Dewata News ~~ Bangsa Indonesia baru saja menyelenggarakan pemilu untuk memilih anggota legislatif pada 9 April lalu. Sambil menunggu pengumuman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai perolehan suara partai politik dan calon legislatif secara nasional, perhatian publik saat ini sudah terarah pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang jadwalnya terlaksana pada 9 Juli mendatang.
Hasil Quick Count (hitung cepat) sejumlah
lembaga survei terhadap perolehan suara parpol peserta pileg lalu menunjukkan
bahwa tak ada satu parpol pun yang menjadi mayoritas mutlak dengan raihan suara
melampau 25% suara. Catatan tersebut serentak memberitahukan keharusan bagi
semua partai politik untuk membangun ‘koalisi’ dengan partai lain agar dapat
mencalonkan pasangan capres-cawapres.
Wacana “koalisi” ini langsung menyergap
ruang-ruang diskusi pasca pileg. Partai-partai sibuk membuka forum lobby dengan
parpol lain untuk mengusung capres-cawapres. Lobby menjadi tidak mudah karena
posisi tawar partai yang nyaris seimbang. Di antara hiruk-pikuk lobby tersebut,
kita kembali melihat betapa kekuasaan menjadi wahana yang sangat pragmatis dan
dangkal.
Kesulitan utama penjajakan koalisi parpol
di Indonesia terletak pada ketakjelasan ideologi partai-partai yang ada.
Sebutan partai nasionalis dan religius hanya sekedar identitas pencitraan demi
memudahkan partai tertentu menjual dirinya ke pemilih. Dalam prakteknya,
identitas nasionalis dan religius partai-partai itu nyaris tak menajamkan
perbedaan satu dan lainnya.
Kesulitan
lain adalah kecenderungan transaksional yang mengisi narasi panjang
koalisi yang dibangun era reformasi.
Lobby koalisi yang dilakukan saat ini pun
menjadi bertele-tele karena alasan kesepakatan “bagi-bagi jatah” yang hampir
pasti menjadi isu utama dalam pembicaraan koalisi antar partai. Isu
transaksional ini merupakan satu ruang gelap yang tak pernah tegas dinyatakan
ke publik. Dengan seolah-olah transparan, partai-partai mengumumkan bahwa
penjajakan yang dilakukan fokus pada penyesuaian platform bersama. Padahal
platform masing-masing partai juga setali tiga uang dengan masalah ideologi
yang sama kaburnya.
Kondisi jelang capres sebagaimana
digambarkan di atas mau tidak mau akan dihadapi Bangsa Indonesia saat ini.
Partai Politik akan menjauhi substansi politik yakni memperjuangkan bonum communae. Mereka masih
mempertahankan langgam politik lama, menikmati kekuasaan di antara mereka saja.
Oleh karena itu, perlu kiranya digagas sebuah design kampanye yang mengupayakan
transparansi dan akuntabilitas, baik terkait parpol pengusung capres-cawapres,
maupun pasangan capres-cawapres. Dan pada saatnya nanti di masa kampanye,
akuntabilitas dan transparansi tersebut harus didorong pada kelompok Tim
Kampanye pasangan calon.
Akuntabilitas merupakan paham yang
mengingatkan pemimpin atau kelompok penguasa politik agar
mempertanggung-jawabkan kekuasaannya pada pemberi kuasa yakni warga negara.
Jabatan penguasa dalam rejim demokrasi merupakan jabatan atas dasar kepercayaan
kepada seseorang atau sekelompok orang. Karena alasan kepercayaan itu, seorang
penguasa harus membuka diri untuk dimintai tanggung jawab dan menyediakan diri
untuk terus bertanggung jawab kepada rakyatnya.
Dengan demikian gagasan akuntabilitas
capres-cawapres penting untuk diingatkan dan diejawantahkan sejak awal
pencalonan. Kesibukan menjalin koalisi dengan kecenderungan transaksional
sebagai muatan utama koalisi menjadi modal awal pilpres yang memprihatinkan.
Ketika pembicaraan tentang kekuasaan di antara parpol dilandasi oleh semangat
pembagian kekuasaan dan jatah, maka praktek kampanye yang akan muncul hanyalah
sandiwara yang “menipu” rakyat. (DN~TiR).—
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com