Buleleng, Dewata News.com - Ditengah pro-kontra di masyarakat, tidak dapat dipungkiri praktek Tajen/Sabung ayam masih dapat dengan mudah kita temui di daerah-aderah di Bali khususnya pedesaan. Entah itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi di tempat yang sulit dijangkau, hingga ada pula yang secara terang-terangan dilakukan dipinggir jalan raya yang sangat mudah diakses.
Beberapa tahun yang lalu sebenarnya sudah dilakukan tindakan yang tegas dari pihak kepolisian terbukti dengan sudah banyak orang yang ditangkap karena praktek ini. Sosialisasi mengenai Pasal 303 KUHP yang akan dikenakan kepada pelaku tajen juga sudah disebarluaskan ke masyarakan. Akan tetapi belakangan ini Tajen justru kembali marak dilakukan. Maka akan timbul pertanyaan, “Apakah Kepolisisan sudah tidak tegas lagi ? atau apakah kepolisisian sudah tak bernyali lagi untuk memberantas Tajen ? Entah lah”...
Bila kita cermati sejarahnya, adu ayam tercatat dipraktikan masyarakat Bali sejak abad ke-10. Prasasti Sukawana memuat keterangan ritual keagamaan (yadnya) yang mendasari tajen. Selanjutnya, dalam Prasasti Batur Abang (1011) terjabar keterangan terkait tajen. Menurut Andrik Hendrianto dalam “Perjudian Sabung Ayam di Bali”, tesis pada Universitas Indonesia, adu ayam tak memerlukan izin dari pihak berwenang seperti raja. Namun ritual ini tak boleh dilakukan serampangan.
Meski di pedesaan adu ayam ditujukan
sebagai ritual keagamaan, raja-raja di Bali memiliki hak istimewa menggelar adu
ayam tanpa tujuan sakral. “Di pusat-pusat istana, hal itu merupakan hak
istimewa raja sebagaimana acara-acara adu hewan lainnya,” tulis Anthony Reid
dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga. Mereka menghelat adu ayam untuk
kesenangan pribadi –seringkali dengan bertaruh sesuatu– dan simbol kebesaran
raja. Tak heran, ayam menjadi hewan kegemaran raja-raja di Bali. Keadaan
seperti ini berlangsung pula di luar Bali, terutama di Jawa. Sejak saat itu
Tajen terus berkembang di masyarakat Bali. Beratu-ratus tahun kemudian sebagian
masyarakat Bali mengklaim bahwa tajen sudah menjadi tradisi turun –temurun.
Dengan melihat sejarah panjang tersebut, tidak mengherankan tajen sangat sulit diberantas dari tanah ini. Sebenarnya terlepas dari praktik judi jika mau fair Tajen sebenarnya banyak juga memberi keuntungan bagi masyarakat bali. Perekonomian dikalangan masyarakat kecil seperti pedagang, juru parkir, saye dan pengusaha Taji sangat terbantu dengan adanya Tajen. Bahkan tidak jarang keuntungan dari Tajen itu sendiri dipakai untuk merenovasi pelinggih-pelinggih Pura yang justru luput dari bantuan pemerintah.
Dari sini pemerintah seharusnya lebih
arif dalam mengeluarkan kebijakan. Keberadaan Tajen seharusnya dianggap sebagai
peluang untuk lebih menggerakan perekonomian di likungan masyarakat kecil,
bukan justru sebagai sesuatu yang “haram” sehingga layak untuk diberantas. Toh juga
kalau mau memberantas pemerintah terbukti gagal total. Hari ini ditangkap,
besok ada lagi dan tak habis-habis.
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com