Dewata News – Di Pemilu 2014, Partai Golkar punya asa besar, bisa memenangi medan pertempuran politik dan keluar sebagi jawara pesta demokrasi, serta bisa mengantarkan ketua umumnya, Pak Aburizal Bakrie, menjadi Presiden Republik Indonesia. Bisakah asa itu digapai?
Jadi
jawara pemilu, memang bukan perkara mudah. Tak segampang membalik telapak
tangan. Golkar, memang partai besar, bahkan partai dengan segudang pengalaman.
Tiga puluh tahun lebih, saat Pak Harto (Soeharto-red), berkuasa, beringin
tumbuh rimbun. Dibantu perangkat kekuasaan, mesin Golkar bunyinya paling
nyaring dalam setiap pemilu di era Orde Baru, sebutan rezim Pak Harto.
Tapi sejak Pak Harto lengser, hak-hak
istimewa yang selama ini dinikmati Golkar, satu persatu dipreteli. Tak ada lagi
jalur tentara dan birokrasi, yang selama ini efektif menjadi pupuk politik bagi
beringin, hingga pohon politiknya pun rimbun dan berjuntai. Pasca reformasi,
pupuk politik itu tak ada lagi. Beringin, mesti tumbuh dengan akar sendiri, tak
bisa lagi mengandalkan asupan pupuk dari penguasa.
Apalagi stigma sebagi partainya Orde
Baru, melekat kuat. Di awal reformasi, menguat tuntutan agar beringin ditebang
saja, alias dibubarkan. Sampai kemudian tiba pemilu 1999. Pesta politik ini pun
jadi pembuktian pertama dari beringin, pasca tak lagi menetek di ketiak
kekuasaan. Di tangan Akbar Tandjung, kemudi Golkar diarahkan. Hasilnya memang
masih bisa membuat para elit yang bernaung di bawah beringin menarik nafas
lega, meski udara politik yang dihirupnya
tak terlalu segar. Di pemilu 1999, Golkar bertengger di urutan dua klasmen
akhir perolehan
suara. Golkar berhasil mendulang 23,7 juta suara atau 21 persenan suara
nasional. Posisi pertama direbut PDI-P, partai yang dipimpin Ibu Megawati
Soekarnoputri, putri kandung mendiang Presiden RI pertama, Soekarno.
Partai banteng itu, meraup 35,6 juta suara atau 33,7 persen.
Saat itu, pemilihan presiden tak seperti
sekarang, masih dilangsungkan lewat sidang di Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Terjadi polarisasi menjelang pemilihan presiden. Ibu Megawati, sebagai
nakhoda partai yang meraih suara terbanyak dalam pemilu, jelas berambisi bisa
masuk Istana seperti ayahnya dulu. Tapi, kemudian muncul kekuatan lain yang
datang dari kelompok Islam politik yang dimotori Pak Amien Rais, dan juga
Bang Akbar Tandjung. Mereka sepertinya kurang sreg bila Ibu Mega jadi RI-1.
Ketika itu juga ramai fatwa tentang haramnya perempuan jadi pemimpin.
Pertarungan pun mengeras. Kelompok Pak Amien
dan kawan-kawan, kemudian membentuk sebuah poros politik yang kemudian dikenal
dengan sebutan poros tengah. Lewat poros itulah, dimunculkan nama KH Abdurahman
Wahid. Sejarah pun mencatatkan Gus Dur, yang mendapat mandat sebagai Presiden
RI. Sementaraa Ibu Mega, menjadi Wakil Presiden. Gema Allahu Akbar pun
menggema di Senayan. Poros tengah menang, PDI-P terpaksa gigit jari.
Namun takhta Gus Dur tak berlangsung lama.
Terseret pusaran kasus Bulogate dan Bruneigate, Gus Dur diadili oleh MPR. Meski
sempat mengeluarkan dekrit, tapi akhirnya Gus Dur mesti hengkang dari Istana.
Ibu Mega pun naik kelas, dari Wapres menjadi Presiden.
Dipenghujung
kekuasaan Ibu Mega, pada 2004, pemilu kembali di gelar. Di tahun itu pula,
pemilihan presiden secara langsung pertama kali di gelar. Ibu Mega sebagai
incumben bakal maju gelanggang. Partai lainnya pun bersiap diri. Di masa itu,
terjadi tragedi 'Jenderal kekanak-kanakan', sebuah istilah yang dilontarkan
almarhum Taufik Kiemas yang ditujukan kepada Menkopolkamnya Ibu Mega, yakni Pak
SBY. Saat itu, Pak SBY mengeluh, sudah tak diajak lagi urun rembuk oleh bosnya
di setiap rapat kabinet.
