PERISTIWA yang disebut G.30.S
(Gerakan 30 September) PKI menyimpan banyak kenangan sangat pahit bagi yang
langsung terkena, merasakan, melihat, juga bagi seluruh masyarakat Indonesia,
termasuk di Buleleng, Bali.
Menjelang atau memasuki bulan-bulan September-Oktober setiap tahun,
bangsa Indonesia, terutama para jompo, yang telah dimakan usia dan penyakitan,
ingatannya kembali kepada masa-masa kebiadaban yang melanda dan menghantui bumi
Nusantara, termasuk Kabupaten Buleleng, Bali pada tahun-tahun 1965/66, setengah
abad yang lalu. Segala apa yang terjadi pada tahuntahun tersebut, kemudian
menjadi sangat terkenal dengan sebutan "Peristiwa 1965", suatu
peristiwa Tragedi Nasional yang tidak mungkin dilupakan begitu saja oleh
manusia-manusia yang punya nalar.
Bali harus dibersihkan dari malapetaka,
diupacarai dengan banjir darah agar Pulau Dewata suci kembali. Mayat-mayat pun dibuang
di berbagai tempat supaya unsur-unsur jahat tak bersatu. Rumah demi rumah di
suatu desa dibakar,dan dihancurkan. Kuburan massal yang berisi ratusan mayat
bertebaran hampir di seluruh bagian pulau cantik ini.
Untuk di Buleleng, Bali, markas PKI yang kini sebagai ”Partai Terlarang”
ada di wilayah Desa Banjar Tegal, Jalan Pahlawan, Singaraja. Masyarakat
menyebutnya di umahe tegeh yang kini
asetnya sudah terjual habis oleh pewarisnya, berubah menjadi Puri.
Hampir di setiap kota provinsi dan kabupaten didirikan tempat-tempat
tahanan orang-orang yang ditangkap dengan tuduhan "ada indikasi"
terlibat langsung maupun tak langsung dengan G.30.S.
Di Kota Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali, sebagai tempat tahanan bagi mereka, adalah disebut-sebut
kantor sosial (kini menjadi Panti Asuhan Udyana Wiguna, Jalan Dewi Sartika).
Hampir setiap malam, mereka diambil dibawa ke ”lobang buaya” yang kini masuk
wilayah Desa Giri Mas, depan Lapangan Tembak Perbakin Buleleng.
Dalam penyelidikan rakyat Bali, diketahui beberapa tempat yang menjadi
lokasi kuburan massal. Dan yang saya tahu, seperti di Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, di Kubugembong, Anturan,
Kecamatan / Kabupaten Buleleng (yang penulis tahu). Sementara lokasi kuburan missal
lainnya, menurut catatan di Desa Rendang
dan Nongan Kabupaten Karangasem, di Pantai Masceti Kabupaten Gianyar, di Desa
Kapal Kabupaten Badung. Umumnya mereka yang dibantai di Desa Kapal, adalah
orang-orang yang ditahan, diambil, dan dikeluarkan dari kamar tahanan dan
dibunuh.
Beberapa kali sempat menyaksikan peristiwa pembantaian yang diberondong
dengan senjata api di kuburan massal Sangsit/Bungkulan. Ke lokasi kuburan missal
pada malam hari saat itu, naik truk yang setiap desa diberi “jatah”. Di antara
puluhan dan bahkan ratusan korban pembantaian yang diberondong senjata api
jenis mixon maupun LE dimasukkan ke dalam ”lobang buaya”. Di antara mereka, ada
yang ditembak, belum mati lantas dibuang ke lubang dan ditimbun. Uniknya lagi
seorang korban asal Kubutambahan yang tinggal di Kota Singaraja, ketika
diberondong senjata mexen tidak apa, bahkan baju putihnya yang bergerak akibat
tembakan itu. Namun, setelah ditembak dengan senjata LE milik tentara, tepat
mengenai kepala pecah berhamburan, bahkan isi kepala berhamburan di antara
masyarakat yang menyaksikan peristiwa pembantaian itu.
