tempat_pembayaran_pajak bumi_dan_bangunan |
Jakarta, Dewata News.com — Penghapusan pajak bumi dan bangunan hanya untuk masyarakat lemah, bukan untuk kelompok komersil dan asing.
Gagasan Kementerian Agraria dan Tata Ruang menghapuskan pajak bumi dan
bangunan (PBB), serta biaya Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB) untuk masyarakat
berpenghasilan rendah dan miskin patut diapresiasi. Gagasan yang dicetuskan
oleh kementerian yang dipimpin Ferry Mursyidan Baldan sekaligus Kepala BPN pada
pekan kedua Februari 2015, adalah sebuah terobosan penting di tengah kelangkaan
rumah dan gagalnya pencapaian penerimaan pajak tanah dan bangunan. Mengapa
demikian?
Kalau ditelusur lebih dalam, salah satu biang keladi kemiskinan adalah
sulitnya akses kepemilikan tanah. Tanah merupakan aset abadi sepanjang dunia
ini masih ada tentunya. Karenanya harga tanah biasanya meroket, tidak masuk
akal akibat spekulasi yang terstruktur. Ini kemudian menjadi senjata para
pengembang (developer) rakus menaikan harga rumah dan bangunan lainnya menjadi
tidak wajar.
Tak rasionalnya harga tanah pada akhirnya turut menyumbang kondisi
darurat perumahan rakyat. Angka defisit rumah sudah mencapai 13,6 juta
unit. Namun produksi rumah umum hanya 200 ribu unit per tahun,
sehingga perlu waktu 68 tahun untuk mengatasi defisit
itu. Sementara untuk memenuhi hak atas rumah, pasti terkait dengan
penyediaan tanah sebagai salah satu dari lima komponen dasar hak bermukim.
Yaitu tata ruang, penyediaan tanah, infrastruktur dasar, pembiayaan, dan
bangunan.
Itulah kenapa langkah Menteri Agraria dan Tata Ruang itu berdampak
strategis untuk terpenuhinya hak atas tempat tinggal rakyat yang telah dijamin
dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Penghapusan PBB ini juga relevan
dengan kewajiban pemerintah menyediakan rumah dan tanah bagi kelompok dhuafa
sebagai amanat konstitusional yang tertuang dalam Pasal 54 ayat (1), (2), (3)
jo Pasal 105 sampai dengan Pasal 117 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan kawasan Permukiman.
Penghapusan pajak dan biaya tersebut juga tepat untuk memperluas akses
pemerintah kepada penerimaan pajak baru di sektor industri properti atau
bangunan komersial, termasuk pajak dari warga negara asing dan badan hukum
asing. Sedangkan pengenaan pajak dan biaya untuk si kaya tersebut dialokasikan
kepada pembangunan perumahan dan infrastruktur kawasan pemukiman rakyat lemah.
Lagi pula, merujuk pada asas pemisahan horizontal, kua teoritis
rezim hukum agraria dan tata ruang melalui UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Pengaturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang adalah sesuatu hal yang berbeda dengan rezim hukum bangunan
gedung yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung.
Dengan landasan yuridis ini, konsep dan
kebijakan pengenaan PBB selama ini melalui asas pemisahan horizontal tersebut
sangat beralasan dipisahkan menjadi Pajak atas Bumi dan Ruang (diakronim
menjadi PBR) serta Pajak atas Bangunan Gedung (PBG).
Sudah barang tentu kita sangat berharap langkah kementerian tersebut
tidak terhenti sebatas rencana. Sebab tidak menutup kemungkinan langkah yang
akan dituangkan dalam kebijakan kementerian ini ditentang oleh pemerintah
daerah. Gejala itu sudah nampak di beberapa Pemda. Mereka cenderung berpikir
jangka pendek bahwa penghapusan PBB berpotensi besar menurunkan pendapatan
daerah.
Oleh karena itu perlu pembedaan yang adil terhadap kelompok sasaran
pengenaan PBB, yang belum dijelaskan terperinci oleh Kementerian Agraria dan
Tata Ruang atas langkah tersebut. Dalam kajian Masyarakat Konstitusi Indonesia
(MKI), penghapusan PBB hanya terbatas untuk lima sasaran saja.
Pertama, perumahan rakyat
yang dimiliki dan atau dinikmati masyarakat berpenghasilan rendah atau warga
miskin. Baik jenis rumah umum maupun rumah swadaya masyarakat tersebut. Kedua,
rumah umum dan rumah swadaya yang merupakan rumah pertama. Ketiga, rumah susun bersubsidi yang
pertama. Keempat, bangunan dan
properti untuk atau sebagai
fasilitas publik dan pelayanan sosial. Baik milik pemerintah, lembaga non
pemerintah, termasuk rumah khusus dan rumah negara. Kelima, bangunan dan properti untuk penyelenggaraan pemerintahan
yang merupakan tanah atau barang milik pemerintah pusat maupun daerah.
Yang perlu diwaspadai atas penerapan kebijakan ini kelak, adalah praktik
manipulasi data peruntukan lahan dan data pertanahan, termasuk kepemilikannya.
Praktik ini rawan terjadi dan sudah sedemikian akut akibat karut-marutnya
persoalan agraria yang sebangun dengan masalah bangunan liar di Tanah Air.
Kewaspadaan makin ditingkatkan manakala pajak dan biaya yang dibebankan
kepada industri properti komersil dan pihak asing itu dibalas oleh pihak
wajib pajak itu dengan menaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPn) dan biaya
layanan (service charge) yang kerap dibebankan kepada konsumen. Seperti
fasilitas perhotelan atau resort, restoran, ritail, tempat rekreasi dan olah
raga, kawasan komersil terpadu, dan sebagainya. Hukum bisnis akan peka
bertindak: menekan biaya produksi dan meraup untung besar. Mana ada konsep rugi
menggelayut dalam benak kaum kapitalis.
Maka perlu sekali dalam mengawali terobosan Kementerian Agraria dan Tata
Ruang ini dipagari oleh paradigma optimalisasi penataan ruang yang merupakan
tugas dan wewenang kementerian tersebut.
Dalam optimalisasinya tentu saja memerlukan verifikasi sekaligus
pemutakhiran data atas penerimaan PBB, kepemilikan tanah dan bangunan gedung
yang terintegrasi dengan data pertanahan di Indonesia. Termasuk verifikasi atas
aset fisik yang dikuasai oleh pemerintah. Bahkan penerimaan negara bukan pajak
(PNBP) atas pengenaan PBB selama ini saatnya diudit secara menyeluruh.
Nyali Menteri Ferry Mursyidan Baldan benar-benar diuji untuk meluruskan
penyimpangan yang ada agar dapat disetor ke kas negara sebagai kerugian
perdata, dengan tidak mengabaikan unsur tindak pidananya agar dapat diusut
secara tuntas. (DN~*).—
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com