Masihkah Bali Pulau Dewata ? - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

4/24/14

Masihkah Bali Pulau Dewata ?



Dewata News - Bedah Khusus

Tak disangkal, Bali adalah surga. Surga bagi wisatawan lokal dan mancanegara, tapi jangan bayangkan Bali seperti 10 tahun lalu. Bali, pulau kecil yang menjadi tujuan wisata manusia seantero bumi. Pulau kecil yang memiliki luas wilayah kuranglebih 5633 km2 yang hanya kurangdari 1% luas wilayah negara Indonesia dan luasnya seper-enampuluh dari luas pulau jawa secara keseluruhan. 1 hari atau 24 jam sudah merupakan waktu yang cukup untuk berkeliling pulau Bali secara keseluruhan, namun belum cukup waktu untuk mempelajari apa yang ada pada masing-masing daerah diBali.

Masyarakat Bali yang tidak siap untuk bisa terjun ke dunia pariwisata makin lama makin terpinggirkan oleh masyarakat pendatang. Alih fungsi kepemilikan lahan tidak dapat dibendung, dimana lebih dari 50% lahan dikawasan pariwisata milik investor luar. Hal ini membuat masyarakat Bali tidak bisa berdaulat lagi di wilayahnya sendiri. Awal April tahun 2011, sebuah majalah Amerika membuat berita dengan judul yang kurang lebih ; Bali, Pulau Neraka. Di situ juga ada foto sampah yang menggunung di pantai Kuta.

Seperti itukah Bali kini? Masih bisakah disebut Pulau Dewata? Pulau seribu Pura? Pura magis yang memelihara masyarakatnya dalam lingkup spiritual yang kuat? Kini, berubahkah Bali? ‘Perjalanan’ Bali sebagai daerah pariwisata unggulan Indonesia memang berliku. Berpuluh tahun, Bali menyandang pulau Dewata, tempat dewa-dewa bertahta. Pulau yang menjadi magnet bagi pariwisata Indonesia. Tahun 1996-1998 ketika kekacauan di Jakarta terjadi, Bali menjadi salah satu tempat tujuan bagi orang Jakarta untuk memulai hidup baru.

Bali dikenal dengan kemolekan budayanya. Bali dikenal dengan keindahan suasananya. Bali dikenal dengan keramahan adat dan masyarakatnya. Bali dikenal dengan ritualnya yang elok. Sehingga Bali memiliki Taksu/kekuatan yang konon kabarnya bersumber dari penciptaan special Tuhan yang diperuntukkan kepada Pulau kecil ini. Adat Bali memuja Tuhan dengan perpaduan adat setempat yang diakulturasi dengan Agama Hindu. Banyak dibangun tempat suci,tempat ibadah dan tempat-tempat pemujaan sebagai wujud rasa hormat bakti dan terimakasih kepada Sang pencipta. Banyak Pura untuk memuja Tuhan,sehingga disebut sebagai pulau Dewata,pulaunya para dewa-dewi.

Mungkin kita sudah mendengar banyak cerita sukses transmigran asal Bali di tanah rantau, namun hal itu menjadi paradoks dengan Bali yang sebagai pulau surga yang bergelimang dolar dan menjadi bukti bahwa warga Bali kian terpinggirkan. Akibat kebijakan yang mengagung-agungkan pariwisata, menjadikan semua potensi Bali diarahkan untuk mendukung pariwisata. Sawah yang dulu hijau dikapling-kapling untuk hotel atau resort, pantai yang sebelumnya untuk upacara agama dan menjadi milik publik sekarang diakuisisi oleh swasta.

Tak dapat dipungkiri, Bali juga dikenal dengan gudangnya para seniman. Bagaimanapun kondisi masyarakat Bali jaman dulu, nilai seni sangat dijunjung tinggi. Lihat saja segala jenis tarian Bali, pasti bersumber dari kegiatan sehari-hari masyarakat Bali tempo dulu dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan. Sebut saja tari Nelayan yang menceritakan kegiatan nelayan-nelayan pada masa itu; Tari legong kraton yang menceritakan tentang kehidupan masyarakan dikerajaan; Tari cendrawasih,tari manuk rawa,tari belibis adalah tarian-tarian keindahan aktifitas burung-burung yang riang gembira beterbangan dilangit; Tari oleg tamulilingan yang merupakan tarian mesra sepasang kumbang yang memadu kasih. Dan masih sangat banyak lagi tarian-tarian yang terinspirasi dari hal-hal kecil kemudian diramu oleh masyarakat seni bali menjadi sebuah karya seni nan elok pada sebuah tarian. Tarian juga digunakan sebagai wujud bakti dan persembahan kepada Tuhan. Lihat saja, banyak sekali tarian-tarian sacral nan indah yang ditarikan di Pura sebagai “sambutan selamat datang” dan persembahan suatu keindahan kepada Tuhan yang maha Esa.


