Kuburan Massal Korban Tragedi G.30.S/PKI di Desa Sangsit - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

9/30/15

Kuburan Massal Korban Tragedi G.30.S/PKI di Desa Sangsit



                                                                 Ilustrasi

     PERISTIWA yang disebut G.30.S (Gerakan 30 September) PKI menyimpan banyak kenangan sangat pahit bagi yang langsung terkena, merasakan, melihat, juga bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk di Buleleng, Bali.

    Menjelang atau memasuki bulan-bulan September-Oktober setiap tahun, bangsa Indonesia, terutama para jompo, yang telah dimakan usia dan penyakitan, ingatannya kembali kepada masa-masa kebiadaban yang melanda dan menghantui bumi Nusantara, termasuk Kabupaten Buleleng, Bali pada tahun-tahun 1965/66, setengah abad yang lalu. Segala apa yang terjadi pada tahun­tahun tersebut, kemudian menjadi sangat terkenal dengan sebutan "Peristiwa 1965", suatu peristiwa Tragedi Nasional yang tidak mungkin dilupakan begitu saja oleh manusia-manusia yang punya nalar.

       Bali harus dibersihkan dari malapetaka, diupacarai dengan banjir darah agar Pulau Dewata suci kembali. Mayat-mayat pun dibuang di berbagai tempat supaya unsur-unsur jahat tak bersatu. Rumah demi rumah di suatu desa dibakar,dan dihancurkan. Kuburan massal yang berisi ratusan mayat bertebaran hampir di seluruh bagian pulau cantik ini.

      Untuk di Buleleng, Bali, markas PKI yang kini sebagai ”Partai Terlarang” ada di wilayah Desa Banjar Tegal, Jalan Pahlawan, Singaraja. Masyarakat menyebutnya di umahe tegeh yang kini asetnya sudah terjual habis oleh pewarisnya, berubah menjadi Puri.

    Hampir di setiap kota provinsi dan kabupaten didirikan tempat-tempat tahanan orang-orang yang ditangkap dengan tuduhan "ada indikasi" terlibat langsung maupun tak langsung dengan G.30.S.  

    Di Kota Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali, sebagai  tempat tahanan bagi mereka, adalah disebut-sebut kantor sosial (kini menjadi Panti Asuhan Udyana Wiguna, Jalan Dewi Sartika). Hampir setiap malam, mereka diambil dibawa ke ”lobang buaya” yang kini masuk wilayah Desa Giri Mas, depan Lapangan Tembak Perbakin Buleleng.

    Dalam penyelidikan rakyat Bali, diketahui beberapa tempat yang menjadi lokasi kuburan massal. Dan yang saya tahu, seperti di Desa Sangsit,  Kecamatan Sawan, di Kubugembong, Anturan, Kecamatan / Kabupaten Buleleng (yang penulis tahu). Sementara lokasi kuburan missal lainnya,  menurut catatan di Desa Rendang dan Nongan Kabupaten Karangasem, di Pantai Masceti Kabupaten Gianyar, di Desa Kapal Kabupaten Badung. Umumnya mereka yang dibantai di Desa Kapal, adalah orang-orang yang ditahan, diambil, dan dikeluarkan dari kamar tahanan dan dibunuh.

    Beberapa kali sempat menyaksikan peristiwa pembantaian yang diberondong dengan senjata api di kuburan massal Sangsit/Bungkulan. Ke lokasi kuburan missal pada malam hari saat itu, naik truk yang setiap desa diberi “jatah”. Di antara puluhan dan bahkan ratusan korban pembantaian yang diberondong senjata api jenis mixon maupun LE dimasukkan ke dalam ”lobang buaya”. Di antara mereka, ada yang ditembak, belum mati lantas dibuang ke lubang dan ditimbun. Uniknya lagi seorang korban asal Kubutambahan yang tinggal di Kota Singaraja, ketika diberondong senjata mexen tidak apa, bahkan baju putihnya yang bergerak akibat tembakan itu. Namun, setelah ditembak dengan senjata LE milik tentara, tepat mengenai kepala pecah berhamburan, bahkan isi kepala berhamburan di antara masyarakat yang menyaksikan peristiwa pembantaian itu.
     Sementara pembantaian lokal yang dilakukan oleh “pemuda” waktu itu, lokasinya di belakang Taman Bahagia (kini disebut Taman Pahlawan Surasthana) Singaraja. Masih dalam ingatan, ada tiga korban yang ditebas saat itu, begitu melewati tembok, mata korban disiram kapur bubuk sehingga tidak melihat siapa pelaku dan tidak bisa melawan.

