Isu kenaikan harga BBM memicu antrean panjang di setiap SPBU |
Dewata News.Com – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
menolak rencana pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla menaikan harga BBM
bersubsidi. Menaikan harga BBM dinilai sebagai cerminan sikap pemerintah yang
tidak merasakan kegelisahan masyarakat yang hingga saat ini masih terbelenggu
dengan kemiskinan, pengangguran dan rendahnya daya beli.
"Keputusan menaikan harga BBM
tidak tepat dan GMNI dengan tegas menolak," ujar Ketua Presidium
GMNI Twedy Noviady dalam surat elektroniknya, Minggu (02/11).
Menurut dia kenaikan harga BBM
akan memberikan dampak yang luar biasa khususnya bagi rakyat kecil, dimana akan
memicu kenaikan harga kebutuhan pokok. Tidak hanya itu, putra Karo ini
menegaskan kalau rencana kenaikan harga BBM yang telah diwacanakan pemerintah
mendorong beberapa pihak menimbun dan menyeludupkan BBM, pekerjaan rumah yang
selama ini tidak mampu diselesaikan pemerintah.
"Akhirnya terjadi kelangkaan
minyak di beberapa wilayah di Indonesia. Hal ini terjadi karena BBM ditimbun
oleh pihak yang tidak bertanggungjawab," ujar Twedy.
Beberapa argumentasi pemerintah
untuk menaikkan harga BBM menunjukkan sikap jalan pintas pemerintah bahkan
cenderung reaksioner terhadap fenomena kenaikan harga minyak dunia. Selain
alasan tersebut, kata Twedy, pemerintah berkilah bahwa beban APBN sudah berat.
Anggaran subsidi yang selama ini dianggap membebani APBN merupakan cara pandang
pemerintah yang keliru dan telah menghianati Pasal 33 UUD RI 1945.
Isi BBM di salah satu SPBU |
Twedy mengatakan kalau konstitusi
sudah jelas mengamanatkan bahwa anggaran pembangunan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat merupakan kewajiban negara (pemerintah). Anggaran subsidi
untuk rakyat adalah amanat konstitusi, salah satu mandat yang diabaikan
pemerintah.
Paradigma pemerintah yang menganggap
subsidi merupakan beban dan harus dikurangi bahkan dihilangkan merupakan bukti
nyata kebijakan neolib pemerintah dan melanggar UUD RI 1945.
"Faktanya, pemerintah lebih
memilih mengurangi anggaran subsidi daripada mengatasi kebocoran anggaran APBN
sekitar 30 persen seperti yang dilansir ICW. Padahal, bila kebocoran anggaran
tersebut diatasi maka defisit anggaran yang selama ini dikeluhkan pemerintah
bisa diatasi," ujarnya.
Selain itu, defisit APBN juga dapat
diatasi melalui peningkatan penerimaan pajak. Sudah kita ketahui bersama bahwa
penerimaan pajak masih belum maksimal. Ini terlihat dari rasio kepatuhan pajak
WP badan yang hanya mencapai 32,72 persen dari total 1,59 juta perusahaan, jauh
lebih rendah dari WP orang pribadi yang mencapai 54,72 persen.
Belum lagi presentase pembayaran
bunga dan cicilan pokok utang luar negeri dalam APBN 2014 yang sangat besar
mencapai Rp 421,140 triliun (23 persen dari total belanja negara). Sementara alokasi untuk beberapa
kementian dan lembaga yang lain jauh dibawah cicilan utang luar negeri, seperti
fungsi anggaran sosial (Rp 91,8 triliun), kesehatan (Rp 70,5 triliun),
pertahanan (Rp 83 triliun), pendidikan (Rp 95,6 triliun) bahkan ekonomi (Rp
368,9 triliun). Kemudian, anggaran kemiskinan (Rp 134,5 triliun), anggaran
untuk ketahanan pangan (Rp 72,4 triliun) dan anggaran untuk infrastruktur (Rp
206,6 triliun).
Beban inilah, katanya, yang membuat
APBN tidak lagi optimal sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi, jaminan kesehatan
serta akses pendidikan yang murah dan bermutu bagi rakyat.
"Lucu juga kalau pemerintah
mendorong rakyat untuk berhemat tapi pemerintah tiap tahun menambah jumlah
utang. Total utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 3,317 triliun,"
katanya.(DN~RMOL).—
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com