Mengungkit Industri Film Buleleng Tahun 1970, Diproduksi Sendiri dan Diputar Keliling Desa - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

6/27/14

Mengungkit Industri Film Buleleng Tahun 1970, Diproduksi Sendiri dan Diputar Keliling Desa


Dewata News - Buleleng

GARAPAN sineas masa kini tentu saja tak bisa dibandingkan dengan garapan film dari orang-orang lokal masa lampau. Kini dunia sinema bergelimang sponsor, alat yang canggih dan talenta filmmaker yang dengan pendidikan profesional tak mungkin bisa diragukan lagi. Dulu, 36 tahun yang lalu, di kota kecil Singaraja, orang-orang film hanya mempunyai semangat yang menyala-nyala, namun tak memiliki pendidikan dan pengalaman yang semelimpah orang film pada zaman sekarang.  


"Saat mengambil gambar, kadang-kadang kami ragu-ragu, karena tak begitu tahu tentang mana yang benar dan mana yang bisa dianggap keliru. Semuanya seperti sebuah eksperimen, namun kami yakin bahwa kami sedang melakukan sesuatu, yakni film," kata Sentanu.  

Sesederhana apa pun proses yang dilakukan orang film di zaman lampau, segalanya memang harus dicatat. Bahwa Bali, khususnya Buleleng, pernah menorehkan sejarah dalam perkembangan dunia sinema. Dulu, mungkin peristiwa itu tak terpantau oleh Badan Perfilman Nasional atau apa pun nama lembaganya.

Bahkan mungkin tak tercatat dalam katalog perfilman nasional. Namun kini, segalanya harus mulai digali kembali, mulai dicatat dengan baik. Siapa tahu generasi lokal zaman sekarang, terutama yang punya minat dalam dunia sinema, bisa belajar dari semangat perfilman yang pernah menyala di suatu tempat di Singaraja.   
Penggalian itu kini mulai dilakukan Anak Agung Dino Suprayogi, putra dari Ngurah Sentanu. Dino mulai mengumpulkan berbagai benda yang berkaitan dengan proses pembuatan film yang dilakukan bapaknya tahun 1970-an. Ia pun kini mulai melakukan proses pengalihan master film ke DVD agar bisa diputar kembali tanpa menggunakan proyektor yang rumit itu. "Sudah dua film yang dialihkan ke DVD," kata Dino.

Setelah bisa diputar dengan mudah melalui DVD, rencana Dino bersama sejumlah pengemar film di Buleleng akan menggelar acara nonton bersama film-film masa lampau Buleleng. "Dari pemutaran ini bisa diharapkan tumbuh kembali semangat generasi muda untuk memasuki dunia sinema," ujarnya.  

Menurut Dino, banyak hal sesungguhnya bisa dipelajari dari proses pembuatan film tahun 1970-an itu. Misalnya tentang kesabaran dan kekompakan yang merupakan faktor utama dari proses terjadi sebuah film yang bagus. Saat itu semua pemain tampak sabar menghadapi proses pengambilan gambar yang penuh ragu, karena dilakukan oleh orang-orang amatir, dan sabar juga menunggu sampai film itu bisa dinikmati. Proses pengisian suara dilakukan di rumah Sentanu di Banyumala, lalu proses selanjutnya dilakukan di Australia.

"Saya masih kecil saat itu, tapi saya ingat betapa mereka begitu sabar mengisi suara, mengulang, salah lagi dan mengulang lagi, sampai film itu bisa dinikmati," kata Dino.

Masalahnya sekarang, siapakah yang memulai membantu untuk mencatat sejarah perfilman di Buleleng itu?

