Buleleng, Dewata News.Com – Mengutip kegiatan kaum cendekiawan di abad ke 18 – 19, penulis A.A.Pandji Tisna mempunyai wawasan yang luas. Padahal tak pernah ia keluar kampungnya melawat, dengan tulisan-tulisannya yang sampai saat ini tak terkalahkan. Melalui tulisan-tulisannya yang pernah menguraikan, bahwa segalanya mengarah pada ratio ilmu pengetahuan dan bukanlah pengetahuan itu mengarah pada segala hal.
Dengan demikian, sudah
sepatutnya bangsa memiliki bahan pertimbangan yang matang demi kemajuan umat
manusia. Dengan singkat saya katakan, bahwa perjuangan non-fisik ada di tangan
penulis, pemikir yang sadar dan tahu akan kewajibannya, menunjukkan jiwa
aristokrasi dalam arti yang luas.
Bali, dan Bumi Panji Sakti
mempunyai penulis Anak Agung Pandji Tisna. Dengan tulisan-tulisannya, di
antaranya Sukreni Gadis Bali telah mendapat penghargaan untuk cetakan ke-10.
Penghargaan yang kecil, mungkin isi karyanya belum memenuhi peremintaan zaman
sekarang, tetapi cetakan ke-10 dari sekian tahun masih bisa di ulang,
dipertahankan oleh peminat-peminatnya, adalah bagi saya suatu ciri yang
menggembirakan, mengingat A.A.Pandji Tisna pada waktu itu masih berumur 24
tahun.
Bagi saya, bukanlah itu yang sangat berkesan,
melainkan juga pandangan kita terhadap perkembangan dan nilai-nilai perjuangan
zaman itu. Mulanya pemerintah Hindia Belanda, seperti kita ketahui, hendak
memberikan informasi melalui adanya mass media zaman kolonial, dimana semua
peminat terarah dan terkontrol pendidikannya.
Balai Pustaka (BP) pertamakali didirikan tanggal 14 September 1908,
degan nama Komisi Bacaan Rakyat (Commissioe voor de Inlandscshe School asn
Volkslektuur). Memang makna dan tujuan dari adanya Bacaan Rakyat itu adalah
usaha pemerintah Hindia Belanda untuk kaum peribumi menjaga dan menghindari
akan masukan buku-buku yang kurang suci dan istimewa bagi mereka yang hendak
mengacau ketertiban pemerintahan Hindia Belanda tersebut, seperti penjelasan
bekas sekretarisnya BP, Dr.A.Rinkes.
Pemerintah Indonesia mengambil alih BP pada tahun 1976 dan mendapat
pernaungan dibawah Departemen P dan K. Meninjau dari sejarahnya, disisi
perjuangan fisik di Indonesia, adalah BP suatu tempat utama bagi kaum
cendikiawan dari segela pelosok bumi Nusantara, yang disebut secara tak
langsung, pusat pencurahan isi hati rakuyat dalam bentuk naskah-naskah. Kita
juga mengetahui, bahwa penerbitan buku-buku dalam bahasa daerah dimulai, dan
roman pertama dalam bahasa Sunda.
Kemudian menyusul dalam bahasa Indonesia bercorak Melayu. Tahun 1920
terbit naskahnya Merari Siregar dengan jurul “Azab dan Sensara seorang anak
gadis”. Dua tahun kemudian muncul “Siti Nurbaya” dari Marah Rusli dan pada
tahun yang sama Muhamad Kasim menulis “Muda Teruna”.
Dengan pesat perkembangan pada tahun
1928-1929 muncul “Salah Pilih” karya N.St.Iskandar dan “Salah Asuhan” dari
Abdul Moeis. Tak lupa menyebutkan “Sengsara membawa Nikmat” dari Sutan Sati.
Begitu juga pada tahun-tahun yang sama, kita lihat karya Sutan Takdir
Alisyabana berjudul “:Tak putus dirundung malang”. Semua ini mencerminkan suatu
kesadaran rakyat, bercorak drama, tragik dan sebagian terdapat kesan-kesan yang
mewarnai sindiran nasib di zaman itu.
Dengan adanya majalah Pujangga Baru, maka mulailah tergolong menurut
kelompoknya. Sampai tahun duapuluhan yang banyak dipengaruhi oleh
penulis-penulis Belanda, sejak tahun 1880, disebut Pujangga Lama.
Sutan Takdir Alisyabana sesudah memimpin redaksi di BP menggantikan
Adinegoro, maka mulai ada sayembara tulis menulis. Yang menamakan Pujangga Baru
adalah kelompok sesudah tahun tigapuluhan.
Disini terlihat Sutan Takdir Alisyabana berpedoman dengan pengaruh
barat, tapi pada saat yang sama ada
kelompokl lain, seperti adanya mencari ilham dari pusaka kebudayaan Indonesia
klasik, misalnya Armijn Pane, Sanusi Pane, dan terutama Amir Hamzah.
