Ilustrasi |
Kalimat ”seumur hidup” acap dipakai
dalam sebuah percakapan, perbincangan, identitas, dan sebuah penerbitan. Kita
sering mendengar ungkapan “Pendidikan seumur hidup,” kemudian yang melakukan
kejahatan ekstra berat lalu dijatuhi hukuman “seumur hidup.”
Mereka yang berumur 60 tahun ke
atas atau sering disebut berkepala-enam mendapat kartu tanda penduduk (KTP)
dengan predikat KTP “seumur hidup.” Di samping itu ada pula sebutan profesi wartawan “seumur hidup.”
Arti dari kalimat ini pun tidak begitu sulit untuk ditebak karena sudah jelas
sekali bahwa wartawan sebagai sebuah profesi ada yang tergolong “seumur hidup.”
Maksudnya, ketika ia memulai menjadi wartawan, lalu terus menekuni profesi yang
menjadi pilihannya itu hingga hayat semasih dikandung badan alias sampai yang
bersangkutan menghembuskan nafas yang terakhir.
Apa semua wartawan itu “seumur
hidup ?” Belum tentu. Wartawan jenis lain masih ada, seperti wartawan abal-abal
alias bodong, wartawan bodrex alias angin-anginan, wartawan tanpa surat kabar
(WTS), wartawan muncul tanpa berita (Muntaber), dan lain-lain termasuk wartawan
gadungan yang kerjanya hanya memeras sumber berita.
Made Nariana, wartawan senior
yang juga menulis buku “Profesi Wartawan Seumur Hidup (2015)” beranggapan bahwa
wartawan itu memang profesi seumur hidup yang berkonotasi semasih tangan dapat
mengetik di komputer, pikiran masih normal, fisik masih fit, maka yang bersangkutan (wartawan) tidak boleh berhenti
menulis.
Ia menegaskan, “Saya selalu
menekankan kepada semua staf dan wartawan bahwa umur boleh semakin tua namun
tulisan dan karya jurnalistik kalian harus tetap atraktif, genit, enerjik, dan
jika perlu mencubit.” Tampaknya ia sendiri sudah membuktikan ---semacam
testimoni--- begitu pensiun dari tempat kerjanya di Harian Bali Post pada tahun 2011 (dimulai sejak 1970), dengan istirahat
setahun, lalu ia hengkang ke koran Bali
Tribune, dan hanya bertahan satu tahun di sana. Penyebabnya, karena visi dan misinya tidak sesuai dengan
koran yang dimasuki yaitu lantaran pemiliki koran terlalu mencapuri urusan
keredaksian. Setelah itu, melalui perbincangan yang boleh dibilang “kebetulan”
di sebuah bandara (Jakarta) dengan orang yang ternyata owner Radio Gema Merdeka
(Dr. I Gusti Ngurah Oka) lalu disepakatilah mendirikan koran Pos Bali terhitung sejak 17 Juni 2012.
Keringat
Dingin
Oke, kita lupakan cerita pendek
Bung Nariana tadi dan secara universal bisa kita kaji tentang ABC-nya wartawan
yang dahulu dijuluki sebagai kuli tinta. Menjadi wartawan, lebih-lebih yang
masih menyandang predikat pemula tentu tidak selancar dan sehebat seniorannya.
Katakanlah ketika mendekati sumber dengan maksud wawancara untuk menggali
sejumlah informasi. Wawancara bisa jadi lancar sesuai waktu yang dialokasikan,
tapi begitu mulai mengetik hasil wawancara tersebut, keringat dingin pun
mengalir di sekujur tubuh. Si wartawan muda merasa kesulitan menyusun berita
pendek (berita pendek/straight news)
yang dikoridorioleh formula 5W + 1H (Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan
Bagaimana) suatu peristiwa itu terjadi. Lebih-lebih teori kepenulisan dan aturan-aturan
bagaimana membuat berita yang baik belum ia dapatkan. Ditambah lagi belum paham
apa itu Kode Etik Jurnalistik/Wartawan. Tentu saja di benak wartawan muda
(biasanya sangat idealis) juga belum terlintas yang namanya pakem-pakem sebuah berita. Singkat kata,
semuanya gelap-gulita yang ia rasakan.
Asah otak dan asah pena pun terus
dilakukan oleh si wartawan muda (yunior),
sehingga sampailah ia kepada kemampuan yang dipersyaratkan. Yang sangat
membanggakan bagi setiap wartawan muda tentu saja ketika tulisan (berita) nya
berhasil dimuat. Entah di koran lokal, koran daerah, maupun koran berlevel
nasional. Senangnya bukan main, seakan belum berpikir soal honor yang bakal
diterimanya.
