Buleleng, Dewata News.com - Sudah sejak lama tradisi tajen atau sabung ayam sudah tumbuh dan berkembang di Bali, awalnya berkembang dari rangkaian upacara dewa yadnya yang dinamakan upacara Tabuh Rah, yang mana tabuh rah ini mempersyaratkan adanya darah yang menetes sebagai simbol / syarat menyucikan umat manusia dari ketamakan atau keserakahan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi.
Tabuh rah juga
bermakna sebagai upacara ritual buta yadnya yang mana darah yang menetes ke
bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Sang Hyang Widhi Wasa
agar terhindar dari marabahaya, kemudian terjadi pergeseran makna ritual dan
tabuh atau tajen ini kemudian mengarah kepada judi.
Memang acara Tajen
atau sabung ayam di Bali cukup dikenal dan digemari dikalangan masyarakat Bali,
terutama oleh kaum prianya, walaupun jelas-jelas judi itu melanggar hukum,
namun dibeberapa tempat sabung ayam ini masih berlangsung walaupun
sembunyi-sembunyi untuk menghindari aparat.
Beberapa waktu terakhir ini, malah
muncul wacana bahwa tajen ataupun sabung ayam ini akan dibuatkan Perda alias
peraturan daerah, banyak yang pro dan tentunya lebih banyak yang kontra dengan
wacana tersebut.
Sebelum judi
menjadi kegiatan haram bagi kepolisian, tajen digelar secara bebas dan
terbuka, kadang di suatu tempat membuat arena khusus untuk pergelaran
tajen.Tapi kegiatan ini terlalu bebas bagi masyarakat, tidak membatasi kalangan
usia, sehingga anak-anak yang secara kebetulan lewat dan menyaksikan kegiatan
ini, tentunya akan berpengaruh buruk juga.
Bali sebagai tujuan wisata,
banyak tamu asing yang kebetulan lewat dan melihat aktifitas ini, ini mungkin
perlu mendapatkan penjelasan yang benar dari pemandu wisatanya. Kalau kita
lihat kehidupan dan aktifitas seputar tempat tajen akan banyak dijumpai orang
berjualan nasi, kopi, buah-buahan, bakso dan lain-lain.
Bebotoh dan penonton
menikmati sekali makanan yang dijajakan oleh para pedagang tersebut. Selain
pedagang, yang bisa mengais rejeki di tempat tajen adalah tukang ojek, tukang
parkir, tukang sapu, dan tukang karcis. Itulah sebabnya, para pembela tajen
senang mengatakan, bahwa uang yang berputar di tempat tajen tidak lari keluar
pulau, melainkan hanya berputar dikalangan masyarakat.
Maksudnya barangkali
menyindir togel (toto gelap) yang menyedot uang masyarakat dan uang tersebut
lari keluar pulau. Untuk memberantas tajen memang sangat dilematis sekali,
sekarang kita saja, masyarakat Bali yang harus menilai, apakah tajen ini perlu
dilestarikan atau tidak.
Sementara itu, Dewan Pimpinan Wilayah
Ikatan Penulis dan Jurnalis Indonesia (DPW IPJI) Bali menggelar diskusi publik
bersama Polda Bali, Jumat (12/06) di Aston Hotel, Jalan Gatsu Barat, Denpasar,
Bali.
Diskusi publik yang digelar di lantai 3 ini, dilaksanakan dalam
rangka Hari Ulang Tahun (HUT) DPW IPJI Bali ke-1. Topiknya, "Menggali
Potensi Tajen Sebagai Atraksi Wisata Budaya Bali Menuju Realisasi Perda
Tajen".
Ketua panitia acara Ida Bagus Putu Suwitra mengatakan, acara ini
bertujuan untuk membahas tajen yang merupakan warisan budaya Bali dan mengajak
publik untuk menjadikan tajen sebagai daya tarik wisata.
"Sehingga nantinya akan berkontribusi ke desa adat yang ada di
Bali. Intinya biar bisa melegalkan tajen," ujar pria yang akrab disapa
Gustra kepada Tribun Bali sebelum acara dimulai.
Narasumber dalam dialog publik ini ada lima yakni Kapolda Bali Irjen Rony
Sompie, Ketua DPRD Bali I Nyoman Adi Wiryatama, Ketua Majelis Utama Desa
Pakraman (MUDP) Jero Gede Putus Upa Desa, Akademisi dari Unud Prof. Dr. Wayan
Windia, dan Perwakilan Gubernur Bali. (DN~*).—
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com