?
“ Mbak ini beneran istrinya bejo?,” tanyaku menyelidik.
Dia hanya menganggukan kepala, lalu
tangannya masuk ke dalam kantung daster yang ia kenakan saat itu.
Kemudian dia menyerahkan Photo yang tadi ia ambil dari kantung dasternya
kepadaku. Sesaat aku mengamati photo itu. Ya, ternyata benar. Photo ini
sudah cukup memberi jawaban atas pertanyaanku tadi. Di dalam photo itu
aku melihat sosok Imah dan Bejo yng duduk di kursi pelaminan.
Sambil menyerahkan kembali photo itu
kepadanya, aku bertanya lagi,“Trus apa hubungannya sama saya?
Sampai-sampai Mbak datang sendiri kesini. Padahal Mas Bejo hari ini
tidak datang kesini.”
Wajahnya yang pucat itu, tiba-tiba
terlihat semakin pucat seta mendung dalam kesedihan. Ditatapnya photo
itu. Kenangan terindah dalam hidupnya yang kemudian menghilang. Bejo,
lelaki yang dicintainya, yang dulu selalu bersikap lembut lagi penyabar.
Tiba-tiba berubah menjadi laki-laki yang pemarah lagi kasar.
Setiap pulang, selalu disaat waktu
menjelang pagi. Dengan tubuhnya yang selalu limbung kesana-kemari saat
dia berjalan. Dari mulutnya tercium dengan jelas bau alkohol. Belum lagi
wangi parfum yang jelas-jelas milik seorang perempuan. Karena Imah tak
pernah memiliki parfum lagi. Mas bejo tidak pernah membelikannya lagi,
kecuali pada saat menjelang hari pernikahan mereka dulu. Sedangkan Bejo
sendiri juga tak pernah memakai parfum. Tak pernah pula Imah melihat
parfum itu ada di dalam rumah kontrakan ini.
“Mbak…,” tegurku lagi sambil menepuk-nepuk paha perempuan itu. Seketika semua lamunan Imah buyar.
“Eh.. Maafin saya, Mbak sephia,” ucap
Imah sedikit gugup. Lalu di masukan lagi photo itu ke dalam kantong
dasternya. Dan kembali ia bermain dengan jari-jari tangannya.
“ Mbak… Mbak Imah belum jawab pertanyaan saya,” ucapku sambil mencoba menatap wajah Imah yang bersembunyi dalam tertunduk.
“Ngggg… Saya mau minta tolong sama Mbak
Sephia. Supaya Mbak Sephia tidak lagi mau menerima Mas Bejo sebagai tamu
disini. Tolong ya, Mbak” ucap Imah memelas.
“ Lho?! Memangnya kenapa? Kalau disini,
saya tidak bisa pilih-pilih tamu, Mbak. Saya harus layani semua tamu
yang mau dengan saya. Bisa-bisa nanti saya yang kena dimarahi Mami
disini.”
“Tapi, Mbak…”
“Bukan kemauan saya juga, kalau Mas Bejo
datang ke sini, Mbak. Tolong mengerti profesi saya ini, Mbak Iah”, kini
aku yang memohon pengertian darinya.
Imah diam. Sepertinya dia sadar bahwa
semua ini memang bukan salahku, jika Bejo begitu suka datang ke tempat
ini untuk menghambur-hamburkan uang; bermabuk-mabukan untuk kemudian
tidur dengan para pelacur di sini. Uang yang seharusnya Bejo berikan
untuk dirinya dan anak-anak, untuk keperluan makan sehari-hari dan juga
keperluan anak-anaknya sekolah. Tapi, semua ludes sama sekali. Sehingga
Imah harus pontang-panting meminta pinjaman sana-sini, meminta-minta
belas kasih para tetangga agar dia dan anak-anak bisa sekedar makan.
“ Mbak Sephia.., kita sama-sama perempuan kan?,”tanya Imah kemudian.
Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan Imah. Lalu hanya menjawab dengan anggukan kepala.
“ Mbak pasti mengerti perasaan saya
sebagai seorang perempuan, sebagai seorang istri dan ibu dari anak-anak
saya,” ucap Imah sambil menatap sendu ke arah Sephia. “Mbak Sephia tahu
betapa sakitnya hati saya, mengetahui bahwa suami saya tercinta ternyata
sering tidur dengan perempuan lain selain diri saya.”