    Ada cerita unik  diperjalanan pembantaian korban tragedi G.30.S/PKI saat itu. Seorang tokoh PKI dari Desa Banjar Tegal, Singaraja. Karena sudah tidak ada yang diajak menghuni kantor sosial di Jalan Dewi Sartika, Singaraja itu, pagi-pagi dia pulang berjalan kaki.

   Sampai di wilayahnya, barat Tugu Singa Ambara Raja sekarang, korban ini dituntun ke sebuah warung, dan diberikan minum kopi. Selanjutnya, dia diajak singgah ke rumahnya melihat anak-anaknya, hingga akhirnya digiring ke sema Banjar Tegal. Sebelum aksi pembantaian itu dilakukan, tokoh ”pemuda” itu minta agar sesuatu yang mungkin dirinya ”kebal” ditanggalkan. Tanpa suara dan suasana haru, tokoh politik palu arit ini membuka sabukannya yang ternyata isinya akar tanam-tanaman. Setelah itu, masih berdiri linglung, korban tragedi ini diminta menghadap arah barat, sehingga sabetan pedang tepat mengenai tengkuk dan jatuh di liang lahat yang sudah disiapkan.

   Pulau Bali, termasuk Buleleng benar-benar bersimbah darah. Di seluruh Indonesia, dalam waktu beberapa bulan dari mulai Oktober 1965 sampai 3 bulan pertama 1966, menurut perkiraan umum ada sekitar 800 ribu sampai sejuta orang dibunuh dengan berbagai cara.

    Tragedi G.30.S meninggalkan dampak trauma politik yang dihadapi masyarakat, termasuk akibat konflik yang terjadi pada Pemilu 1999 lalu.  Trauma itu muncul sejak tragedi G-30-S/PKI tahun 1965, di mana banyak warga yang menjadi korban. Yang mencemaskan, trauma itu selalu meletus menjadi aksi perusakan tiap terjadi pemilihan umum. Tragedi itu ternyata menimbulkan luka-luka politik bagi sebagian orang, sehingga peristiwa politik pada tahun 1965 itu meletus lagi pada Pemilu 1971. Saat itu banyak terjadi aksi pelemparan rumah dan pembakaran. Termasuk rumah penulis menjadi korban politik yang membabi buta, kendati memang tidak pernah menjadi anggota partai politik tertentu.
    Lingkaran kekerasan dalam genealogi politik (kekerasan) di Kabupaten Buleleng menunjukkan masih kentalnya “sentimen politik” dengan menggunakan praktik-praktik kekerasan dalam pentas perebutan kekuasaan lokal. Dari genealogi di atas, “balas dendam politik” berlabel partai hanya sebagai penipu atau topeng semata. Yang terjadi adalah subjektifitas politik dari para agen-agen politik lokal dengan berbagai macam kepentingan.
    Subjektifitas kekerasan inilah yang memegang peranan kuat dalam lingkaran kekerasan yang dipicu oleh politik mepapas (berbeda) dalam bendera partai-partai politik. Partai politik hanya sebagai “kambing hitam” untuk melampiaskan subjektifitas dan sentimen kekerasan tersebut. Para agen-agen kekerasan lokal yang bertarung juga bersiasat, mempunyai kepentingannya sendiri  dalam setiap pentas perebutan kekuasaan lokal.
 Trauma politik itu secara bertahap berhasil sirna menuju Buleleng Smile. (DN ~ TiR).—

No comments:

Post a Comment

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com