Kawasan bukit yang merupakan daerah penyangga direlakan untuk dijadikan vila, bungalow, rumah makan dan lainnya. Produk pertanian tidak berjaya seperti sekitar tiga puluh tahun lalu, bahkan jeruk Bali yang sempat terkenal hingga ke mancanegara saat ini sudah sangat sulit ditemukan di Bali. Serangan hama menjadi dalih namun tidak pernah terpecahkan sampai saat ini. Intensifnya kegiatan pariwisata juga tidak dapat dijadikan pasar bagi produk-produk lokal. Dengan alasan kualitas yang tidak memadai produk-produk lokal tidak bisa diserap oleh hotel atau restoran besar di Bali. Hal ini membuat ruang gerak masyarakat lokal makin sempit dalam mencari sumber penghidupan.

Pembangunan yang terpusat hanya pada bidang pariwisatapun terlalu merajalela di Bali. 2 kali tragedy Bom Bali sempat membuat jatuh tersungkurnya perekonomian Bali. Kemudian bali berusaha kembali bangkit dan lagi-lagi bangkit dengan keterpusatan pariwisata seperti sebelum tragedy bom. Padahal,tragedy bom tersebut bisa menjadi sebuah pelajaran bahwa perkembangan ekonomi yang hanya terpusat disatu bidang saja (pariwisata) suatu ketika akan hancur tergerus oleh factor-faktor yang bisa datang mendadak bagaikan bom waktu. Hingga kini bali terus menggeliat dan berkembang entah kearah yang lebih baik atau justru sebaliknya.

Kemacetan bali, abrasi pantai, dangkalnya pengetahuan tentang budaya Bali menjadi masalah-masalah yang beberapa tahun belakangan ini terjadi di Bali. Kemacetan Bali yang konon kabarnya dapat terurai dengan pembangunan underpass dewaruci dan toll tengah laut, namun nyatanya tidak diimbangi dengan usaha mengurai macet lainnya. Pembangunan/perluasan bandara yang dapat menambah kapasitas pengguna moda transportasi udara, sehingga dapat menambah sekian kalilipat jumlah pendatang diBali.

Modal utama pariwisata Bali adalah budaya masyarakatnya, sementara keuntungan yang didapat oleh masyarakat sangat tidak sebanding dengan perannya dalam membentuk citra pariwisata Bali. Ketika pemilik budaya makin terpinggirkan akibat dari serbuan migrasi dan investasi, akankah Bali masih menjadi primadona?

Identitas bali sebagai pulau Dewata yang sarat akan perpaduan religi, seni dan budaya suatu ketika dapat terkikis akibat kemoderenan jaman. Semakin banyak pula dibangunnya area wisata berdampingan dengan Pura pada kawasan-kawasan yang semula disakralkan. Semakin banyak juga penyimpangan-penyimpangan nilai seni yang dilakukan, tarian sacral dipertontonkan dan dirubah menjadi sejenis tarian erotis. Semakin banyak pula masyarakat Bali yang justru tidak memahami makna dari seni,budaya dan ritual yang mereka lakukan malah bahkan menganggap bahwa seni,budaya dan ritual adalah “bahan jualan” mereka yang diobral murah demi memperoleh pundi-pundi kekayaan. Bali memang berkembang,namun entah berkembang kearah mana.

Bali kini,apakah masih layak dengan gelar sebagai Pulau Dewata?


* Tidak ada makusd kami untuk menjatuhkan pihak-pihak tertentu dalam merangkum artikel diatas, kami hanya ingin membuka mata pembaca bahwa inilah yang terjadi saat ini di Bali, Bali yang "katanya" Pulau Dewata.

1 comment:

  1. Karna jaman sl akan membawa dampak jagan berbicara yg sdh berlalu,mr bicrakan ms yg akn dtng...dimn pun tak akan ada tempat yg abadi,tp perubahanlah yg abadi terlepas dr baik dan buruknya.bali milik masyrakat dunia sl terbuka bukan milik or bali,or bali malah bnyak ngontrak,jd bukan semua beban menjaga bali hanya di bebankn sm or bali sj

    ReplyDelete

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com