Peter: Menunduk-nunduk itu simbol terjajah, kata Bung Karno - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

4/12/15

Peter: Menunduk-nunduk itu simbol terjajah, kata Bung Karno


Wartawan senior Jakarta kritik Mega pekik “Merdeka” dan mental budak - Peter: Menunduk-nunduk itu simbol terjajah, kata Bung Karno - Kontroversi yang ditampilkan Megawati dinilai bertentangan dengan cita-cita Bung Karno membebaskan bangsa termasuk simbol-simbol budak atau terjajah.
(Foto: istimewa.)Kontroversi yang ditampilkan Megawati dinilai bertentangan dengan cita-cita Bung  Karno membebaskan bangsa termasuk simbol-simbol budak atau terjajah.

Wartawan senior Jakarta kritik Mega pekik “Merdeka” dan mental budak

Dewata News.com -: Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputeri memekikkan kata “Merdeka” tiga kali sembari menangis saat menutup padato politiknya, membuka Kongres IV PDI Perjuangan di Bali, Kamis siang (09/04.
     Wartawan se- nior Peter Apollonius Rohi mengeritik keras sikap Mega, yang di sisi lain tidak menjunjung tinggi arti kata merdeka.“Memekik salam merdeka tiga kali, tapi ironisnya simbol budak dipertontonkan. Dimana ada simbol kemerdekaan dalam menun- duk dan mencium tangan?”, kata Peter Rohi, sebutan akrab mantan wartawan Sinar Harapan –sekarang Suara Pembaharuan– menyinggung sikap Mega yang terkesan sangat menikmati ketika tangannya dicium Presiden Joko Widodo.
     “Para pemimpin sekarang tidak memahami simbol-simbol kemerdekaan. Mereka tidak membaca simbol-simbol kemerdekaan. Mereka tidak membaca karena tidak tahu persis cita-cita kemerdekaan para Bapak Bangsa,” kritik lebih pedas lagi, wartawan se- nior yang diusianya memasuki 77 tahun tetap aktif bekerja sebagai jurnalis di Jakarta ini.

    Diungkapkan Peter, keinginan utama Para Bapak Bangsa adalah menghilangkan sifat merendah-rendah, menunduk-nunduk, karena rakyat negeri ini sudah merdeka, sama tinggi dengan siapa pun dan bangsa apa pun. “Bung Karno dengan Eisenhower, dengan Cruschov, dengan Jamal Abdel Nasser, dengan Tito, dengan Mao Tse Thung, dengan Hirohito, dengan Kennedy, ia tetap membusungkan dada sebagai pemimpin dari sebuah negara merdeka,” papar Peter menyontohkan.

    Bung Karno sewaktu di Honolulu, Peter memberi contoh lagi, saat mampir dalam perjalanan ke AS, ia bahkan mencium ratu ke- can tikan Hawaii Carol Ah You yang mengalungkan karangan bunga di lehernya. Tidak ada rasa minder.

   “Busungkan dadamu, kepalkan tinjumu. Itulah pesan Bung Karno kepada para prajurit. Maka ketika berhadapan dengan atasan, kita (prajurit) memberi hormat sambil membusungkan dada yang bermakna: Siap melaksanakan tugas negara,” tandas Peter.

    Bukan saja Bung Karno, lanjutnya, Tan Malaka, Hatta, dan Sjahrir paling benci melihat pegawai menunduk-nunduk pada atasan- nya. “Perasaan minderwardig heitzcomplex itu adalah simbol budak, simbol terjajah, kata Bung Karno.”

    Di seberang Jembatan Emas Kemerdekaan, Bung Karno berkata kita ditunggu dua jenis pedati. Yang pertama, membawa kita pa- da cita-cita kemerdekaan. Pedati yang Kedua, membawa kita kembali pada alam feodalisme.

    “Maka tak heran, ketika semua tamu menunduk dan bahkan banyak yang mencium tangan berhadapan dengan Soeharto, saya tetap tegak sebagai warga dari sebuah negara merdeka sambil membusungkan dada. Saya yakin, para intel, para ajudan bingung. Tapi, saya adalah tetap saya yang taat pada perintah Bung Karno: jangan bermental budak,” kenang Peter tentang pengalamannya mencermati sikap  mantan Presiden Soeharto ketika masih memerintah.

    “Ketika itu, saya diminta Menteri LH Prof Dr Emil Salim mendampingi keluarga Ridolf Rupidara menerima penghargaan KALPATARU. Soeharto tertarik pada laporan saya dari Pulau Kisar. Sekarang, paling tidak sejak era Soeharto, para pejabat suka menunduk-nunduk dan mencium tangan atasan,” demikian pengamatan wartawan yang laporan jurnalistiknya dibukukan berjudul; KOMUNIKASI MANUSIA, MANUSIA KOMUNIKASI, Prof. Dr Alwi Dahlan: Kalpataru diciptakan karena terkesan akan laporan wartawan Sinar Harapan Peter Rohi dari Pulau Kisar.

    Peter pun menyindir lebih mendalam lagi kader-kader bangsa ini yang lain. “Apakah mereka tidak memahami ajaran para Bapak Bangsa. Atau, memang kita sudah terlalu banyak makan duit pinjaman kapitalis asing, maka secara tidak sadar kita telah kembali menjadi budak bangsa-bangsa. Atau, kita sedang terlena di jok pedati feodalisme? Wallahu alam!,” pungkas Peter, membeberkan kritikan pedasnya ini di media sosial. @licom

No comments:

Post a Comment

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com