Cerita selanjutnya, Pak SBY mundur, dan ia
mengibarkan bendera politik baru, Partai Demokrat. Partai inilah, yang kemudian
jadi 'perahu politiknya' Pak SBY, mengarungi samudera politik Indonesia.
Sementara itu, Partai Golkar, menyongsong
pesta politik 2004, melakukan tradisi baru, menggelar konvensi untuk menjaring
capres yang bakal diusung beringin. Gong demokrasi pun ditabuh. Sebanyak 32
partai bertarung di gelanggang pemilu, memperebutkan tiket Senayan. Termasuk
Golkar, yang juga langsung memanaskan mesin politiknya di bawah komando Bang
Akbar Tandjung, yang kala itu juga menjabat Ketua DPR.
Tidak sia-sia, di papan klasmen akhir
'liga pemilu legislatif 2004', Golkar berada di puncak posisi. Beringin pada
papan klasmen perolehan suara Pileg 2004, ada di posisi pertama dengan raihan
24.480.757 suara atau 21,58 persen dari totak suara sah nasional. Tentu orang
yang paling sumringah adalah Bang Akbar. Bagaimana tidak, dibawah komandonya,
beringin tumbuh rimbun, hingga berbuah suara pada pesta demokrasi.
Mungkin dalam benak Bang Akbar, selangkah
lagi ia bisa menuju Istana. Sebagai partai jawara, beringin sudah punya modal
besar menyongsong pesta sebenarnya, pemilihan presiden. Dengan percaya diri
pula, konvensi di gelar. Berbagai tokoh mendaftar, diantaranya Pak Wiranto,
mendiang Nurcholis Madjid atau Cak Nur, Pak Prabowo Subianto, Pak Aburizal
Bakrie, Pak Jusuf Kalla dan tentu Bang Akbar sendiri.
Konvensi ini, dipercaya beringin, bisa
menjadi cara mendapatkan capres mumpuni yang bisa diandalkan di gelanggang
Pilpres nanti. Satu persatu, peserta berguguran. Beberapa diantaranya mengundurkan
diri. Salah satu yang mengundurkan diri, adalah Pak Jusuf Kalla yang memutuskan
menyebrang ke kubu Pak SBY. Kelak ia menjadi cawapresnya Pak SBY.
Persaingan konvensi pun tinggal menyisakan
Pak Wiranto dan Bang Akbar. Tapi lewat drama adu suara, tak terduga Pak Wiranto
bisa mengalahkan Bang Akbar yang notabene adalah nakhoda beringin. Jadilah Pak
Wiranto, sebagai calon presidennya beringin. Sementara Bang Akbar, tersenyum
muram, tak menyangka ia kalah kala ia berstatus sebagai juru mudi beringin.
Majulah Pak Wiranto ke gelanggang Pilpres
dengan menggandeng Pak Solahuddin Wahid, adik kandung Kyai Gus Dur, almarhum.
Lawan Pak Wiranto-Solahuddin, adalah Pak SBY yang berduet dengan Pak Jusuf
Kalla, lalu Pak Amien Rais yang berpasangan dengan Pak Siswono Yudhohusodo,
berikutnya Ibu Mega yang mengandeng Kyai Hasyim Muzadi, dan terakhir duet Pak
Hamzah Haz dan Pak Agum Gumelar.
Pemilihan presiden langsung pertama kali
itu pun, berlangsung dua putaran. Di putaran pertama beberapa jagoan partai
tersingkir, salah satunya adalah pasangan Pak Wiranto-Solahuddin. Sementara
yang melenggang ke putaran dua, adalah duet Pak SBY-Jusuf Kalla, melawan Ibu
Mega-Kyai Hasyim. Sejarah mencatatkan, Pak SBY-Jusuf Kalla, jadi Presiden dan
Wakil Presiden yang terpilih secara langsung.
Golkar pun setelah itu, ganti juru mudi.
Pak Kalla, yang sudah menjadi Wakil Presiden, terpilih sebagai nakhoda,
menggantikan Bang Akbar Tandjung. Jadilah beringin dibawah kendali Pak Kalla.
Golkar pun kemudian masuk koalisi pendukung pemerintah. Sampai tibanya pemilu
2009. Di pesta demokrasi 2009, Golkar mesti menelan pil pahit. Raihan suaranya
jeblok, hanya meraup 15.037.757 suara atau 14,5 persen. posisinya pun melorot
ke posisi dua, di bawah Demokrat, partainya Pak SBY yang sukses menaikan suaranya
berlipat-lipat dari 7 persenan menjadi 20 persenan.
