Buleleng, Dewata News.com — Tigapuluh sembilan tahun sudah berlalu,
tepatnya pada tanggal 14 Juli 1976, gempa bumi besar dengan kekutan 6.2 skala
Richter mengguncang Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali, dengan episentrum di
daratan.
Ketika getaran pertama dari gempa bumi yang mengguncang kabupaten di
ujung Utara Bali itu terjadi, sekitar pukul 11.00 Wita di saat kesibukan di
depan mesin ketik portable menyiapkan
deadline untuk siaran berita kota di
RRI Stasiun Singaraja pukul 13.30 Wita.
Disaat pantauan akibat gempa bumi di kawasan Pasar Anyar I, wilayah
Kelurahan Banjar Bali, terbetik informasi, bahwa Seririt rata dengan tanah.
Seketika itu pula, dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua Yamaha YB
milik PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang berplat merah reporter Tirthayasa
meluncur ke Seririt.
Memasuki kawasan kota Seririt, saat itulah tiba-tiba sepeda motor
terpeleset ke pinggir jalan, meski tidak membuat korban dari perkiraan ban roda
belakang pecah. Tapi ketika melihat tiang telepon masih bergoyang, ternyata
getaran kedua gempa bumi lebih dahsyat mengguncang Seririt yang sempat
diwacanakan sebagai Kota ke-sembilan di Bali itu benar-benar luluh lantah.
Jerit tangis warga masyarakat masih terngiang ketika memasuki pusat
perdagangan segitiga emas Pupuan-Gerokgak-Singaraja yang disana-sini bongkahan
bangunan menyentuh bumi usai diguncang gempa yang dahsyat.
Sebuah mobil tertimpa reruntuhan puing bangunan
Dari catatan terakhir yang dihimpun, dua bulan sebelum meninggalkan
media plat merah yang saat ini sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI
Singaraja, ternyata gempa bumi Seririt yang
diklaim sebagai bencana alam nasional itu menelan korban meninggal dunia sebanyak
559 orang, luka berat 850 orang dan luka ringan 3.200 orang. Dilaporkan juga,
hampir 75% dari seluruh bangunan rumah di Tabanan dan Jembrana mengalami
kerusakan.
Sebagai bencana nasional, Seririt sebagai korban terparah dari guncangan
gempa bumi saat itu langsung mendapat peninjauan Presiden Soeharto yang
menginjakkan kaki di atas puing reruntuhan bangunan menggunakan pesawat
Helikopter.
Mirisnya dari peristiwa gempa bumi yang mengguncang Seririt ini, munculnya isu terjadinya gelombang tsunami di wilayah Seririt. Sehingga masyarakat berhamburan meninggalkan Seririt menuju Kota Singaraja maupun ke tempat yang lebih aman. Isu gelombang tsunami ini-pun berpengaruh kepada warga masyarakat Kota Singaraja yang harus meninggalkan rumah mencari tempat di ketinggian. Tapi, dari pantauan reporter RRI saat itu langsung ke Seririt, terjadinya gelombang tsunami hanya isapan jempol dan tidak pernah ada.
Sementara itu, pada tanggal 27 Juli 1976 Pemerintah Singapura menanggapi
tragedi ini dengan mengirimkan 20 personel tenaga medis ke Bali. Tim yang
dipimpin oleh MAJ (DR) Winston Koh, tiba di Bali dengan membawa 3,500 kg
pasokan medis dan peralatan.
|
Tim medis asal Singapura mengobati korban gempa |
Tim mendirikan base camp di
kota Seririt, Buleleng, dan Tim bekerja
berdampingan dengan tim medis lainnya dari Bulan Sabit Merah Indonesia dan
beberapa universitas di Indonesia.
Tim medis dikirim setiap hari ke desa-desa sekitarnya untuk membuka
posko kesehatan dimana konsultasi medis, pengobatan dan imunisasi diberikan
untuk warga masyarakat setempat.
Setelah bekerja sekitar 2 minggu
lebih, pada tanggal 15 Agustus 1976, tim medis Singapura ini kembali ke
negaranya dengan kontribusi telah merawat sekitar 3.000 pasien korban gempa di
Seririt dan sekitarnya. (DN ~ *).—
terima kasih untuk informasinya
ReplyDelete