Sementara pembantaian lokal yang dilakukan oleh “pemuda” waktu itu,
lokasinya di belakang Taman Bahagia (kini disebut Taman Pahlawan Surasthana)
Singaraja. Masih dalam ingatan, ada tiga korban yang ditebas saat itu, begitu
melewati tembok, mata korban disiram kapur bubuk sehingga tidak melihat siapa
pelaku dan tidak bisa melawan.
Ada cerita unik diperjalanan
pembantaian korban tragedi G.30.S/PKI saat itu. Seorang tokoh PKI dari Desa
Banjar Tegal, Singaraja. Karena sudah tidak ada yang diajak menghuni kantor
sosial di Jalan Dewi Sartika, Singaraja itu, pagi-pagi dia pulang berjalan
kaki.
Sampai di wilayahnya, barat Tugu Singa Ambara Raja sekarang, korban ini
dituntun ke sebuah warung, dan diberikan minum kopi. Selanjutnya, dia diajak
singgah ke rumahnya melihat anak-anaknya, hingga akhirnya digiring ke sema Banjar Tegal. Sebelum aksi
pembantaian itu dilakukan, tokoh ”pemuda” itu minta agar sesuatu yang mungkin
dirinya ”kebal” ditanggalkan. Tanpa suara dan suasana haru, tokoh politik palu
arit ini membuka sabukannya yang
ternyata isinya akar tanam-tanaman. Setelah itu, masih berdiri linglung, korban
tragedi ini diminta menghadap arah barat, sehingga sabetan pedang tepat
mengenai tengkuk dan jatuh di liang lahat yang sudah disiapkan.
Pulau Bali, termasuk Buleleng benar-benar bersimbah darah. Di seluruh
Indonesia, dalam waktu beberapa bulan dari mulai Oktober 1965 sampai 3 bulan
pertama 1966, menurut perkiraan umum ada sekitar 800 ribu sampai sejuta orang
dibunuh dengan berbagai cara.
Tragedi G.30.S meninggalkan dampak trauma
politik yang dihadapi masyarakat, termasuk akibat konflik yang terjadi
pada Pemilu 1999 lalu. Trauma itu muncul
sejak tragedi G-30-S/PKI tahun 1965, di mana banyak warga yang menjadi korban.
Yang mencemaskan, trauma itu selalu meletus menjadi aksi perusakan tiap terjadi
pemilihan umum. Tragedi itu ternyata menimbulkan luka-luka politik bagi
sebagian orang, sehingga peristiwa politik pada tahun 1965 itu meletus lagi
pada Pemilu 1971. Saat itu banyak terjadi aksi pelemparan rumah dan pembakaran.
Termasuk rumah penulis menjadi korban politik yang membabi buta, kendati memang
tidak pernah menjadi anggota partai politik tertentu.
Lingkaran
kekerasan dalam genealogi politik (kekerasan) di Kabupaten Buleleng menunjukkan
masih kentalnya “sentimen politik” dengan menggunakan praktik-praktik kekerasan
dalam pentas perebutan kekuasaan lokal. Dari genealogi di atas, “balas dendam
politik” berlabel partai hanya sebagai penipu atau topeng semata. Yang terjadi
adalah subjektifitas politik dari para agen-agen politik lokal dengan berbagai
macam kepentingan.
Subjektifitas
kekerasan inilah yang memegang peranan kuat dalam lingkaran kekerasan yang
dipicu oleh politik mepapas (berbeda) dalam bendera partai-partai politik.
Partai politik hanya sebagai “kambing hitam” untuk melampiaskan subjektifitas
dan sentimen kekerasan tersebut. Para agen-agen kekerasan lokal yang bertarung
juga bersiasat, mempunyai kepentingannya sendiri dalam setiap pentas
perebutan kekuasaan lokal.
Trauma politik itu secara bertahap
berhasil sirna menuju Buleleng Smile. (DN ~ TiR).—
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com