Peran utama serikat jurnalis adalah mendukung terciptanya praktek-praktek jurnalisme yang menjalankan fungsi-fungsi tanggung jawab sosial media di masyarakat. Siebert et.al. (1956, dalam Adaja, 2012) memaparkan fungsi tanggung jawab sosial media adalah sebagai berikut: Pertama, melayani sistem politik dengan membuat informasi, diskusi, dan pertimbangan-pertimbangan kepentingan publik agar bisa diakses siapa saja; Kedua, untuk menginformasikan kepada publik untuk mengambil tindakan pribadi; Ketiga, untuk menjamin hak individu dengan menjadi anjing penjaga pemerintah; dan Keempat, untuk melayani sistem ekonomi, misalnya dengan menghubungkan pembeli dan penjual melalui iklan.
Terkait dengan momentum Pemilihan Presiden 2014, media sosial memiliki
peran yang cukup signifikan dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat
tentang sosok pemimpin Indonesia di masa mendatang. Pemimpin yang akan membawa
misi perubahan bagi Indonesia minimal 5 tahun mendatang. Pemimpin yang akan
merubah wajah pendidikan putra-putri Indonesia, pemimpin yang akan merubah
nasib kaum buruh, wajah ekonomi, sosial budaya, wajah birokrasi, pertahanan
keamanan hingga hubungan luar negeri (Internasional).
Berkaitan dengan hal tersebut, media sebagai jembatan yang menghubungkan
antara harapan masyarakat dan tujuan yang ingin diciptakan oleh calon presiden
tentu harus dapat bersikap netral dan profesional. Mengedepankan sisi-sisi
idealisme dan kebaikan umat, sehingga dapat tercipta kesamaan frame tentang
grand desain Indonesia di masa depan.
Untuk itu, partisipasi media dalam pemilu perlu memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan mengedapankan prinsip keadilan dan
independensi Pers. Banyak batasan-batasan serta larangan yang perlu diketahui
media dalam menjalankan kerja Pers, terutama terkait momentum tahun politik,
sehingga tidak cenderung black campaign.Larangan tersebut terkait dengan
menjual blocking segment atau blocking time untuk kampanye Pemilu, menerima
program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan
sebagai iklan kampanye Pemilu, serta ketidakberimbangan atas pemberitaan dan
pemberian iklan yang diberitakan atau disiarkan oleh media.
Pertumbuhan partai politik dan media massa muncul bersamaan sebagai
produk reformasi, dan keduanya menjadi pilar terpenting dalam demokratisasi di
Indonesia. Media massa yang demikian bebas diharapkan mampu memberikan akses
informasi yang beragam bagi kebutuhan masyarakat. Setiap saat curahan informasi
sedemikian masif, mencoba mengambil alih ruang publik dan membentuk kesadaran
massa. Tak terkecuali informasi politik terkait kontestasi antar parpol maupun
kandidat capres/cawapres yang diusungnya. Pers sebagai pilar demokrasi jangan
sampai memperburuk demokrasi itu sendiri. Media perlu memperhatikan kode etik
jurnalistik (KEJ) dan/atau pedoman prilaku penyiaran dan standar pedoman
penyiaran (P3SPS) bagi media TV, koran maupun media online. Media harus mampu
menjaga netralitas dan profesionalismenya di tengah masyarakat, jangan sampai
terkooptasi oleh kepentingan pemilik modal.Media massa harus menyadari perannya
sebagai bagian dari pilar demokrasi yang penting. Kedudukan ini menempatkan media massa pada
posisi tanggungjawab yang besar dalam proses politik, termasuk Pilpres.
Dalam konteks kontestasi pilpres, netralitas dan objektifitas media
massa akan menambilkan postur media massa sebagai sumber informasi penting bagi
publik atas rekam jejak, visi misi dan program pembangunan yang diusung oleh
tiap pasangan capres/cawapres.Hal itu dapat terjadi jika ada kesadaran internal
bagi para pelaku industri media massa untuk melihat kepentingan bangsa yang
lebih luas.
Terkait hal tersebut, berdasarkan pemantauan media yang dilakukan The
Indonesian Institute menyebutkan isi berita media massa selama masa kampanye
terbuka 15 Maret hingga 5 April 2014 larut dalam kepentingan elit pemilik
dibandingkan dengan urusan publik. “Media massa yang seharusnya menyajikan
berita-berita yang objektif dan berimbang malah ikut larut dalam kepentingan
para elit pemilik media dibandingkan dengan kepentingan publik,” kata peneliti
TII Arfianto Purbolaksono di Jakarta.
Arfianto menjelaskan kaitan kepemilikan media oleh politisi terhadap
pemberitaan kampanye hasil media monitoring TII selama masa kampanye terbuka
itu, pemberitaan media massa tidak terlepas dari kepentingan parpol pemilik
media tersebut.Media massa sebagai pilar keempat demokrasi seharusnya dapat
berperan membangun pendidikan politik yang sehat. Arfianto menambahkan dalam
beberapa kebijakan tersebut, telah dijelaskan mengenai pemberitaan bahwa semua
media harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh peserta pemilu. “Media
juga tidak mengedepankan kepentingan pemiliknya di atas kepentingan publik,”
katanya.
Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Ade Armando, pengamat
penyiaran publik dari Universitas Indonesia, karena banyak bos media menduduki
jabatan politik di partai, lembaga penyiaran publik menjadi rawan dipolitisasi.
“Masalah berbahaya nanti kalau media sudah jadi kepentingan politik”.
Terkait pemberitaan dan iklan di media, diharapkan agar Komisi Penyiaran
Indonesia dan Dewan Pers dan publik untuk melakukan pengawasan sesuai dengan
tugas dan kewenangan masing-masing, terutama terkait dengan pengawasan atas
pemberitaan, penyiaran dan iklan Kampanye Pemilu yang dilakukan oleh lembaga
penyiaran atau oleh media massa cetak, online dan elektronik.Selain persoalan
media massa, seluruh stakeholder yang terkait dengan kesuksesan pilpres juga
harus mengambil peranan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemilihan
Umum (KPU) maupun Bawaslu dapat menjalankan peran pengawasan potensi politisasi
media massa untuk kepentingan tertentu yang dapat mencederai azas free and fair
competetion dalam pilpres. Begitu pula dengan pasangan capres/cawapres serta
parpol pengusung hendaknya dapat memanfaatkan momentum sesuai dengan aturan
perundang-undangan serta bergerak pada upaya kompetisi yang kualitatif, tidak
hanya mengandalkan teknik-teknik pencitraan, tetapi lebih berbobot pada isu
konsep dan program pembangunan nasional.
Selain itu, diharapkan agar masyarakat bisa memantau pelanggaran hukum,
dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers dan melaporkannnya
ke Komisi Penyiaran Indonesia dan/atau Dewan Pers. Dengan demikian, wajah
demokrasi di Indonesia menjadi semakin matang. Semoga pemilu 2014 mampu
melahirkan pemimpin yang dapat membentuk Indonesia baru dengan sistem yang
lebih profesional dan berwibawa di mata Internasional. (DN~TiR).—
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com