Foto (c) by : ist |
Buleleng, Dewata News.com - Menilai orang lain, diliat dari segi pandang norma & adat, barangkali kurang baik. Salah-salah dapat dibilang usil,
“jangan sok menilai orang lain, urus saja dirimu sendiri”.
Namun, kita pula menyadari bawa, masing-masing individu—dan group dengan cara kolektif—memiliki karakter tidak sama. Utk mampu mendidik pertalian yg baik, butuh saling mendalami dan agar dapat mendalami butuh tahu karakter orang lain.
Begitu pun dgn di Bali sendiri. Ada karakter Orang
Karangasem, Orang Denpasar, Orang Badung, Orang Buleleng, Orang Tabanan,
Orang Jembrana, Orang Gianyar, Orang Kelungkung & Orang Bangli.
Kalau kamu Non-Bali yg baru pindah ke Bali & mau membangun interaksi baik dgn penduduk setempat, sehingga kamu wajib mendalami karakter Orang Bali. Lebih-lebih bila ‘sukses-atau-gagalnya’ profesi yg kamu laksanakan tidak sedikit bergantung kepada seberapa dapat kamu mendidik pertalian baik dgn Orang Bali.
Kalau kamu semeton Bali dari Karangasem & mau berbisnis bersama semeton dari Badung, contohnya, sehingga sedikit-banyaknya kamu serta butuh mendalami karakter Orang Badung supaya interaksi bisnisnya berlangsung tidak tersendat.
Apabila kamu semeton Bali dari Buleleng & dapat diambil istri oleh semeton dari Denpasar, sehingga kamu serta wajib mendalami karakter Orang Denpasar supaya dapatdi terima juga sebagai menantu yg baik.
Pemahaman karakter dgn kiat seperti ini benar-benar berpotensi jadi penyamarataan (stereotyping), istilah Balinya “caruk banyu” atau “aut kelor,” yg akbar kemungkinannya tak akurat. Tapi, toh, stereotype telah ada sejak dulu, “a stereotype exists for reasons” kata teman-teman pramuwisata yg kebanyakan jago berbahasa Inggris.
Karakter Menonjol Orang Buleleng
Beberapa karakter paling menonjol dari Orang Buleleng,
setidaknya dalam pandangan penulis pribadi, antara lain: egaliter,
skeptik, open-minded dan hangat.
Egaliter dalam artian, semua orang dipandang dan
diperlakukan sama/setara. Tidak ada istilah kelas.
Dalam percakapan
sehari-hari misalnya, mereka lebih banyak menggunakan Bahasa Bali lumrah
cenderung kasar (kadang bercampur Bahasa Indonesia) dibandingkan tata
bahasa Bali halus—terlepas dari siapapun lawan bicaranya. Cai, awake, nani, kola, siga,
dst, adalah sebutan “kamu” dan “aku” yang lumrah digunakan sehari-hari.
Bagi mereka ini tidak kasar, tapi “akrab” katanya. Ada juga sebutan
“ana” (=saya) dan “ente” (=anda) yang hanya digunakan oleh orang
Buleleng.
Jika anda ingin tahu dimana istilah ningrat dan non-ningrat paling banyak ditentang di Bali, jawabannya: di Buleleng.
Ketika bertemu orang ningrat yang selalu berbahasa Bali halus—entah
karena memang ingin menunjukkan keningratannya atau karena kebiasaan
semata—akan diledek dengan “Tyang sampun ngajeng, I ratu sampun ngeleklek?” tentu saja sambil tertawa sinis.
Masih terkait dengan karakter egaliternya. Dalam menilai sesuatu yang sifatnya tidak terlalu prinsipiil, orang Buleleng lebih banyak menggunakan ‘common-sense’
dibandingkan pakem-pakem tertentu. Bagi mereka, sesuatu yang
“masuk-akal” jauh lebih penting dibandingkan aspek lain—adat dan tradisi
misalnya. Mereka tidak suka hal-hal ribet.
Entah karena tidak ada yang terlalu kaya atau karena sifat egaliternya,
yang jelas batasan dikotomi “orang kaya” vs “orang miskin” juga relatif
tipis di Buleleng. Upacara Ngaben misalnya, ya ngaben saja—tidak ada
istilah “Pelebon Agung” atau “The Royal Ngaben.”
Bukan hanya terbuka dalam menyampaikan sesuatu.
Orang Buleleng juga sangat terbuka terhadap nilai-nilai, konsep-konsep
dan ide-ide baru—baik yang datangnya dari dalam maupun dari luar. Bisa
dibilang tidak ada yang “tenget” (=tabu) bagi mereka, asal
masuk-akal. Bapak-bapak bertattoo atau berambut pirang atau mengenakan
kalung rantai ala Harley Davidson’s riders, misalnya, bukan berarti
mereka mantan preman atau anggota ormas tertentu. Itu hal biasa saja,
bukan sesuatu yang luar biasa.