Aku diam, tidak bisa berkata apa-apa.
Ucapan Imah membuat luka di dalam hati ini kembali terasa. Terbayang
oleh bagaimana diriku juga pernah dicampakan oleh seorang lelaki.
Lelaki yang telah menghamili diriku, lalu pergi meninggalkannya dengan
rasa malu yang harus ditanggung oleh semua keluargaku. Dihina,
dilecehkan dan dibuang dari kampung halaman tercinta.
“ Memang kebobrokan sifat suami saya
bukan sepenuhnya salah, Mbak Sephia. Mungkin juga karena salah saya.
Lihatlah, Mbak… saya dan Mbak Sephia jauh berbeda. Saya tidak tahu
bagaimana harus berdandan; harus berpakaian yang menarik buat suami
saya.” Terlihat airmata Imah jatuh dan mengalir deras di pipinya yang
pucat itu.
Aku masih terdiam. Sibuk dengan pikiranku sendiri. Ada perasaan malu dan juga sakit yang sama seperti yang dirasakan Imah.
“ Saya sadari kekurangan saya, Mbak. Jadi
tidak masalah jika Mas Bejo akhirnya lebih memilih perempuan lain untuk
memuaskan nafsu birahinya. Tapi saya merasa kasihan setiap saat melihat
anak-anak saya, Mbak. Mereka butuh sosok bapak mereka, bapak yang baik
dan seharusnya menjadi panutan. Mereka masih butuh makan dan jaminan
untuk masa depan mereka kelak, Mbak” Tangis Imah semakin keras di
sela-sela waktu ia bercerita. Dihapusnya airmata itu dengan ujung lengan
daster lusuh yang ia kenakan.
“ Apa saya juga bersalah sama anak-anak, Mbak Imah?” tanyaku kini dengan perasaan bersalah.
“ Tidak, Mbak… Mbak Sephia tidak salah
apa-apa. Mas Bejo yang memang selalu melupakan kewajibannya untuk
menafkahi keluarga. Dia lupa, bahwa uang yang didapat dan ia miliki itu,
seharusnya menjadi hak anak istrinya. Bukan milik botol-botol minuman
dan juga bukan milik Mbak Sephia,” Imah tertunduk. Rasa sakit yang
semakin terasa di dalam dadanya. Memaksa airmata itu terus tumpah. Namun
saat ini, Imah ingin melepaskan semua beban yang telah lama terpendam
di hatinya. “Saya kasihan melihat anak-anak saya, Mbak Sephia. Mereka
harus terus merasa kelaparan. Karena bapaknya selalu lupa memberi saya
uang untuk anak-anak makan. Uangnya telah dia habiskan ditempat ini”
Hening. Hanya ada airmata dari kedua
perempuan itu yang bercerita tentang luka-luka yang ada di dalam hati
mereka. Rasa sakit yang dihadirkan oleh mahluk ciptaan Tuhan yang
bernama laki-laki.
“ Maafkan saya, Mbak Imah,” ucapku
kemudian sambil mengenggamn tangan Imah. Seolah mengucapkan kepadanya,
betapa diriku juga ikut merasakan apa yang tengah ia rasakan saat ini.
Betapa aku juga mengerti akan rasa sakit itu. Kami sama-sama perempuan,
hamba Tuhan, yang selalu saja tertindas.
….
Aku membalik posisi tidur. Rasa yang saat
ini ada begitu mengganggu. Perempuan itu, Imah, Istri dari salah satu
pelanggan tetapku. Seorang laki-laki yang telah menyia-nyiakan
keluarganya demi kesenangannya sendiri di tempat ini. Dengan botol-botol
minuman itu dan mengumbar syahwat bersamaku di ranjang ini. Akh, betapa
berdosanya aku! Lembaran-lembaran rupiah yang dia berikan kepadaku
adalah uang yang seharusnya menjadi milik Imah dan anak-anaknya.
Tapiii… Akh, masa bodoh! Itu bukan
kesalahanku! Aku hanya menerima uang itu. Bukan salahku juga, jika Mas
Bejo begitu menyukai aku. Mungkin karena servisku yang bagus dan dia
merasa puas. Mana kutahu uang itu dari mana dan buat siapa?!
