Menurut Maman S. Mahayana (dalam Sembilan Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing, 2005; h. 362—363), dibandingkan dengan sejarawan, sastrawan sebenarnya memiliki ruang yang lebih leluasa ketika ia hendak menyampaikan refleksi evaluasinya tentang masa lalu. Secara subjektif, ia dapat memaknai dan menafsirkan fakta atau peristiwa sejarah menurut kepentingannya. Ia juga dapat menyampaikan alternatif lain di balik peristiwa-peristiwa sejarah.
“Pieter Akan Mati Hari Ini” lahir dari penafsiran saya terhadap peristiwa sejarah yang terjadi di Batavia, yaitu eksekusi hukuman Pieter Erberveld yang dituduh akan melakukan makar. Saya memanfaatkan tokoh Jan van de Marre, seorang penyair Belanda yang hidup di masa itu, sebagai narator atau pencerita yang juga telah membantu pelarian Pieter. Tak ada keterangan yang menyatakan bahwa Jan pernah berhubungan dengan Pieter. Begitulah saya memaknai dan menafsirkan fakta atau peristiwa sejarah, serta menyampaikan alternatif lain di balik peristiwa-peristiwa sejarah asal-usul kampung Peca’ Kulit.
Pekerjaan saya sebagai editor di Balai Pustaka mempertemukan saya dengan Surapati dan Robert Anak Surapati, novel sejarah yang ditulis oleh Abdoel Moeis. Pekerjaan menyunting kedua karya tersebut, membuat saya tertarik untuk menulis “versi lain” dari peristiwa yang dialami oleh Untung Surapati dan Robert, anak Surapati dari Suzane. Maka lahirlah cerpen “Senja di Langit Pasuruan”.
“Fragmen Senja di Bulan Mei” saya tulis hampir sepuluh tahun setelah tragedi 14 Mei. Sepuluh tahun yang lalu ketika peristiwa itu terjadi, saya tak mengingat kecuali kesulitan belanja untuk makan sehingga harus memasak nasi goreng dengan bumbu seadanya. Sedang tetangga saya pulang dengan berkantong-kantong minyak goreng yang baru ia jarah dari sebuah toko di kawasan Pasar Minggu. Saya membaca peristiwa tersebut melalui cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma. Saya kemudian mencari berita-berita tentang peristiwa itu melalui internet. Apa yang mendorong saya menuliskan cerpen itu? Saya tidak tahu. Apakah kita membutuhkan alasan untuk menulis sebuah cerpen?
Plato beranggapan bahwa sastra dan seni hanya peniruan, peneladanan, atau pencerminan dari kenyataan, Aristoteles di pihak lain, beranggapan bahwa dalam proses penciptaan, sastrawan tidak semata-mata meniru kenyataan, tetapi sekaligus menciptakan sebuah “dunia” dengan kekuatan kreativitasnya. Dunia yang diciptakan pengarang adalah sebuah dunia yang baru, dunia yang diidealkan, dunia yang mungkin dan dapat terjadi walau sebenarnya tidak pernah terjadi.
“Sepuluh Juta Rupiah” lahir setelah saya mendengar seorang tukang ojek yang mangkal di depan warteg nyeletuk, “Seandainya gue nemu uang lima juta!” Ucapan itu membuat saya berpikir, untuk apa uang lima juta? Kebetulan waktu itu saya belum menikah, dan konon untuk meminang seorang gadis Anda membutuhkan uang minimal sepuluh juta rupiah. Apakah tukang ojek itu ingin menikah? Saya tidak merasa perlu untuk menanyakannya, bagi saya ucapannya sudah cukup untuk menuliskan sebuah cerita. Namun, baru satu tahun kemudian, setelah saya berkunjung ke perpustakaan Rumah Cahaya yang berada di daerah Penjaringan, saya menemukan latar dan tokoh untuk ide tersebut.
Cerpen “Penulis Cerita dan Copet” lahir justru ketika saya sedang kesulitan menulis cerpen karena terlalu banyak ide yang muncul di kepala. Akhirnya, ide-ide itu saya masukkan ke dalam tong sampah. Pengalaman kesulitan menulis itu yang akhirnya saya tulis menjadi sebuah cerpan. Peristiwa-peristiwa yang muncul dalam cerpen itu pun merupakan keseharian saya yang telah mengalami proses interpretasi.
“Sebuah nama yang Kusebut dalam Tidur” saya tulis dengan menggunakan teknik otomatisme yang biasa dipakai oleh seniman surealis. Saya tidak merencanakan ide apa-apa ketika menuliskannya. Yang saya lakukan hanya duduk di depan komputer dan menuliskan apa saja yang muncul di kepala saya ketika itu. Akibatnya, apa yang saya pikirkan, apa yang saya lakukan, dan apa yang saya rasakan terhadirkan dalam keseruangwaktuan. Apakah cerpen itu bisa dimasukan dalam genre surealisme? Saya tidak memikirkannya, biar saja para kritikus yang memberikan pertimbangannya.