Di sekitar tahun 1970-1976 masyarakat Buleleng pernah mendapat suguhan film produk lokal. Judulnya yang pertama adalah KARMAPALA. Sambutan masyarakat luar biasa. Apalagi dalam tahun-tahun tersebut hiburan rakyat sangat minim. Gedung bioskop secara bisnis tidak lagi bisa bertahan. Kesenian lokal seperti drama gong dan sendratari mulai memudar. Dengan munculnya film berbahasa Bali produksi sebuah “home industry” yang dikenal dengan nama BHASKARA FILM memberi pancaran baru yang menyegarkan suasana hiburan rakyat. Film tersebut langsung populer dan menjadi tontonan hampir keseluruh pelosok desa. Film Karma Pala ini pernah di satu desa diputar selama enam malam terus menerus. Pemutaran film biasanya untuk menggali dana untuk kepentingan pembangunan seperti bangunan sekolah yang mangrak dan sarana pembangunan lainnya. Bukan saja di Buleleng, malahan film tersebut beredar hampir di seluruh pelosok desa di Bali, bahkan sampai ke Nusa Penida.

Karma Pala mendapat protes juga, karena lama putarnya hanya 90 menit. Kadangkala film sudah selesai tetapi penonton tidak mau bubar. Masyarakat sudah terbiasa nonton drama gong sampai daslemah atau hampir pagi.

Atas permintaan masyarakat maka diproduksilah film ke II dengan judul Maya Danawa yang durasinya sampai 3 jam. Produk ke III berjudul Jaya Umbara dan terakhir ke IV Titah Dewata. Sekarang ini, setelah lewat 30 tahun lebih dari kalangan masyarakat ada yang mempertanyakan keberadaan film-film tersebut. Untuk itu, maka film-film tersebut saat ini sedang diusahakan untuk direstorasi.

Film tersebut berbahan celluloid, berukuran Super 8 mm. Sedangkan peralatan yang dulu seperti projektor dan kelengkapan lainnya harus dicarikan onderdilnya yang sudah langka. Dengan kemajuan teknologi sekarang ini, film tersebut sedang dikonversi menjadi video digital dengan teknologi komputer. Namun ada masalah teknis lainnya seperti tata suara harus diatasi. Semoga dalam waktu dekat ini (Agustus) kita bisa menimaktinya kembali.

 CERITA SINGKAT FILM "KARMAPALA"

Di ceritakan seorang "tuan tanah" bernama GdeGentuh (nama khayalan)selalu berlaku licik terhadap orang lain. Caranya dengan menolong para petani dengan memberikan pinjaman uang. Namun  menekan petani dengan ancaman melanggar perjanjian, yang akhirnya petani menyerahkan tanah warisan dari pada masuk penjara.

Gde Gentuh, diperankan oleh A.A.Made Rai almarhum, memanjakan isterinya ( diperankan oleh Luh Suterimin dari Banyuning) maksudnya untuk menutupi rahasia kehidupannya di masa lalu lalu.

Satu-satunya anaknya laki, diperankan oleh A.A.Ngurah Sumpanaya, kena kecelakaan sehingga tewas, kejadian yang sangat memukul Gde Gentuh. Mulailah terungkap masa lalu hidupnya.......demkianlah Karmapala menimpa Gde Gentuh.

Pemeran Utama: 1. A.A. Made Rai, 2. Jero Dalang Mas Banyuning, 3. A.A. Ngurah Prima, 4. Wayan Sowanda, 5. A.A. Ngurah Sumpanaya, dan pendukung dari masyarakat Tukadmungga.

Mungkin banyak orang kaget jika mengetahui Buleleng pada awal tahun 1970 pernah memiliki semacam pusat industri film. Lokasinya di sebuah rumah sederhana di kawasan Banyumala, Jalan Ahmad Yani, Singaraja. Meski tak bisa disandingkan dengan industri film di Jakarta, apalagi dengan Bollywood di India atau Hollywood di AS. Namun untuk ukuran sebuah kota kecil, geliat industri film di Singaraja pada masa lampau itu bisa dijadikan sebuah tonggak sejarah besar dalam perkembangan sinema di Bali, bahkan Indonesia. Bagaimana sejarah munculnya industri film di Singaraja dan kenapa iklim yang sempat tumbuh itu kemudian hilang?

