Ratu
Peranda (Ida Pedanda) Giri dari Geriya Jagaraga mengatakan, Tumpek Landep
berasal dari kata Tumpek yang berarti Tampek atau dekat dan Landep yang berarti
Tajam, sehingga dalam konteks filosofis, Tumpek Landep merupakan tonggak
penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran).
”Dengan
demikian umat selalu berperilaku berdasarkan kejernihan pikiran dengan landasan
nilai-nilai agama, karena dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah dan
memilih mana yang baik dan mana yang buruk,” ujar Ida Pedanda Giri didampingi Peranda Istri, Sabtu (18/10).
Ia
mengungkapkan, Tumpek landep merupakan hari raya pemujaan kepada Sang Hyang
Siwa Pasupati sebagai dewanya taksu. Jadi setelah mempertingati Hari Raya
Saraswati sebagai perayaan turunnya ilmu pengetahuan, umat memohonkan agar ilmu
pengetahuan tersebut bertuah atau memberi ketajaman pikiran dan hati.
Menurutnya, pada rerainan tumpek landep juga dilakukan upacara
pembersihan dan penyucian aneka pusaka leluhur seperti keris, tombak dan
sebagainya, sehingga masyarakat awam sering menyebut Tumpek Landep sebagai
otonan besi. Namun seiring perkembangan jaman, makna tumpek landep menjadi bias
dan semakin menyimpang dari makna sesungguhnya.
Sekarang ini, kata dia, masyarakat justru memaknai tumpek landep lebih sebagai upacara untuk motor, mobil serta peralatan kerja dari besi. Sesungguhnya ini sangat jauh menyimpang.
Sekarang ini, kata dia, masyarakat justru memaknai tumpek landep lebih sebagai upacara untuk motor, mobil serta peralatan kerja dari besi. Sesungguhnya ini sangat jauh menyimpang.
Dia tidak
menampik, pada rerainan Tumpek Landep melakukan upacara terhadap motor, mobil
dan peralatan kerja, namun jangan melupakan inti dari pelaksanaan Tumpek Landep
itu sendiri yang lebih menitik beratkan agar umat selalu ingat untuk mengasah
pikiran (manah), budhi dan citta.
”Dengan
manah, budhi dan citta yang tajam diharapkan umat dapat memerangi kebodohan,
kegelapan dan kesengsaraan. Ritual Tumpek Landep sesungguhnya mengingatkan umat
untuk selalu menajamkan manah, sehingga mampu menekan perilaku buthakala yang
ada di dalam diri,” imbuhnya.
Ia juga mengatakan, jika menilik pada makna rerainan, sesungguhnya upacara terhadap motor, mobil ataupun peralatan kerja lebih tepat dilaksanakan pada Tumpek Kuningan, yaitu sebagai ucapan syukur atas anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas sarana dan prasarana, sehingga memudahkan aktifitas umat, serta memohon agar perabotan tersebut dapat berfungsi dengan baik dan tidak mencelakakan.
Tumpek
landep, menurut dia, adalah tonggak untuk mulat sarira (introspeksi diri) untuk
memperbaiki karakter agar sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Pada rerainan tumpek
landep hendaknya umat melakukan persembahyangan di sanggah/ merajan serta di
pura, memohon wara nugraha kepada Ida Sang Hyang Siwa Pasupati agar diberi ketajaman
pikiran sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat.
Pada
rerainan tumpek landep juga dilakukan pembersihan dan penyucian pusaka warisan
leluhur. Bagi para seniman, tumpek landep dirayakan sebagai pemujaan untuk
memohon taksu agar kesenian menjadi lebih berkembang, memperoleh apresiasi dari
masyarakat serta mampu menyampaikan pesan - pesan moral guna mendidik dan
mencerdaskan umat.
Ia menegaskan,
Tumpek Landep bukan rerainan untuk mengupacarai motor, mobil ataupun perabotan
besi, tetapi lebih menekankan kepada kesadaran untuk selalu mengasah pikiran
(manah), budhi dan citta untuk kesejahteraan umat manusia,” tutupnya. (*).—
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com