Dalam workshop kepenulisan bagi nominator Sayembara Menulis Cerpen yang diadakan oleh Menpora bekerjasama dengan Creative Writing Institute (CWI), Hamsad Rangkuti mengatakan, “Berita adalah kunci kontak kita menulis, dan SIM-nya adalah bahasa”. Meski saya bukan penonton berita yang teguh, ternyata bayak juga cerpen-cerpen saya yang lahir akibat menonton berita di televisi.
“Terompet Tanduk Kerbau” saya tulis berdasarkan ingatan akan sebuah tayangan televisi tentang Umar Manik, yang memiliki cara unik ketika akan memberi makan monyet-monyet liar di Hutan Sibatu Loting, yaitu memanggil monyet-monyet itu dengan menggunakan terompet dari tanduk kerbau. Kemudian saya mengumpulkan informasi tentang Umar Manik dari internet, dari sana saya menemukan konflik untuk mulai menyusun sebuah plot.
Suatu ketika saya menonton infotainment di televisi. Beritanya tentang Djenar Maesa Ayu. Jarang-jarang ada penulis yang muncul di infotainment. Dalam berita itu, Djenar memperlihatkan bonekanya yang ia beri nama Melly (apakah ejaannya seperti ini saya tidak tahu karena nama itu diucapkannya, bukan dituliskan). Konon Djenar dan anaknya suka berebut boneka itu. Berita itu mengilhami saya menulis cerpen “Melly”.
Ketika seorang wartawan RCTI wafat dalam tawanan tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM), saya kemudian berpikir bagaimana nasib istri dan anaknya? Maka lahirlah cerpen “Sayur Asem”, berkisah tentang seorang anak yang ingin memberi kejutan di hari ulang tahun ibunya dengan memasak sayur asem. Dahulu ibunya sering memasak sayur asem untuk ayahnya, sebelum suaminya itu meninggal dalam tugas meliput di daerah konflik. Mengapa sayur asem? Saya tak memiliki alasan lain kecuali saya menggemari masakan itu dan sejak kelas lima SD sudah bisa memasaknya sendiri.
Suatu kali dalam sebuah workshop teater di Taman Ismail Marzuki, Slamet Rahardjo Jarot mengatakan pada para peserta, “Jika karya tak mau ditafsir orang, sebaiknya simpan saja di dalam lemari.” Sebuah karya ketika telah dipublikasi maka ia bukan lagi hanya menjadi milik penulisnya, melainkan juga milik pembaca. Pembaca bebas memberi makna kepada karya tersebut.
Barangkali, perkataan Slamet Rahardjo itu yang membuat saya suka menafsir karya orang lain. Barangkali juga saya terinspirasi dengan cerpen “Tongkat el Hakim” yang menghidupkan kembali tokoh Romeo dan Juliet.
Saya pun menghidupkan tokoh dalam cerpen Djenar Maesa Ayu yang berjudul, “Melukis Jendela”. Cerpen itu bercerita tentang seorang gadis remaja bernama Mayra. Ia tinggal dengan ayahnya yang sibuk bekerja. Sejak kecil dia tak tahu di mana ibunya. Mayra sering mengalami pelecehan seksual dari teman-teman sekolahnya. Mayra melukis ibunya lalu mengadukan perlakuan teman-temannya itu kepada lukisan ibunya itu. Ibunya menyuruh Mayra menyayat wajahnya. Mayra pun menyayat wajahnya dengan pisau.
Saya kemudian berpikir, bagaimana jika Mayra merasa kehidupannya yang dia alami dalam cerpen “Melukis Jendela” diakibatkan oleh penulisnya? Apa yang akan dilakukannya? Bukankah bagi tokoh fiktif, realitas fiksional itu merupakan realitas yang sungguh dialaminya? Saya kemudian teringat dengan pisau yang digunakan untuk menyayat wajahnya. Dan pisau itu yang kemudian digunakan Mayra untuk membunuh penulisnya, Jenarayu, dalam cerpen saya yang berjudul “Mayra”. Seingat saya, cerpen ini saya tulis hanya dalam waktu dua jam saja. Ketika menulis cerpen ini, saya belum mengetahui teknik otomatisme yang sering dilakukan seniman penganut surealisme. Namun, apa yang tertuang dalam cerpen itu, seolah mengada begitu saja setelah saya membaca cerpen “Melukis Jendela” karya Djenar.
“Cermin Rias Ibu” seingat saya juga lahir akibat pembacaan saya terhadap cerpen “Melukis Jendela”. Apa boleh buat, saya memang menyukai cerpen itu. Namun, ada bagian-bagian dari cerpen itu yang terasa vulgar. Djenar mungkin punya alasannya sendiri untuk menghadirkan kevulgaran itu, dan saya tak mau peduli dengan alasannya. Cerpen Djenar itu membuat saya berpikir bagaimana cara menulis cerita tentang pelecehan seksual tanpa kevulgaran? Entahlah, apakah cerpen itu berhasil seperti yang saya harapkan, saya tidak tahu, biar pembaca yang menilainya.