SULIT membayangkan pada tahun 1970-an berbagai desa di Buleleng, Karangasem, Jembrana dan kabupaten lain di Bali sempat disuguhi film produksi lokal Buleleng. Meski saat itu film nasional dengan pemain-pemain terkenal, seperti Bing Slamet bersama grup lawak Kwartet Jaya, sudah melanda dunia hiburan di pedesaan Bali, namun film produksi Singaraja tetap mendapat sambutan meriah. Justru karena film Bali Utara itu tak bisa dibandingkan dengan film nasional saat itu, terutama dari segi kekhasannya.

"Film dengan pemain orang-orang lokal Buleleng itu menggunakan bahasa Bali dengan kostum serta setting yang khas Buleleng, sehingga secara emosi para penonton merasa lebih dekat, akrab bahkan seperti ikut bermain di dalamnya," kata Anak Agung Ngurah Sentanu saat ditemui sedang mengumpulkan master film-film lama di rumahnya di Banyumala.

Ngurah Sentanu memang tak bisa dipisahkan dengan munculnya industri perfilman di Singaraja tahun 1970-an. Berawal dari kesukaannya bereksperimen dengan kamera, ia kemudian mendirinya semacam production house dengan nama Bhaskara Film, di mana ia sendiri bertindak sebagai produser, sutradara, penulis skenario, pencatat adegan, dan pekerjaan lainnya. Memang selama lima tahun ia hanya mampu memproduksi empat film, ''Karmapala'' (1970), ''Mayadenawa'' (1972), ''Jaya Umbara'' (1973) dan ''Titah Dewata'' (1974), namun demam film lokal yang ia ciptakan sempat mewabah hingga ke berbagai desa di Bali.

Awal kemunculan industri film di Singaraja itu diakui Sentanu sebagai sesuatu yang serba kebetulan. Begitu lulus dari STM elektro di Surabaya, ia bekerja serabutan sebagai bengkel radio dan alat-alat elektronik lainnya. Secara kebetulan ia kemudian bertemu dengan Drs. Kuna Winaya dari FKIP Unud (kini Undiksha). Saat itu ia diminta membuat pemancar radio Kumarastana di Jalan Pramuka Singaraja.

Kebetulan juga saat itu FKIP memiliki kamera yang oleh Kuna Winaya diberikan kepadanya untuk melakukan eksperimen.

Dari sekadar bermain-main dengan kamera itu kemudian terbersit di benak Sentanu untuk belajar memproduksi film. Kebetulan juga ia mendapat dukungan dari sejumlah teman seniman yang bersedia menjadi pemain tanpa memperhitungkan bayaran. Seperti sejumlah seniman di Banyuning, Tukadmungga dan Kalibukbuk. Ada juga pemain drama gong dari Penarungan yang sangat terkenal kala itu. Merasa mendapat dukungan, Sentanu kemudian memberanikan diri membeli sejumlah peralatan, seprti proyektor, alat dubbing, dan lain-lainnya.

Dengan modal semangat dan kekompakan, mulailah mereka membuat film "Karmapala". Dengan hasil yang tak bisa dibilang sempurna, film itu diputar keliling desa di Buleleng. Sungguh mengejutkan, film itu laku, penontonnya selalu melimpah. Bahkan, film itu bisa diputar dua kali dalam semalam di dua desa yang berjauhan.

Merasa dapat sambutan, Sentanu kemudian membuat film kedua dengan judul ''Mayadenawa''. Film ini dibuat secara kolosal dengan kisah klasik yang menceritakan perlawanan antara tokoh kebajikan dan kebatilan. Durasi film ini pun dua kali lipat lebih panjang dari ''Karmapala''. Jika ''Karmapala'' durasinya 1,5 jam, ''Mayadenawa'' 3 jam. "Ini karena penonton terbiasa menonton drama gong, sehingga minta durasinya diperpanjang," kenang Sentanu yang lahir 24 Desember 1937 itu.

