Bergawan Satriya Koesuma ketika "mereh" didampingi Penyair "gila" BranjanganSh |
Beberapa penyair sukses lainnya dari Denpasar, bahkan dari Jakarta ikut
menyemarakkan gema 69 Puisi di Rumah Dedari Dewa Putu Sahadewa yang berprofesi
dokter dan lama bertugas di Kupang, NTT ini. ”Pelataran monument Yuda Mandala
Tama sengaja dipilih sebagai “arena pergulatan” kegelisahan para penyair hampir
se-Bali ini untuk mengingatkan sukses Dermaga Seni Buleleng (DSB) atas
kepeiawaian Ketut Wirata Sindhu ketika menjadi Bupati Buleleng di tahun 1996
lalu membaca puisi dengan membuka bajunya,” kata Made Tirthayasa mengenang
mantan bupati “kumis jempe” itu.
Wayan Jengki Sunarta |
Penjaga gawang DSB, Made Tirthayasa |
Sementara Made Tirthayasa dari Dermaga Seni Buleleng (DSB) malam itu
sengaja tidak membawakan diantara 69 Puisi di Rumah Dedari karena pada siang
harinya di ruang teater Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha sudah
membacakan “Sajak Kota Cinta”, sehingga malam itu melalui puisi “Kekerasan
Terhidang di Atas Meja” mengetuk nurani para pelaku bentrok antar ormas yang
mengakibatkan empat orang merenggang nyawa di Denpasar.
Selain penyair, pengamat maupun pecinta sastra yang dengan tekun duduk
lesehan di atas karpet, depan pelataran Monumen Yuda Mandala Tama, juga
masyarakat yang malam itu mengunjungi pelataran eks.Pelabuhan Buleleng. Tampilnya
penyair “gila” dari Jakarta, Branjangan yang secara khusus hadir dan tampil di
pelataran Monumen Yuda Mandala Tama malam itu seperti membangunkan “singa”
tidur Singaraja yang layak menyandang Kota Sastra ini.
Penikmat seni sastra duduk lesehan. |
Puisi
Tak Sekedar Esensial Kata
Apresiasi puisi malam itu, menurut Koordinator acara Dr. Gede Artawan, sebagai
rangkaian Diskusi Sastra dan Bedah Buku ”69 Puisi di Rumah Dedari” karya
dr.Dewa Putu Sahadewa yang dilaksanakan siang hari di Ruang Teater Fakultas
Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha Singaraja.
Doktor sastra Undiksha, Gede Artawan ketika ”menelanjangi 69 Puisi di Rumah Dedari (PRD)” siang itu mengawali dengan kalimat “Puisi ternyata tidak sekadar ekspresi esensial kata yang dibangun dengan struktur fisik dan bathin, tapiu merupakan wacana naratif yang bisa m,enjadi refrensi bagi pembacaan kembali hasil perenungan yang mendalam dari penyair.”
”Penyair Dewa Putu Sahadewa melalui antologi 69 PRD mempresentasikan
hasil pergulatan, perenungan, pembacaan terhadap banyak hal di beberapa zona
kehidupan sosial, relegi, lingkungan dan lain-lain dalam format persepsi yang
personal,” ungkap Dr. Gede Artawan sembari menambahkan 69 PRD itu jangan
dikonotasikan lain.
Tampil juga sebagai pembicara pada acacara Diskusi dan Bedah Buku “69
PRD)” di kampus Undiksha itu, Dr. Wayan Artika yang mampu memberikan pencerahan
tentang sastra. ”Sanag naïf dan miris jika ada dosen sastra tidak mampu
memahami dan menyentuh nuraninya tentang sastra, khususnya puisi,” kata doktor kelahiran
Batuengsel, Tabanan yang siang itu mendapat aplus dari peserta eksklusif dari
mahasiswa jurusan Basindo (Bahasa Indonesia) dan dosen serta tak ketinggalan
penyair dari ujung barat pulau Dewata, DS.Putra beserta istri.
Kegiatan diskusi sastra dan bedah buku antologi ”69 PRD” di Ruang Teater
FBS Undiksha dengan moderator Made Astika siang harinya maupun apresiasi sastra
di Monumen Yuda Mandala Tama eks Pelabuhan Buleleng pada malam harinya, menurut
sang penyair ”dokter ahli kandungan” Dewa Putu Sahadewa merupakan kebahagiaan
tersendiri yang telah diapresiasi para penyandang kegelisahan saat ini atas
berbagai kebijakan yang sudah meninggalkan kebudayaan.
Budayawan Ketut Syahruwardi Abbas. ”Ada apa dengan kita, Bali. |
Seperti diungkapkan budayawan Ketut Syahruwardi Abbas. ”Ada apa dengan
kita, Bali. Ngajak nyame saling bunuh.
Sementara kebijakan untuk membangun bandara di Buleleng jelas bertolakbelakang
dengan potensi Bali, dan Buleleng khususnya dalam bidang kemaritiman.
Semestinya pemerintah meningkatkan fungsi Pelabuhan Celukan Bawang menjadi
pelabuhan kontiner atau pelabuhan bongkar muat barang dan manusia,” ungkapnya
dengan nada sedih.
Ketut Syahruwardi Abbas asli Pegayaman, Buleleng ini dengan nada tanya
menyimak ”apa yang dapat dinikmati masyarakat dengan bandara. Tapi dengan
meningkatkan fungsi Pelabuhan Celukan Bawang merupakan sumber kehidupan bagi
masyarakat. (DN ~ TiR).—
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com