Seniman Gede Dharna Dalam Kenangan Oleh : I Made Tirthayasa - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

9/17/15

Seniman Gede Dharna Dalam Kenangan Oleh : I Made Tirthayasa


                  Latihan pentas puisi di Bale Kembar Banjar Baleagung untuk Bulfest III~2015

     Kepergian seniman multi talenta I Gede Dharna menghadap Sang Kuasa bukan hanya sekedar meninggalkan nama, tetapi juga meningggalkan berbagai buah karya serta segudang kenangan di mata kerabat dan sesama seniman lainnya. 

     Berpulangnya almarhum Gede Dharna juga mengundang duka mendalam bagi penggiat seni Dermaga Seni Buleleng (DSB). Kenapa? Karena bersama-sama Almarhum Gede Dharna, Dr. Gede Artawan, M.Pd dan Made Tirthayasa membentuk dan menggaungkan DSB, sejak tigabelas tahun lalu.

    Bahkan, bagi seniman muda Buleleng hampir tak percaya akan berpulangnya sang maestro seni Gede Dharna menghadap Sang Pencipta untuk selamanya. Karena pada hari hari terakhir menjelang ajal menjeputnya pada hari Minggu (13/09), sosok Gede Dharna masih tetap  beraktifitas di dunia seni, termasuk mengisi acara di Buleleng Festival 2015. Begitu merebaknya informasi atas kepergiannya, kontan mengundang suasana duka di kalangan seniman bukan saja di Bali Utara tetapi para seniman besar yang berada di luar Pulau Dewata.

     Bagi sastrawan muda Dr. Gede Artawan yang selalu setia menemani Gede Darna pada setiap hajatan bernuansa sastra mengungkapkan, Gede Darna adalah sosok seniman yang totaliter. Bukan hanya aktif sebagai pencipta lagu, tetapi juga aktif sebagai penekun dunia sastra bali anyar, menulis puisi, cerpen hingga novel.

     ”Hilangnya seorang Gede Dharna bagaikan hilangnya sebuah peradaban bagi dunia sastra di Bali Utara”, ungkap Gede Artawan.

    Semasa hidupnya sekitar 50 tahun lalu Gede Darna bersama dramawan kondang Putu Wijaya juga pernah menjadikan RRI sebagai rumah kedua dalam hidup berkesenian.

    Dan 45 tahun bersama-sama Made Tirthayasa membentengi seni sastra modern melalui Sanggar Embun Pagi. 

     RRI yang memberikan ruang dan waktu bagi Sanggar Embun Pagi yang diasuh oleh Cantiryas Boy juga mengembangkan seni drama radio, setiap hari Selasa malam yang juga hampir melibatkan karyawan-karyawati yang saat ini hampir sebagian besar sudah meninggal dunia. 

   Sanggar Embun Pagi dengan Gede Dharna, tdak saja terbatas pada puisi modern, tapi puisi daerah Bali, termasuk ruang ”mesatua bali”.  Menurut Dharna, perlunya ruang gerak seperti diberdayakan Sanggar Embun Pagi waktu itu, bisa kontinyu pada saat ini.

     Sementara di mata dramawan muda Buleleng, Putu Satria Kusuma, Gede Dharna adalah seniman sastra yang memiliki dedikasi besar dalam mempertahankan seni sastra Bali modern, sehingga mendapat penghargaan nasional Rancage di Bandung.

    ”Bukan hanya itu, dalam kesehariannya Gede Darna sangat enak untuk diajak berdiskusi tentang dunia seni sastra,” imbuh Satria Kusuma.
                         Seniman musik dengan memainkan biola, Gede Dharna juga piawai
    Berpulangnya almarhum Gede Darna juga mengundang duka mendalam bagi penggiat seni Sanggar Mahima Buleleng Kadek Sonya Piscayanti. Sonya mengisahkan, seorang Gede Dharna adalah sosok yang sangat konsen dalam membina seniman muda di Buleleng, sehingga dirinya merasa sangat kehilangan.

    Lain Kadek Sonya, lain pula seniman film Gede Putu Wira Negara asal Kelurahan Liligundi  yang kini menetap di Jakarta. Menurut Wiranegara, Gede Dharna seorang seniman yang sangat produktif. Lagu ”Merah Putih” yang diciptakannya pernah melengkapi karya Wiranegara saat memproduksi film dokumenter berjudul ”Bali Menantang Masa Depan” yang diikut sertakan dalam Festival Film Indonesia.

     Jenazah Gede Dharna nampak tertidur pulas dengan senyum tipis di bibir, pada hari Selasa, tanggal 22 September 2015 (Anggara Matal) diperabukan melalui upacara Ngaben di Pekuburan Adat Bakung, Sukasada yang akan diawali dengan upacara militer melalui tembakan salvo. Karena Almarhum Gede Dharna hingga akhir hayat masih menduduki jabatan Sekretaris Markas Cabang LVRI Buleleng. Sementara nyiraman layon diagendakan pada hari Minggu, tanggal 20 September dirangkaikan dengan upakara ”meseh lawang).

     Karya karyamu tentu akan menjadi pemicu sekaligus pemacu bagi seniman muda di Bali Utara kedepan. Sebab, sebulan sebelum kematian Almarhum masih menyumbangkan buku novelet ”Sejarah Lahirnya Kota Singaraja” dan berteoatan dengan temu Veteran dengan Pemerintah Kabupaten Buleleng diserahkan kepada Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana.

   Selamat jalan sahabat’ku, bapak’ku.... Namamu akan selalu terukir bagi penerusmu...

No comments:

Post a Comment

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com