Kepergian seniman multi talenta
I Gede Dharna menghadap Sang Kuasa bukan hanya sekedar meninggalkan nama,
tetapi juga meningggalkan berbagai buah karya serta segudang kenangan di mata
kerabat dan sesama seniman lainnya.
Berpulangnya almarhum Gede Dharna juga
mengundang duka mendalam bagi penggiat seni Dermaga Seni Buleleng (DSB).
Kenapa? Karena bersama-sama Almarhum Gede Dharna, Dr. Gede Artawan, M.Pd dan
Made Tirthayasa membentuk dan menggaungkan DSB, sejak tigabelas tahun lalu.
Bahkan, bagi seniman muda Buleleng hampir
tak percaya akan berpulangnya sang maestro seni Gede Dharna menghadap Sang
Pencipta untuk selamanya. Karena pada hari hari terakhir menjelang ajal
menjeputnya pada hari Minggu (13/09), sosok Gede Dharna masih tetap
beraktifitas di dunia seni, termasuk mengisi acara di Buleleng Festival 2015.
Begitu merebaknya informasi atas kepergiannya, kontan mengundang suasana duka
di kalangan seniman bukan saja di Bali Utara tetapi para seniman besar yang
berada di luar Pulau Dewata.
Bagi sastrawan muda Dr. Gede Artawan yang
selalu setia menemani Gede Darna pada setiap hajatan bernuansa sastra
mengungkapkan, Gede Darna adalah sosok seniman yang totaliter. Bukan hanya
aktif sebagai pencipta lagu, tetapi juga aktif sebagai penekun dunia sastra
bali anyar, menulis puisi, cerpen hingga novel.
Semasa hidupnya sekitar 50 tahun lalu Gede
Darna bersama dramawan kondang Putu Wijaya juga pernah menjadikan RRI sebagai
rumah kedua dalam hidup berkesenian.
Dan 45 tahun bersama-sama Made Tirthayasa
membentengi seni sastra modern melalui Sanggar Embun Pagi.
RRI yang memberikan ruang dan waktu bagi
Sanggar Embun Pagi yang diasuh oleh Cantiryas Boy juga mengembangkan seni drama
radio, setiap hari Selasa malam yang juga hampir melibatkan karyawan-karyawati
yang saat ini hampir sebagian besar sudah meninggal dunia.
Sanggar Embun Pagi dengan Gede Dharna, tdak
saja terbatas pada puisi modern, tapi puisi daerah Bali, termasuk ruang
”mesatua bali”. Menurut Dharna, perlunya
ruang gerak seperti diberdayakan Sanggar Embun Pagi waktu itu, bisa kontinyu
pada saat ini.
Sementara di mata dramawan muda Buleleng,
Putu Satria Kusuma, Gede Dharna adalah seniman sastra yang memiliki dedikasi
besar dalam mempertahankan seni sastra Bali modern, sehingga mendapat
penghargaan nasional Rancage di Bandung.
”Bukan hanya itu, dalam kesehariannya Gede
Darna sangat enak untuk diajak berdiskusi tentang dunia seni sastra,” imbuh
Satria Kusuma.
Seniman musik dengan memainkan biola, Gede Dharna juga piawai
Berpulangnya almarhum Gede Darna juga
mengundang duka mendalam bagi penggiat seni Sanggar Mahima Buleleng Kadek Sonya
Piscayanti. Sonya mengisahkan, seorang Gede Dharna adalah sosok yang sangat
konsen dalam membina seniman muda di Buleleng, sehingga dirinya merasa sangat
kehilangan.
Lain Kadek Sonya, lain pula seniman film
Gede Putu Wira Negara asal Kelurahan Liligundi yang kini menetap di
Jakarta. Menurut Wiranegara, Gede Dharna seorang seniman yang sangat produktif.
Lagu ”Merah Putih” yang diciptakannya pernah melengkapi karya Wiranegara saat
memproduksi film dokumenter berjudul ”Bali Menantang Masa Depan” yang diikut
sertakan dalam Festival Film Indonesia.
Karya karyamu tentu akan menjadi pemicu
sekaligus pemacu bagi seniman muda di Bali Utara kedepan. Sebab, sebulan
sebelum kematian Almarhum masih menyumbangkan buku novelet ”Sejarah Lahirnya
Kota Singaraja” dan berteoatan dengan temu Veteran dengan Pemerintah Kabupaten
Buleleng diserahkan kepada Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana.
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com