Proses produksi ''Mayadenawa'' ini diakui sangat melelahkan. Proses pembuatannya pun dilakukan lebih dari 1,5 tahun. Selain karena kolosal, proses pembuatan film ini sempat dilanda masalah. Proses syuting sudah berjalan setengahnya, tiba-tiba pemain utama wanitanya mengundurkan diri karena menikah. Maka terpaksa pengambilan gambar diulang kembali dari awal. Namun, meski melelahkan, para kru dan pemain akhirnya menikmati kepuasan karena film kedua itu mendapat sambutan luar biasa dari penonton.

Film ketiga, ''Jaya Umbara'' (1973), dibuat dengan cerita dan setting lebih modern. Namun, film jenis ini ternyata kurang laku. Penonton tampaknya lebih suka cerita-serita klasik seperti ''Mayadenawa''. Maka pada produksi keempat kembali dibuat film gaya klasik berjudul ''Titah Dewata''. Film ini pun kembali mendapat sambutan, apalagi di dalamnya diselipi sejumlah adegan romantis yang bisa mengharu-biru penonton. 

Bhaskara Film yang dikelola Sentanu ini bisa dikatakan sebagai production house yang menggarap semua proses dari produksi hingga pemutaran keliling desa. Biasanya film itu diputar di desa-desa dengan sistem bagi hasil. Dari hasil penjualan tiket, Bhaskara dapat pembagian setengah, dan setengah lagi diambil panitia.

Harga tiket saat itu paling mahal sekitar Rp 25. Setiap kali pemutaran, biasanya terkumpul hasil penjualan tiket sekitar Rp 5.000 hingga Rp 10.000. Hasil pembagian yang diperoleh Bhaskara, setelah dipotong ongkos minyak mobil, makan dan minum sejumlah kru, paling tersisa bersih sekitar Rp 125 hingga Rp 150. Itu pun belum dihitung untuk biaya penyusutan alat-alat produski, kostum dan honor pemain. "Syukurnya, saat itu pemain tak banyak menuntut honor, apalagi royalti. Semua bekerja dengan senang dan penuh kekompakan," kata Sentanu.

Hasil pembagian untuk panitia biasanya dipakai untuk membangun fasilitas umum, seperti pembangunan pura, balai desa dan sekolah. Sentanu masih ingat, di Desa Tukadsumaga, Gerokgak, panitia sampai bisa membeli jendela untuk melengkapi peralatan sekolah di desa itu.

"Baru-baru ini saya bertemu seorang guru di Tukadsumaga yang mengaku masih terharu karena bisa membeli jendela sekolah dari hasil pemutaran film made in Buleleng," ujar Sentanu.

Namun setlah film keempat, produksi Bhaskara pun terhenti. Itu terjadi ketika film-film impor begitu mudah masuk ke desa-desa. Melalui seorang broker di Singaraja, film-film nasional maupun film India dan Hongkong mulai merajalela di Buleleng.

Selain biayanya murah karena hanya menyewa dan bukan memproduksi, judul-judul film itu bisa berganti-ganti setiap minggu. Penonton kala itu sesungguhnya masih kangen untuk menonton film produksi lokal, namun mereka menginginkan agar setiap minggu bisa berganti judul. "Itu mustahil, satu film saja harus dikerjakan selama setahun," tandas Sentanu. (DN - BP)

2 comments:

  1. Terima kasih kepada Dewatanews.com / Sdr. Adnyana Ole, mengangkat "industri film" yang pernah ada di Buleleng Teruskan tugasnya memberikan informasi untuk masyarakat luas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih atas respon dan masukannya, semoga Dewata News dapat bermanfaat sebagai Media Partner Informasi Anda .
      Jika memiliki artikel yang ingin dimuat di Dewata News, bisa mengirimkannya ke email : adingurah@kawanmedia.net . suksma

      Delete

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com