Perjuangan non-Fisik Ada di Tangan Penulis - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

8/16/14

Perjuangan non-Fisik Ada di Tangan Penulis




Buleleng, Dewata News.Com   Mengutip kegiatan kaum cendekiawan di abad ke 18 – 19, penulis A.A.Pandji Tisna mempunyai wawasan yang luas. Padahal tak pernah ia keluar kampungnya melawat, dengan tulisan-tulisannya yang sampai saat ini tak terkalahkan. Melalui tulisan-tulisannya yang pernah menguraikan, bahwa segalanya mengarah pada ratio ilmu pengetahuan dan bukanlah pengetahuan itu mengarah pada segala hal.                                                   

      Dengan demikian, sudah sepatutnya bangsa memiliki bahan pertimbangan yang matang demi kemajuan umat manusia. Dengan singkat saya katakan, bahwa perjuangan non-fisik ada di tangan penulis, pemikir yang sadar dan tahu akan kewajibannya, menunjukkan jiwa aristokrasi dalam arti yang luas. 

      Bali, dan Bumi Panji Sakti mempunyai penulis Anak Agung Pandji Tisna. Dengan tulisan-tulisannya, di antaranya Sukreni Gadis Bali telah mendapat penghargaan untuk cetakan ke-10. Penghargaan yang kecil, mungkin isi karyanya belum memenuhi peremintaan zaman sekarang, tetapi cetakan ke-10 dari sekian tahun masih bisa di ulang, dipertahankan oleh peminat-peminatnya, adalah bagi saya suatu ciri yang menggembirakan, mengingat A.A.Pandji Tisna pada waktu itu masih berumur 24 tahun.
                                                                         

    Bagi saya, bukanlah itu yang sangat berkesan, melainkan juga pandangan kita terhadap perkembangan dan nilai-nilai perjuangan zaman itu. Mulanya pemerintah Hindia Belanda, seperti kita ketahui, hendak memberikan informasi melalui adanya mass media zaman kolonial, dimana semua peminat terarah dan terkontrol pendidikannya.

     Balai Pustaka (BP) pertamakali didirikan tanggal 14 September 1908, degan nama Komisi Bacaan Rakyat (Commissioe voor de Inlandscshe School asn Volkslektuur). Memang makna dan tujuan dari adanya Bacaan Rakyat itu adalah usaha pemerintah Hindia Belanda untuk kaum peribumi menjaga dan menghindari akan masukan buku-buku yang kurang suci dan istimewa bagi mereka yang hendak mengacau ketertiban pemerintahan Hindia Belanda tersebut, seperti penjelasan bekas sekretarisnya BP, Dr.A.Rinkes.             

   Pemerintah Indonesia mengambil alih BP pada tahun 1976 dan mendapat pernaungan dibawah Departemen P dan K. Meninjau dari sejarahnya, disisi perjuangan fisik di Indonesia, adalah BP suatu tempat utama bagi kaum cendikiawan dari segela pelosok bumi Nusantara, yang disebut secara tak langsung, pusat pencurahan isi hati rakuyat dalam bentuk naskah-naskah. Kita juga mengetahui, bahwa penerbitan buku-buku dalam bahasa daerah dimulai, dan roman pertama dalam bahasa Sunda.

     Kemudian menyusul dalam bahasa Indonesia bercorak Melayu. Tahun 1920 terbit naskahnya Merari Siregar dengan jurul “Azab dan Sensara seorang anak gadis”. Dua tahun kemudian muncul “Siti Nurbaya” dari Marah Rusli dan pada tahun yang sama Muhamad Kasim menulis “Muda Teruna”.

     Dengan pesat perkembangan pada tahun 1928-1929 muncul “Salah Pilih” karya N.St.Iskandar dan “Salah Asuhan” dari Abdul Moeis. Tak lupa menyebutkan “Sengsara membawa Nikmat” dari Sutan Sati. Begitu juga pada tahun-tahun yang sama, kita lihat karya Sutan Takdir Alisyabana berjudul “:Tak putus dirundung malang”. Semua ini mencerminkan suatu kesadaran rakyat, bercorak drama, tragik dan sebagian terdapat kesan-kesan yang mewarnai sindiran nasib di zaman itu.

   Dengan adanya majalah Pujangga Baru, maka mulailah tergolong menurut kelompoknya. Sampai tahun duapuluhan yang banyak dipengaruhi oleh penulis-penulis Belanda, sejak tahun 1880, disebut Pujangga Lama.

