Glan Iswara
KALAU orang Bali melihat sesuatu tidak beres,
ungkapan yang kerap dilontarkan: “Badaah, lengeh celenge!” (Wah,
babinya mabuk semaput). Menemukan babi mabuk semaput tidak sulit di
jalan-jalan kota Denpasar yang macet, penuh sesak dan saling serobot.
Bayangkan, di tengah panas terik menyengat, Denpasar dinominasikan
menjadi salah satu kota termacet di Indonesia.
Pesatnya laju ekonomi dan pariwisata merangsang aktivitas bisnis dan
menarik banyak pendatang. Sebagai “pintu gerbang” Bali, kota mungil ini
juga menjadi “hub” bagi kota-kota lain di Bali, Jawa, dan Lombok.
Populasi penduduk dan kendaraan terus bertambah. Secara kasar penduduk
di wilayah “mini-politan” ini mungkin sudah di atas 3 juta. Sekitar 2,2
juta sepeda motor dan 350.000 mobil menggunakan ruas jalan-jalan di
Bali setiap hari. Dari jumlah total itu, 71%, sepeda motor, 19% mobil,
7% truk, dan hanya 0.8% public transport.
Kenaikan jumlah kendaraan setiap tahun 12.42%, sedang perluasan
jalan hanya 2.28%. Setiap keluarga berlomba mengoleksi lebih dari satu
mobil pribadi, meski harus parkir off street di pinggir jalan yang
memang sudah sempit. Kendaraan dinas instansi pemerintah dan rental cars
menambah beban kota Denpasar. Belum lagi kalau hujan lebat dan banjir.
“Badaah, lengeh celenge!”
Penyebab pertama dari kemacetan tentu saja jumlah penduduk yang terus
bertambah. Ibukota New Zealand, “the super city” Wellington yang meluas
sampai Upper Hutt dan Porirua, luasnya 7.860 km2 dengan jumlah penduduk
hanya 491.500 orang. Bandingkan Denpasar yang luasnya hanya 5632.86
km2, penduduknya 3 juta lebih! Kepadatan penduduk di Denpasar 559 orang
per km2, di Wellington hanya 62 orang per km2. Bisa dibayangkan sesaknya
hidup di Denpasar.
Harga bensin yang relatif murah (disubsidi) tak terasa merangsang
orang punya kendaraan melebihi kebutuhan, lalu bernafsu hilir mudik
sekadar “cari angin”. Lantas, perilaku di jalan raya, saling serobot,
nyelonong seenaknya, tidak mau mengalah, tidak menaati (atau tidak
mengerti?) aturan lalu lintas. SIM gampang dibeli.
Di New Zealand, untuk memiliki SIM (driver licence) orang harus lulus
ujian tertulis. Untuk lulus harus betul-betul mempelajari buku NZ
traffi c. Kalau tidak lulus, uang melayang. Kalau lulus ujian tertulis,
diberikan SIM “L” atau pemula (Learner), yang kalau menyetir harus
didampingi driver yang sudah punya full licence. Setelah itu tahapan
ujian praktik. Kalau tidak lulus, uang melayang lagi. Kalau lulus
diberikan restricted licence, tidak boleh menyetir di atas jam 10 malam.
Akhirnya, ujian praktik untuk mencari full licence yang setiap 10
tahun harus diperbarui. Jadi, sebelum pengendara berkeliaran di jalan,
ia betul-betul sudah menguasai arti rambu lalu lintas. Misalnya, arti
garis putih tebal “Give Away”, garis kuning tebal “STOP”, garis putih
putus-putus, portal poleng di jembatan, termasuk cara berbelok di
bunderan, serta aturan marka jalan: kendaraan harus memilih satu lajur,
bukan mengangkangi kedua lajur jalan.
Semua ujian SIM dilakukan Transport Authority, bukan oleh polisi.
Tugas polisi adalah mengawasi dan mengeksekusi pelanggar lalu lintas.
Selain itu, Pemda Kodya (Council) setempat memiliki petugas pengawas
parkir yang menilang kendaraan yang tidak parkir di tempat yang sudah
ditentukan, apalagi sampai parkir seumur hidup di pinggir jalan raya.
“Badaah, lengeh celenge !”
Rancangan traffi c management, lay out jalan, dan minimnya public
transport bus kota juga penyebab-penyebab lain. Program Sarbagita
(Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan) yang dimulai 17 Agustus 2011,
termasuk terobosan apik. Cuma perlu dirancang lebih cermat, jangkauan
lebih luas, dan kesediaan masyarakat menggunakan bus umum.
Di Christchurch, New Zealand, ada 3 jenis bus umum, yang regular,
yang remote, dan yang antarkota. Halte bus dan terminal bus (bus
exchange) diatur mirip di airport, dengan departure dan arrival time di
monitor, dan semua orang happy naik bus kota yang nyaman.
Penyebaran keramaian yang belum merata ke wilayah utara mungkin perlu
pemikiran jangka panjang. Bagaimana kalau wilayah Sarbagita digabung
menjadi sebuah super city atau “metropolitan, satu kota luas diatur
satu Pemda” lengkap dengan kereta api antar-kota satelit? Pasti lebih efi
sien, tapi ada saja yang bakal kehilangan jabatan. Relakah?
* Glan Iswara, mantan dosen, kini tinggal di News Zealand
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com