Buleleng, Dewata News.com - Umat Hindu di
Kota Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali mengunjungi sejumlah "setra"
atau kuburan setempat untuk menggelar tradisi "munjung" atau
mengunjungi kuburan dengan membawa sesajen seusai melaksanakan persembahyangan
di beberapa pura pada Hari Raya Galungan, Rabu.(15/07).
"Kepercayaan umat Hindu, jasad yang
belum diaben arwahnya masih berada di kuburan. Oleh karena itu, saat merayakan
hari raya besar seperti Galungan, umat Hindu menggelar tradisi `munjung` untuk
mengunjungi kuburan sanak keluarga dengan membawa sesajen," kata Kelian
Desa Adat Pakraman Buleleng I Nyoman Sutrisna di Singaraja.
Sejumlah kuburan di Singaraja
seperti di Desa Pakraman Buleleng yang terletak di Jalan Gajah Mada, Setra
Banjar Adat Banjar Tegal, Setra Desa Adat Pakraman Banyumala, Setra Banyuning
di Jalan Gempol, dan Setra Desa Pakraman Penarukan, sejumlah umat Hindu
menghaturkan sesajen yang disebut "punjung" berupa buah dilengkapi
hiasan bunga serta janur.
"Punjung" yang
dibawa, dikhususkan bagi orang yang telah meninggal dan diletakkan di atas
gundukan tanah kuburan. Selain mengunjungi kuburan dengan membawa sesajen,
mereka juga mendoakan sanak keluarganya yang masih dikubur agar tenang di alam
baka.
Menurut dia, selain
membawa sesajen, biasanya sanak keluarga juga membawa makanan kesukaan almarhum
yang dihaturkan secara simbolis di atas gundukan tanah.
Jro Nyoman Sutrisna yang
Kadiskanla Kabupaten Buleleng ini menjelaskan, bahwa tradisi
"munjung" tersebut disebutkan pula di dalam Lontar Medang Kemulan
dan Usana Dewa sebagai salah satu kewajiban umat Hindu yang masih hidup
untuk mengunjungi sanak keluarga yang masih dikubur dan belum menjalani ritual
ngaben.
Menurut Sutrisna, di setra
Buleleng hanya wewidangan Kaliuntu dan Kampung Baru, Petak, wewidangan Delodpeken,
Paketan, Penataran dan Peguyangan serta Baleagung hanya 3 gumuk, Liligundi 5
gumuk.
Klian
Adat Desa Pakraman Buleleng Nyoman Sutrisna menerangkan, tradisi Munjung di
Buleleng diperingati bertepatan dengan hari besar keagamaan Hindu. Dikatakan,
tradisi Munjung dilakukan turun temurun sejak zaman Mpu Kuturan, yang maknanya
sebagai bentuk rasa syukur atas hasil bumi dan dipersembahkan kepada orangtua
atau kerabat yang meninggal.
Setelah persembahyangan, pantauan Dewata
News lebih menarik, karena mereka itu makan beramai-ramai surudan sajen
yang dihaturkan. Bahkan, pengalaman tempo doeloe, karena sajen yang dihaturkan
sedikit, sehingga membawa makanan lain, baik itu tum siap, tum kebo
maupun jukut rambanan.
”Bersama keluarga sesaji
banten memunjung di persembahkan kepada keluarga atau kerabat yang ada di setra. Setelah
selesai sembahyang, sesaji lalu dinikmati makanannya bersama keluarga,” jelas
Jro.Nyoman Sutrisna.
Sementara
itu, sejak pagi di hari Buda Kliwon Dungulan sebagai perayaan Galungan, warga
masyarakat umat Hindu sudah tampak mendatangi sanggah merajan, maupun dadia
hingga Pura Kahyangan Tiga di desa adat masing-masing. Warga masyarakat umat Hindu di Bali, khususnya merayakan
upacara Galungan setiap enam bulan menurut kalender Bali.
Klian Adat Desa Pakraman Buleleng, Jro Nyoman
Sutrisna mengimbau kepada warga krama agar tetap menghayati tradisi dan
nilai-nilai dalam hari raya suci Galungan ini, dengan perbuatan, pikiran, dan
perkataan wajib berlandaskan niat baik serta tulus ikhlas. “Melalui pengamalan
Tri Kaya Parisudha, Galungan kali ini harus terus bisa dikumandangkan, sehingga
bisa selalu memunculkan vibrasi yang sangat positif,” tandasnya. (DN ~*).—
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com