Aku lalu mendesah, menatap kursi tempat
dimana Imah duduk tadi. Ia adalah perempuan yang begitu polos dan
sederhana. Betapa tololnya perempuan itu?! pikirku. Mengapa dia mau
bertahan dan ditindas oleh lelaki yang bernama Bejo?! Kenapa tidak minta
cerai saja?! Atau bunuh aja lelaki itu sekalian!
“ Saya tidak punya siapa-siapa lagi, Mbak
Sephia. Lagi pula saya kasihan melihat anak-anak, kalau sampai saya
pisah dan bercerai dengan Mas Bejo,” Aku teringat apa yang dikatakan
Imah tadi. Ya, ucapan dari perempuan bodoh sudah cukup membuatku
merasakan marah pada keadaan.
Akupun merasakan kebodohan Imah
sebagaimana kebodohan diriku dulu, ketika mau saja diperdaya seorang
laki-laki yang telah beristri. Dan percaya akan semua kata-katanya.
Sampai akhirnya bersedia untuk kehilangan Mahkota yang paling berharga.
Untuk kemudian dicampakan. Akh, kita memang perempuan-perempuan tolol,
Mah, desisku sendiri.
Mungkin itu semua karena aku dan Imah
sama-sama perempuan dari desa. Yang tidak memiliki pendidikan yang
tinggi. Jangankan kuliah?! Tamat sekolah menengah saja, tidak! Tapi..,
Ah, tidak juga. Aku sering melihat dan mendengar bahwa kebodohan itupun
sama-sama dilakukan oleh mereka, perempuan-perempuan dari kota. Yang
mempunyai gelar dan pernah sekolah tinggi, bahkan yang lulusan sekolah
luar negeri sekalipun.
Jadi, mungkin kebodohan kami bukan karena
masalah pendidikan semata. Tapi mungkin juga karena moral dan sifat
lemah kami yang lebih banyak memandang sesuatu dengan perasaan.
Entahlah, mungkin juga karena cinta?! Cinta yang membutakan hati dan
pikiran kami. Mungkin juga nafsu?! Nafsu yang tidak bisa kami kendalikan
lagi. Atau mungkin karena uang?! Entahlah… perduli amat dengan
kebodohan itu!
…..
Kejadian malam tadi, tiba-tiba membuatku
merasa semakin terhina dengan profesinya sebagai wanita penghibur.
Entahlah, apa benar para lelaki itu butuh hiburan? Padahal semuanya ada
dan telah mereka miliki di rumah. Bukankah rasa lelah seharusnya dapat
hilang dengan tawa dan canda anak-istri mereka?
Lalu apa gunanya aku sebagai penghibur?
Toh, mereka masih bisa untuk selalu tertawa setiap kali menenggak semua
botol-botol minuman itu?! Aku hanya duduk diam dan menemani mereka, yang
sesekali mereka menjamah bagian-bagina tubuhku yang mereka suka.
Atau mungkin aku hanya sebagai tempat
pelampiasan nafsu mereka? Padahal mereka bisa melampiaskan itu di rumah
secara gratis tanpa harus membayar, tidak seperti saat bersamaku.
Ataukah karena kepuasan?! Kepuasan darimana?! Kerjaku gampang saja,
tidur telanjang lalu mengangkang, Selesai! Titik! Darimana puasnya?!
Toh, mereka semua kadang melakukan itu dengan tanpa kesadaran. Karena
mereka terpengaruh oleh minuman yang sebelumnya mereka tenggak.
Atau hanya karena penasaran dan kemudian
merasa ketagihan?! Itu berarti diriku ini tidak jauh beda dengan namanya
candu atau narkoba, yang hampir merenggut nyawa adik laki-lakiku. Akh,
entahlah… Otak ini buntu!
Atau semua pikiran-pikiran yang muncul
ini, hanya perasaanku saja? Yang paling mempengaruhi
keinginan-keinginanku; keinginan yang tiba-tiba; keinginan untuk
berhenti dari pekerjaan ini. Perasaan sesama perempuan; perempuan yang
merasa sama-sama tersakiti oleh laki-laki; sama-sama mempunyai naluri
sebagai seorang ibu; sama-sama mengerti perasaan perempuan dengan semua
kebodohan dan ketidak berdayaannya.