    Sutan Takdir Alisyabana sesudah memimpin redaksi di BP menggantikan Adinegoro, maka mulai ada sayembara tulis menulis. Yang menamakan Pujangga Baru adalah kelompok sesudah tahun tigapuluhan.  Disini terlihat Sutan Takdir Alisyabana berpedoman dengan pengaruh barat,  tapi pada saat yang sama ada kelompokl lain, seperti adanya mencari ilham dari pusaka kebudayaan Indonesia klasik, misalnya Armijn Pane, Sanusi Pane, dan terutama Amir Hamzah.

 ~~~ Puri Buleleng ~~~
    Kritikus sastra, kita kenal HB.Yasin sebagai pengasuh dan penilai, mewakili pandangan khalayak ramai. Sekalipun tidak tertera dikelompok tersebut, nama A.A.Pandji Tisna, tapi dari segi waktu dan sumber karyanya mengutamakan sejarah pribumi bolehlah digolongkan pada kelompok terakhir dalam peralihan zaman.

    Timbulnya angkatan Pujangga Baru sesudah berakhirnya perang dunia II memang sudah diramalkan sebelumnya, dan itu sudah lazim.        
    Masih banyak nama-nama yang mungkin tak bolah kita abaikan, tapi singkatnya BP adalah titik tolak perjuangan bangsa kita dalam gerakan non fisik. Tidak ada logika dalam hal ini, bilamana kita abaikan kekuatan mental itu terhadap perjuangan fisik. Ambil contoh-contohnya, tahun 1940 muncul buku “Manusia Baru” tahun itu juga ada naskah “Belenggu” Tahun 1922 ada puisi “Tanah Air” dan tahun 1929 ada bernama “Indonesia Tumpah Darahku” puisi dari Muhamad Yamin. Semuanya ini terjadi sebelum meledaknya perjuangan fisik di Indonesia.                                                                                 
                                                            
    Boleh saya kutip peristiwa di negara-negara maju, sebagai perbandingan saja. Dimana sering suasana bermula bertolak dari strategi tulis-menulis, mencurahkan buah pikiran mereka, sebelum mereka ada kesepakatan untuk mobilisasi kepentingan rakyat. Seperti misalnya, sepintas di negeri Belanda, akibat penindasan rezim Nazi sebelum perang dunia ke II, mengobarkan semangat penyair bangsa itu.

    Kalau kita mengalih kepada negara lebih besar, seperti Perancis misalnya, pengarang-pengarang itu menyodorkan buah pikiran bagi sesamanya, pendorong mental, sehingga keuletan berjuang dan persiapan mental telah tersedia. Bukannya perjuangan fisik saja yang menjadi pedoman di khalayak ramai, juga permasalahan kepuasan dan ketidak-adilan dapat tercermin didalamnya. Apa yang kita kutip dari kegiatan-kegiatan kaum cendekiawan di abad ke 18 – 19, tak terkalahkan yang pernah menguraikan, bahwa meninjau dari batas kemampuan manusia. Bahwa segalanya mengarah pada ratio ilmu pengetahuan dan bukanlah pengetahuan itu mengarah pada segala hal. Maka, dengan demikian bangsanya memiliki bahan pertimbangan yang matang demi kemajuan umat manusia.

      Hal ini, menurut hemat saya, ini-pun seharusnya berlaku di tanah air kita. Dengan singkat saya katakan, bahwa perjuangan non-fisik ada di tangan penulis, pemikir yang sadar dan tahu akan kewajibannya, menunjukkan jiwa aritokrasi dalam arti yang luas, seperti Anak Agung Pandji Tisna.
                                                                   
     Panji Tisna yang ningrat memilih hidup sebagai sastrawan dan memilih hidup dalam komunitas masyarakat kebanyakan, merupakan fenomena yang sangat inspiratif bagi komunitas yang terkadang secara instan ingin mencapai kualitas hidup pada tataran lebel atau status sosial tertentu.

      Masih terukir dalam benak saya, di era tahun 1970-an penampilan dari kesederhanaan Panji Tisna. Ketika Made Sukada yang dosen di Fakultas Sastra Universitas Udayana mengajak para mahasiswa bertemu Panji Tisna, saya selalu menjembatani dan mendampingi di Hotel Tasik Madu, Lovina. Bahkan, Panji Tisna tidak jarang mengunjungi stasiun Radio Republik Indonesia di Singaraja saat saya mengasuh ruang sastra Sanggar Embun Pagi.

    Dalam perspektif kekinian sang Punjangga tidak saja menorehkan catatan keteladanan dalam konteks kesusastraan, tetapi dalam kerangka mendesain personal untuk menjadi manusia kultural secara sederhana.

    Bertolak dari fakta real tentang sosok sang pujangga dalam blantika jagat sastra Indonesia, sebagai ”mutiara” yang dimiliki Bali, sebaiknyalah kita perlu merekonstruksi persepsi dan sensibilitas kita terhadap Panji Tisna sebagai salah satu simbol kebanggaan milik masyarakat yang sepantasnya tidak saja diwarisi karya dan semangat kulturalnya. Tetapi bagaimana mendesain daya impresi kita untuk menghargai Sang Punjangga secara proporsional.

   Dalam hal ini juga saya lihat, bahwa Balai Pustaka adalah salah satu lembaga yang andal buat cermin rohani perjuangan itu. Dan tentu dalam pemeliharaan kesatuan bahasa Indonesia yang terarah, melukiskan pikiran-pikiran dan pengalaman-pengalaman yang sama maupun berbeda demi Kesatuan Negara Republik Indonesia. (Tirthayasa Made) —

Tulisan ini terinspirasi dalam suasana Kemerdekaan RI ke-69

No comments:

Post a Comment

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com