Anehnya lagi, berita yang dimuat
oleh surat kabar di mana ia bekerja, bukanya ditaruh di atas meja atau dimasukkan
ke dalam laci, melainkan terus saja dibolak-balik, dilihat, dibaca
berulang-ulang, senangnya bukan main bagaikan orang yang lagi mendapat undian
bernilai ratusan juta.
Semasih
Sehat
Predikat “wartawan muda” tidak boleh
disandang terus menerus, sejalan dengan bertambahnya usia maka profesi itupun
harus senantiasa meningkat dari wartawan muda, kemudian menjadi wartawan
senior, hingga batas waktu yang tidak terhingga secara linier.
”Seumur hidup” begitulah predikat
yang pantas disandang kalau yang bersangkutan masih sehat, kaki masih normal,
mata tidak kabur, tangan tidak gemetar setiap menyentuh huruf-huruf yang ada
pada keyboard sebuah komputer
dan/atau laptop, dan tentu saja otak masih waras. Setiap jurnalis (sebutan lain
dari wartawan) sangat diharapkan, bahkan
diharuskan untuk melumat semua isi dari undang-undang, peraturan, dan segala
ketentuan yang mesti dimilikinya.
Katakanlah misalnya,
Undang-Undang yang mengatur tentang kehidupan pers yakni UU No. 40 Tahun 1999,
UU No. 32 Tahun 2002 tentang “Penyiaran” (kalau ia bekerja di media radio
dan/atau televisi), Kode Etik Jurnalistik, dan lain-lain.
Dari hasil kajian sejumlah
ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut sangat diyakini bahwa si
wartawan akan mampu mewujudkan profil wartawan yang ideal, terbebas dari cemooh
masyarakat. Jangan sampai muncul pertanyaan dari masyarakat, “Oh ini toh wartawan kita yang membuat berita
tidak benar dan menyesatkan pembaca ?” Sebaliknya, pujian masyarakat akan
berbunyi “Inilah wartawan kita yang bonafid dan berkualitas.”
Wartawan yang dikatakan
berkualitas biasanya disandingkan dengan persyaratan seseorang untuk bisa
menjadi wartawan yang baik. Persyaratan tersebut, mengacu pada ketentuan Biro
Kursus Jurnalistik Terbuka (BKJT) “Koresponden,” Jakarta, 1988, yaitu ada tiga
hal pokok; mempunyai bakat (syarat utama), berpengetahuan luas, dan
berkepribadian yang menawan.
Tiga
Syarat Pokok
Pembawaan atau bakat yang
dikatakan sebagai syarat utama sangat masuk akal karena hal itu berkaitan
dengan minat. Artinya,
orang yang minatnya besar untuk menulis diasumsikan memiliki bakat yang besar
di bidang penulisan, begitu juga sebaliknya orang yang berbakat di bidang
tulis-menulis diprediksi akan akan memiliki minat pada bidang tersebut.
Tidak hanya di bidang
kewartawanan, di bidang lainpun seperti itu. Katakanlah di
profesi guru, kalau mereka tidak memiliki bakat jangan harap mereka itu dapat
bekerja dengan baik. Malah yang terjadi sebaliknya, mereka (guru) selalu
melihat hari libur di kalender/penanggalan, sering bolos, dan merasa tersiksa
menjadi guru.
Kedua,
masalah pengetahuan luas. Pengetahuan luas dapat meliputi pengetahuan di bidang
ilmu komunikasi atau ilmu jurnalistik (pengetahuan spesialis) dan dapat berupa
pengetahuan yang bersifat umum (generik). Jenis pengetahuan apapun tetap
diperlukan bagi seorang wartawan sejalan dengan pandangan Pulitzer, seorang
wartawan legendaris asal Hongaria, yang mengatakan bahwa “Wartawan harus
dididik, tanpa dididik atau mememiliki pengetahuan yang luas mustahil menjadi
wartawan yang baik.”
Ketiga, wartawan harus
memiliki kepribadian yang menawan. Kriteria ini memiliki varian yang lebih
banyak dibandingkan persyaratan pertama dan kedua. Pribadi menawan, seperti;
memiliki inisiatif untuk mengejar berita, jujur, adil, obyektif, punya kreativitas,
bertanggung jawab, menekuni profesi, selalu ingin tahu, teliti, memiliki hidung
berita yang baik, rendah hati, dan memiliki komitmen untuk mengabdi kepada
kepentingan umum. Apapun kriteria yang dijadikan patokan untuk menjadi wartawan
(mulai dari pemula/yunior hingga jelang dipanggil Yang Maha Kuasa) kalau tidak
diniati secara serius tentu bakalan kandas di tengah jalan. Mudah-mudahan rekan wartawan
yang ada kini berikhtiar menjadi wartawan seumur hidup. Kepalang basah mandi
sekalian.
*)Penulis,
pemerhati pendidikan dan pengamat perilaku
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com