Akh, aku tak ingin menjadi perusak
kebahagiaan dan rumah tangga orang. Besok aku harus pulang ke kampung
dan berhenti dari pekerjaan ini. Uang tabunganku mungkin sudah cukup
untuk memulai kehidupan baru. Mami pasti mengerti. Tekadku telah bulat!
Saat adzan subuh mulai terdengar, akupun beranjak dari ranjang dan pergi untuk berwudhu.
…..
“ Waaah..! Mbak Sephia ini, pulang-pulang
langsung punya warung besar begini. Komplit lagi?! Hebat!,” celoteh
salah seorang ibu dan yang lain hanya mengiyakan. Sementara Aku hanya
senyam-senyum menanggapi semua celoteh ibu-ibu itu.
“Belanjanya cuma ini aja, Bu? Tidak sama
yang lain sekalian,?” ucapku kemudian sambil menyodorkan bungkusan
plastik berisi barang belanjaan kepada ibu tadi.
“Tidak ada uangnya lagi, Mbak Sephia.
Nanti lagi deh,” jawab ibu tersebut sambil menyodorkan uang dan kemudian
mangambil bungkusan yang aku sodorkan tadi.
Sudah hampir 4 bulan ini, semenjak aku
memutuskan untuk pulang. Dan membuka warung sembako. Uang tabungan
dipakai sebagian untuk bisa membuka usaha ini. Mungkin memang bukan uang
halal, tapi ini adalah jalan menuju perubahan yang baik menurutku saat
ini. Toh, para penduduk sini sepertinya sudah bisa menerima diriku lagi.
…
Sementara itu di tempat Sephia sebelumnya….
“E-eh, Bang Joni! Kemana aja?! Sudah lama tidak pernah keliatan,” ucap Mami sambil mendekati seorang laki-laki.
“Iya, Mam. Biasa. Sibuk ngurusin proyek
di luar kota nih,” jawab lelaki yang dipanggil Joni itu, sambil
tersenyum kepada Mami yang sekarang sudah menggandeng dirinya.
“Banyak duitnya, dong?!” ucap Mami. Dan mereka pun tertawa.
“Mana sephia?,” tanya Joni sambil matanya berkeliling mencari sosok yang dia sebutkan.
“Aduuuh…, masih ingat aja sama sephia.
Dia sudah tidak bekerja lagi di sini, Bang. Sudah 4 bulan ini dia
berhenti, pulang kampung! Mau tobat katanya,” jawab Mami sambil
cekikikan geli.
“ Akh, yang bener?! Sephia? Tobat?!”
Mami hanya menjawab dengan anggukan kepala dan tersenyum genit. Sementara kekecewaan mulai tergambar di wajah joni.
“Tenang saja, Bang Joni. Kita kebetulan
punya Primadona baru, kok! Sudah 2 bulan ini menggantikan Sephia,” ucap
Mami lagi, mencoba menghibur hati joni yang kecewa. Joni hanya melirik
ke arah Mami.
“Bang Joni pasti suka! Bentar yah..”
Lalu Mami ngeloyor masuk ke dalam salah
satu kamar yang ada. Dan tidak lama kemudian keluar dari kamar itu,
sambil menggandeng seorang perempuan dengan dandanan serba minim.
“Ini orangnya, Bang Joni,” ucap Mami sambil menarik tubuh perempuan itu untuk mendekati joni.
Lama Joni mengamati sosok perempuan yang
di sodorkan Mami ke hadapannya. Dia perhatikan dari ujung kaki sampai
kepala. Cantik! Dan berubahlah segera rasa kecewa itu, berganti dengan
perasaan senang dan penuh hasrat.
“ Saya Joni..,” ucap Joni memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan.
Wanita itupun tersenyum sedikit malu-malu, “Saya Imah, Bang..”
Tidak lama kemudian, Jonipun merangkul
tubuh perempuan yang bernama Imah itu menuju kamar. Sambil melepaskan
acungan jempol ke arah Mami. Dan Mamipun tersenyum senang karena
pelanggannya merasa puas.
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com