~~~ Puri Buleleng ~~~ |
Timbulnya angkatan Pujangga Baru
sesudah berakhirnya perang dunia II memang sudah diramalkan sebelumnya, dan itu
sudah lazim.
Masih banyak nama-nama yang mungkin tak bolah kita abaikan, tapi
singkatnya BP adalah titik tolak perjuangan bangsa kita dalam gerakan non
fisik. Tidak ada logika dalam hal ini, bilamana kita abaikan kekuatan mental
itu terhadap perjuangan fisik. Ambil contoh-contohnya, tahun 1940 muncul buku
“Manusia Baru” tahun itu juga ada naskah “Belenggu” Tahun 1922 ada puisi “Tanah
Air” dan tahun 1929 ada bernama “Indonesia Tumpah Darahku” puisi dari Muhamad
Yamin. Semuanya ini terjadi sebelum meledaknya perjuangan fisik di Indonesia.
Boleh saya kutip peristiwa di negara-negara maju, sebagai perbandingan
saja. Dimana sering suasana bermula bertolak dari strategi tulis-menulis,
mencurahkan buah pikiran mereka, sebelum mereka ada kesepakatan untuk
mobilisasi kepentingan rakyat. Seperti misalnya, sepintas di negeri Belanda,
akibat penindasan rezim Nazi sebelum perang dunia ke II, mengobarkan semangat
penyair bangsa itu.
Kalau kita mengalih kepada negara lebih besar, seperti Perancis
misalnya, pengarang-pengarang itu menyodorkan buah pikiran bagi sesamanya,
pendorong mental, sehingga keuletan berjuang dan persiapan mental telah
tersedia. Bukannya perjuangan fisik saja yang menjadi pedoman di khalayak
ramai, juga permasalahan kepuasan dan ketidak-adilan dapat tercermin
didalamnya. Apa yang kita kutip dari kegiatan-kegiatan kaum cendekiawan di abad
ke 18 – 19, tak terkalahkan yang pernah menguraikan, bahwa meninjau dari batas
kemampuan manusia. Bahwa segalanya mengarah pada ratio ilmu pengetahuan dan
bukanlah pengetahuan itu mengarah pada segala hal. Maka, dengan demikian
bangsanya memiliki bahan pertimbangan yang matang demi kemajuan umat manusia.
Hal ini, menurut hemat saya, ini-pun seharusnya
berlaku di tanah air kita. Dengan singkat saya katakan, bahwa perjuangan non-fisik ada di tangan penulis,
pemikir yang sadar dan tahu akan kewajibannya, menunjukkan jiwa aritokrasi
dalam arti yang luas, seperti Anak Agung Pandji Tisna.
Panji Tisna yang ningrat memilih
hidup sebagai sastrawan dan memilih hidup dalam komunitas masyarakat
kebanyakan, merupakan fenomena yang sangat inspiratif bagi komunitas yang
terkadang secara instan ingin mencapai kualitas hidup pada tataran lebel atau
status sosial tertentu.
Masih terukir dalam benak saya, di era tahun 1970-an penampilan dari
kesederhanaan Panji Tisna. Ketika Made Sukada yang dosen di Fakultas Sastra
Universitas Udayana mengajak para mahasiswa bertemu Panji Tisna, saya selalu
menjembatani dan mendampingi di Hotel Tasik Madu, Lovina. Bahkan, Panji Tisna
tidak jarang mengunjungi stasiun Radio Republik Indonesia di Singaraja saat
saya mengasuh ruang sastra Sanggar Embun Pagi.
Dalam perspektif kekinian sang Punjangga tidak saja menorehkan catatan
keteladanan dalam konteks kesusastraan, tetapi dalam kerangka mendesain
personal untuk menjadi manusia kultural secara sederhana.
Bertolak dari fakta real tentang
sosok sang pujangga dalam blantika jagat sastra Indonesia, sebagai ”mutiara”
yang dimiliki Bali, sebaiknyalah kita perlu merekonstruksi persepsi dan
sensibilitas kita terhadap Panji Tisna sebagai salah satu simbol kebanggaan
milik masyarakat yang sepantasnya tidak saja diwarisi karya dan semangat
kulturalnya. Tetapi bagaimana mendesain daya impresi kita untuk menghargai Sang
Punjangga secara proporsional.
Dalam hal ini juga saya lihat, bahwa Balai Pustaka adalah salah satu
lembaga yang andal buat cermin rohani perjuangan itu. Dan tentu dalam
pemeliharaan kesatuan bahasa Indonesia yang terarah, melukiskan pikiran-pikiran
dan pengalaman-pengalaman yang sama maupun berbeda demi Kesatuan Negara
Republik Indonesia. (Tirthayasa Made) —
Tulisan ini terinspirasi dalam suasana Kemerdekaan RI ke-69
Tulisan ini terinspirasi dalam suasana Kemerdekaan RI ke-69
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com