Fhoto (c) Tribunebali |
Klungkung, Dewata News.com — Seorang pemuda tiba-tiba berlari kencang dari arah jaba pura saat seorang pemangku memanjatkan mantra pujawali. Langkahnya cepat dan tegas.
Sebelum memasuki area pura, ia mematahkan salah satu tedung yang
dipasang dengan satu tangan. Pemuda tersebut langsung berlari masuk ke pelinggih yang
berbentuk mobil, padahal di depannya terdapat tulisan “ten dados
ngeranjing”(tidak boleh masuk).
Sejurus kemudian, sejumlah pecalang datang untuk
berjaga-jaga di sekitar pelinggih tersebut.
Sebelumnya, seluruh pelinggih Pura
Paluang dihias sedemikian rupa. Dibalut kain berwarna emas, putih, kuning dan poleng.
Sejumlah lelontek dan tedung pun
dipasang di beberapa titik.
Tampak sejumlah warga menghaturkan sesaji atau canang sari di
pelinggih-pelinggih pura. Sembari mengepalkan tangan dan berteriak “ireng” (hitam),
sang pemuda tadi, berkali-kali berteriak tapi tak satu pun pecalang yang
menghampirinya. Tak lama pemuda itu jatuh dan lemas.
Kurang dari 5 menit teriakan menyeruak
di sisi pura lainnya, seorang perempuan yang mengguyang (geletak)
sembari berteriak meminta agar seluruh pemedek duduk dengan
rapi.
Perintah tersebut dituruti oleh seluruh pemedek yang
hadir saat upacara piodalan di Pura Paluang, Desa Bunga
Mekar, Dusun/Banjar Karang Dawa, Nusa Penida, Klungkung, Bali, di ujung barat
Pulau Nusa Penida ini, Sabtu (29/08).
Kerahuan pun
dilanjutkan oleh beberapa warga. Ada yang menari dengan cepat, ada yang
loncat-loncat, ada yang meminta arak. Ada juga yang meminta ayam hitam.
Warga
yang melihat adegan tersebut seolah tidak berani bergerak dari tempat duduknya.
Warga hanya memperhatikan laku orang kesurupan tersebut.
Bahkan
ada sejumlah warga yang mencakupkan tangannya di atas kepala memohon penganugerahan kepada beliau yang melinggih di
Pura Paluang.
Menurut
Bendesa Adat, Wayan Partai, yang saat itu menyaksikan seluruh rangkaian
upacara, warga yang mengalami kerauhan memang dibiarkan
kelelahan dan sadar dengan sendirinya. Jika diladeni, permintaannya kadang
aneh-aneh.
”Kami biarkan
saja begitu, warga yang lain juga akan membiarkannya, itu sudah biasa di sini.
Jika diladeni akan menjadi-jadi permintaannya. Biar ia lelah dan tergeletak,
saat itulah kami bantu untuk memapahnya. Yang penting ia tidak merusak sarana
dan prasarana upacara saja” jelas Wayan.
Wayan mengakui, acara piodalan
dilaksanakan setiap hari Tumpek Krulut, yang kebetulan saat
itu bertepatan dengan Purnama. Jadi, persembahyangan dilaksanakan tepat di
atas bulan Purnama, sembari ditemani deburan ombak dan angin laut yang berada
di belakang pura.
Adapun
urutan upacara piodalan ialah upacara melasti pada
pukul 10.00-11.00 Wita, dilanjutkan dengan upacara pujawali pukul
17.00 wita, dipuput oleh pemangku.
Saat pujawali berlangsung,
dipentaskan tari sakral bertajuk Demang Temenggung yang hanya
ditarikan oleh warga Karang Dawa dan tari rejang dewa, kemudian dilanjutkan
tarian hiburan dari anak muda, berupa tari kontemporer. Malam harinya warga
mengatur ayah untuk mekemit.
Dalam
upacara piodalan tersebut tampak sejumlah warga datang membawa gebogan
buah serta banten. Tidak hanya warga lokal, terdapat pula sejumlah pemedek yang
berasal dari Denpasar dan Kabupaten Badung. Biaya piodalan pura
rata-rata menghabiskan dana Rp10 sampai Rp15 juta. Dana tersebut didapat dari dana punia
para pemedek yang datang ke Pura Paluang.
”Sebulan
sekali biasanya kita rapat, saat itu kita membuka kotak dana punia, lumayan
hasilnya. Kita tidak pernah membebankan biaya apa pun pada krama banjar.
Sebab, di sini kalau dikenakan biaya susah juga,” ujarnya. (DN ~ Ant).—
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com