|
Ilustrasi Udang-Undang Desa (c) Foto : ist |
Denpasar, Dewata News. Com - Memperhatikan perkembangan wacana tentang Undang-Undang Desa melalui berbagai media, Ormas Cakrawayu mencermati bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah meresahkan masyarakat Bali. Regulasi yang pada hakikatnya hendak mewujudkan masyarakat kondusif, tertib, dan teratur sebaliknya, telah menimbulkan polemik berkepanjangan, antara desa dinas dan desa adat. Baik lembaga pemerintah maupun lembaga adat belum sepakat memilih satu jenis desa yang hendak didaftarkan ke pusat. Padahal dengan mendaftarkan Desa Adat saja akan membuat Desa Adat ditindas oleh Undang-Undang Desa, apalagi mendaftarkan Desa Dinas.
Desa Adat dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 kemudian, disebut Desa Pakraman dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 yang disempurnakan menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 adalah Desa Otonom. Dalam Peraturan Daerah ini ditegaskan bahwa Desa Pakraman adalah "kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.
Ini berarti bahwa Desa Pakraman adalah desanya umat Hindu. Umat Hindu di Bali memuliakan Kahyangan Tiga, yaitu Dewa Brahma sebagai pengada, Dewa Wisnu sebagai penjaga, dan Dewa Siwa sebagai penyempurna. Ketiga hukum hidup ini adalah kearifan lokal Bali yang mesti dijaga dan harus dipelihara. Akan tetapi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tidak memberikan kesempatan kepada orang Bali untuk melakukannya. Dengan kata lain, Undang-Undang Desa hendak menghapus kearifan lokal Bali. Padahal orang Bali menjadi orang Bali karena kearifan lokal Bali. Dengan demikian, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tentang Desa, baik langsung maupun tidak hendak menghapus identitas orang Bali.
Sementara itu, Cakrawayu hendak membangun dan menguatkan identitas orang Bali melalui visi mewujudkan Bali harmonis berlandaskan agama Hindu dan tradisi Bali serta misi memperkuat sradha-bhakti agama Hindu, memperkuat tradisi Bali, memperkuat rasa hormat kepada leluhur Bali, mempererat hubungan sesama orang Bali, dan membangun hubungan arif-berkeadilan dengan alam Bali. Tegasnya, visi dan misi Cakrawayu tidak sejalan dengan semangat Undang-Undang Desa, karena itu Cakrawayu menolak Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tentang Desa diberlakukan di Bali. Selanjutnya, Cakrawayu berkeyakinan bahwa orang Bali yang tidak ingin kehilangan agama dan tradisi yang menjadi identitasnya, juga akan menolak Undang-Undang Desa diberlakukan di Bali.
Apabila visi dan misi Cakrawayu dipandang sejalan dengan semangat Desa Pakraman terutama bagi pembangunan dan penataan pakraman, maka Cakrawayu menghimbau Desa Pakraman, agar menolak Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Begitu juga Gubernur Bali beserta Bupati dan Walikota di Bali dihimbau, agar turut serta menolak Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diberlakukan di Bali, bila hendak mewujudkan masyarakat Bali yang aman, mandiri, adil, dan sejahtera berdasarkan tradisi Bali. Apalagi Bali dalam konstruksi palemahan, pawongan, dan parhyangan mewarisi keindahan alam, keluhuran tradisi, dan kesucian agama Hindu yang bagi orang Bali merupakan sumber kesejahteraan Desa Pakraman.
Tulisan dimuat atas seijin :
IB. Adnyana
Wakil Ketua
Ormas Cakrawayu
Jooos Gandos
ReplyDelete