Dengan prestasi politik yang melorot,
beringin maju gelanggang Pilpres. Jagoan yang diusung adalah duet Pak Jusuf
Kalla dan Pak Wiranto. Lawannya, adalah Pak SBY, mantan bos Pak Kalla,
yang kini berpasangan dengan Pak Boediono. Pesaing lainnya, Ibu Mega yang
kembali maju berpasangan dengan Pak Prabowo. Hasilnya, Pak SBY-Pak Boed, keluar
sebagai jawara Pilpres. Sementara Pak Kalla dan Ibu Mega, kembali mesti
merasakan pil pahit, kalah telak dalam ajang Pilpres.
Usai pesta, juru mudi Golkar kembali
berganti. Pak Aburizal Bakrie atau Pak Ical, menjadi nakhoda baru beringin,
setelah terpilih dalam kongres partai di Pekanbaru, beberapa tahun lalu.
Setelah terpilih, Pak Ical langsung tancap gas. Bahkan kemudian, ia ditasbihkan
sebagai calon presidennya beringin dalam sebuah ajang Rapimnas. Padahal pesta
demokrasi saat ini masih jauh. Sampai kemudian tiba, detik-detik menjelang
pemilihan legislatif 2014. Partai Golkar, menjadi salah satu kontestannya dari
12 partai yang dinyatakan lolos oleh Komisi Pemilihan Umum, untuk ikut pemilu.
Pada 26 Maret 2014, Charta Politika,
sebuah lembaga riset politik yang dikomandani Mas Yunarto Wijaya, mengeluarkan
hasil sigi politiknya. Salah satu yang diuji oleh lembaganya Mas Yunarto itu,
adalah tentang alasan masyarakat memilih partai. Untuk Partai Golkar, alasan
masyarakat memilih beringin, karena partai tersebut dianggap mewakili semangat
Orde Baru atau semangatnya Pak Harto. Yang menyatakan seperti itu, sebanyak
32,8 persen. sementara yang memilih karena tertarik figur Pak Ical, hanya 18,6
persen.
Dalam kampanye pun, Pak Ical, selalu
menjual kejayaan Golkar di era Pak Harto. Keberhasilan pembangunan di era Pak
Harto selalu didengung-dengungkan Pak Ical beserta tim horenya di setiap arena
kampanye. Kalimat Piye Kabare, Enak to Jamanku, seakan jadi mantra baru
beringin menarik minat pemilih.
Hasilnya, bagaimana? Ternyata enaknya
jaman Pak Harto, tidak enak bagi Golkar. Sebab hasil hitung cepat yang dilansir
beberapa lembaga surve sesaat setelah pemungutan suara dilangsungkan, 9 April
kemarin, suara beringin tak seenak jamannya Pak Harto. Partai Golkar menurut
hasil hitung cepat, hanya mampu mendulang 14 persenan suara. Jauh dari apa yang
berhasil di dulang pada pemilu 2004. Suara beringin masih kalah jauh oleh
suaranya banteng moncong putih yang berhasil meraup 19 persenan suara. Banteng
moncong putih itupun, bertengger di posisi puncak klasmen perolehan suara. Di
bawah Golkar, adalah Partai Gerindra. Partai besutan Pak Prabowo itu, menurut
hasil hitung cepat, meraih 12 persenan suara.
Tapi beringin berhasil ‘mencundangi’
Partai Demokrat,yang raihan suaranya melorot jauh dari 20 persenan suara
menjadi hanya 9 persenan suara saja. Ya, setidaknya beringin bisa membalas
kekalahannya pada pemilu 2009 lalu. Namun dengan raihan 14 persenan suara,
posisi capres Pak Ical menjadi tidak enak. Dia mesti kerja keras mencari kawan
koalisi, agar syarat pencalonan sebesar 25 persen suara atau 20 persen raihan
kursi bisa dipenuhi. Belum lagi, Pak Ical mesti menghadapi gugatan di
internalnya yang mulai mempertanyakan nilai jual pencapresnnya. Dalam berbagai
hasil survei capres, elektabilitas Pak Ical memang tak kunjung kinclong. Ia
masih kalah oleh elektabilitasnya Mas Jokowi dan Pak Prabowo. Untuk urusan
elektabilitas Pak Ical, yang jadi jawara adalah Mas Jokowi, capresnya
PDI-P.
Jadi, enaknya Pak Harto, enggak enak bagi
Pak Ical, juga bagi beringin. Mau apalagi, itu yang terjadi. Mungkin Pak Harto
akan berkata, piye kabare, tidak enak kan menjual namaku...... (DN~Tempo.Co).—
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com