Mungkin karakter egaliter menonjol inilah yang membuat Orang Buleleng cenderung skeptik—istilahnya “meboya”—terhadap
banyak hal terkait atribut. Mereka meboya terhadap hal-hal yang berbau
feodal. Mereka meboya terhadap hal-hal yang ditabukan. Mereka meboya
terhadap orang yang memposisikan dirinya lebih—entah entah itu dalam hal
soroh/klan, strata ekonomi, strata pendidikan dan atribut-atribut
sejenisnya. Terhadap perilaku yang dinilai sengaja memamerkan kelebihan
atribut, Orang Buleleng katakan “Ake sing taen ngon!” (=aku tidak pernah silau.)
Dalam pergaulan Orang Buleleng tergolong hangat dan ‘easy going’.
Suka berkelakar, ceplas-ceplos dan tidak mudah tersinggung untuk
hal-hal yang sifatnya tidak prinsipiil. Jika anda sedang bepergian
sendiri dan butuh teman ngobrol, menemukan orang Buleleng mungkin suatu
keberuntungan.
Kombinasi karakter menonjol inilah yang membuat orang Buleleng
relative mudah bergaul dengan orang/kalangan manapun, termasuk dari
etnis-ras-bangsa-dan-agama manapun.
Ingin gaul dengan Orang Bali tanpa mengkhawatirkan batasan-batasan dan aturan ini-itu selain common-sense? Coba gaul dengan Orang Buleleng.
“Orang Buleleng playboy/playgirl?” mungkin ada yang berpikir begitu.
Ya, saya pernah dengar stigma “playboy/playgirl” disematkan pada Orang Buleleng.
Jika “playboy/playgirl” dalam hal ini maksudnya suka mempermainkan perasaan wanita/pria,
saya pikir, relative. Maksud saya, seperti tindak kriminalitas terjadi
bukan karena niat pelaku saja, tetapi juga tersedianya kesempatan. Dalam
artian, bisa terjadi pada siapa saja (tidak pada orang Buleleng
semata), hanya soal niat dan kesempatan saja.
Tetapi, jika “playboy/playgirl” yang dimaksud adalah mudah “move-on” (baca: berganti pacar) bisa jadi, IYA,
jika merujuk karakter dasar Orang Buleleng yang lebih mengutamakan
aspek “make-sense” ketimbang hal-hal lainnya. Ketika timbul
ketidakcocokan di tengah jalan misalnya, bisa jadi Orang Buleleng lebih
memilih untuk mengakhiri ketimbang mempertahankan hubungan yang pada
akhirnya hanya akan saling menyakiti saja.
Tapi bukan berarti tidak ada down-side. DALAM KADAR
BERLEBIH (sekali lagi dalam kadar berlebih), kombinasi karakter menonjol
Orang Buleleng ini bisa jadi “menerabas batas” (crossing the lines) yang tentu saja tidak menarik bagi orang luar dan tidak sehat bagi Orang Buleleng sendiri. Misalnya:
Kesetaraan/ekualitas dalam pergaulan sosial, baik.
Tetapi “meboya” terhadap kebiasaan berbahasa halus, samasekali tidak
perlu. Kesetaraan tidak harus dicapai dengan cara menyamaratakan
kebiasaan berbahasa kasar. Kesetaraan juga bisa dicapai dengan cara
menyamaratakan kebiasaan berbahasa halus bagi semua kalangan. “Maaf, saya Orang Buleleng, tiada terbiasa berbahasa halus,” fine.
Pertanyaannya:
Jika kebiasaan berbahasa kasar sendiri minta dimaklumi oleh orang lain,
mengapa kebiasaan orang lain berbahasa halus tidak bisa dimaklumi
bahkan wajib dicibir?
Mengubah pakem kesenian Bondres lama menjadi Bondres kreatif, ala Dwi Mekar, bagus. Tetapi mengubah pakem “Tari Pergaulan Joged” menjadi “Pertunjukan Joged Buang/Porno” tanpa memandang usia penonton, samasekali tidak bagus.
Nonton Bola bareng, di Bale Bengong atau Bale Banjar, tak ada salahnya. Tetapi nonton film biru bareng sama tetangga, kakek-nenek dan anak-anak, salah. Sangat salah.
Terbuka terhadap hal-hal baru yang bermanfaat,
seperti bekerja di kapal pesiar yang menulari generasi muda Buleleng
beberapa tahun belakangan, sehat. Sayangnya ada juga pemuda Buleleng
yang terbuka terhadap gaya hidup tak sehat seperti nongkrong di café
remang-remang atau mengkonsumsi obat terlarang. Pertumbuhan café
remang-remang dan pengguna narkotika di Buleleng, belakangan, sudah
merambah sampai ke desa dan banjar-banjar terpencil. “Sudah sangat
mengkhawatirkan,” kata kakak saya.
Skeptik terhadap hal-hal yang berpotensi merugikan (seperti tindak penipuan), perlu.
Tetapi skeptik terhadap hal-hal positive (seperti
kesuksesan/kecerdasan/kesantunan orang lain) yang bisa dijadikan
inspirasi untuk memajukan diri sendiri, menurut saya, kontra-produktif.
Kelakar dan basa-basi sangat berguna untuk memecah kebekuan
komunikasi atau obrolan ringan yang berkembang menjadi terlalu serius.
Akan tetapi situasi seperti ini okasional sifatnya, jarang terjadi.
Terutama di lingkungan kerja/bisnis, kelakar dan basa-basi lebih sering
tidak sesuai ketimbang sesuai.
(pelbagai sumber)
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com