Cerpen “Aku, Pisau, dan Kata” merupakan penafsiran saya terhadap puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Kami Bertiga. Boleh juga disebut penyaduran puisi menjadi cerpen. Yang saya lakukan hanya menghadirkan tokoh dan latarnya untuk sebuah puisi yang tanpa tokoh dan latar itu pun sudah berbicara banyak kepada pembacanya. Apa boleh buat, saya memang menggemari puisi-puisi Sapardi.
“Seribu Masjid yang Kudirikan” lahir akibat pembacaan saya terhadap cerpen “Dongeng Penunggu Surau” karya Joni Ariadinata, cerpen Afifa Afra (saya lu
pa judulnya), dan puisi Seribu Masjid Satu Jumlahnya karya Emha Ainun Najib, serta buku Wong Edan karya Arini Hidayati.
Josip Novacovich (2003: h. 22) berangan-angan bisa mendapatkan sebuah cerita klasik seperti Odyssey dari seorang rakyat biasa. Menurut Novakovich, sungguh kebiasaan yang baik untuk mendengarkan orang berbicara dan apa yang mereka bicarakan karena tukang dongeng yang terbaik seringkali bukan pengarang. Bagi mereka, berkomuniksi dengan para pendengar adalah sesuatu yang sangat berhaarga saat mendongeng, dan karena itu, mereka lebih senang bercerita langsung daripada menuliskannya.
Barangkali, kita termasuk yang sangat beruntung, karena dongeng-dongeng dan cerita rakyat banyak dituliskan dalam sebuah buku. Sehingga kita tak perlu berburu ke daerah-daerah terpencil sekadar untuk mendapatkan sebuah dongeng. “Pelangi Senja” saya tulis berdasarkan ingatan akan dongeng Jaka Tarub yang mencuri selendang bidadari dan menikahi bidadari pemilik selendang itu.
“Tambuli, Perempuan yang Berdiri di Muka Jendela” mungkin dapat dikatakan sebagai cerpen pertama saya yang mempersoalkan tradisi di suatu daerah. Apakah saya sedang ingin protes ketika menuliskannya? Sayangnya tidak. Bukan semangat itu yang melahirkan cerpen tersebut. Kira-kira tahun 2001 (kalau tak salah ingat) saya membaca cerbung “Putri Kejawen” di majalah remaja Annida. Saya terkesan dengan cerber itu. Dan ternyata, penulisnya berasal dari daerah Sumatra Barat. Bagaimana dia bisa menulis tentang kejawen? Baru lima tahun kemudian saya dapat menulis cerpen tentang tradisi begawai di suku Talang Mamak. Sejak itu saya seperti ketagihan menulis cerpen tentang suatu tradisi di suatu daerah.
Maka lahirlah “Tedong Helena” yang mempersoalkan tradisi Rambu Solo’. Lagi-lagi, saya tidak sedang ingin protes terhadap tradisi itu. Saya hanya sedang membayangkan seandainya saya harus menjalani tradisi yang bisa menelan biaya hingga ratusan juta hanya untuk prosesi penguburan jenazah itu, dari mana saya bisa mendapatkan uangnya? Meski saya memiliki banyak refrensi ternyata tidak mudah mencari konfliknya. Setelah lama mengendapkannya, saya mendapat sebuah artikel yang saya lupa dari mana sumbernya. Dalam artikel itu disebutkan bahwa ahli waris yang paling banyak menyumbang untuk gelaran Rambu Solo’ itu akan mendapat bagian warisan yang paling besar pula. Nah, bagaimana jika saya ahli waris yang miskin tapi ingin dapat bagian yang banyak? Maka lahirlah cerpen itu.
Saya makin rajin mencari refrensi tentang tradisi-tradisi di daerah-daerah di Indonesia. Entahlah, saya seolah menemukan kepuasan ketika menuliskan cerita yang berlatar tardisi tersebut. Saya pun membeli buku tentang tradisi pelaut-pelaut Mandar. Sampai habis membaca buku itu, saya masih juga tak menemukan ide untuk sebuah cerpen. Bersamaan dengan itu saya rajin membaca refrensi tentang hari Sabat dalam Alquran serta hadis-hadis Nabi. Tiba-tiba saya ingin menuliskan cerita tentang hari Sabat. Dan entah mengapa kemudian saya seperti terhubung dengan buku tentang pelaut Mandar. Maka lahirlah cerpen “Dilarang Menjala Ikan di Hari Sabtu”. Apakah ada hubungannya antara hari Sabat dengan pelaut Mandar? Saya tak bisa memastikannya dan tak ingin memastikannya.
Begitulah proses kelahiran cerpen-cerpen saya. Suatu kali Hamsad Rangkuti mengatakan bahwan sastra merupakan seni berbohong yang indah. Apakah imajinasi sama dengan kebohongan?
Cecep Syamsul Hari, dalam “Puisi dan Yang Lain” (Horison edisi XLII No. 8/Agustus 2007; h.5) mengatakan, “Imajinasi bukanlah mimpi atau fantasi. Ia adalah kualitas untuk menghadirkan realitas yang dialami (experienced-reality) dan realitas yang ditafsirkan (interpreted-reality) yang terjadi di masa lalu, masa kini, dan masa depan.”
Demikianlah.
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com